webnovel

5

Waktu terus berjalan, dan tak terasa bulan November telah berjalan selama hampir seminggu. Semenjak kelahiran putri kecilku, November menjadi bulan istimewa, karena di bulan inilah, putri kecilku, Nova Andria lahir, tepatnya tanggal 8 November.

Pagi-Pagi, aku dan ibuku telah berbelanja kepasar. Kami ingin merayakan hari istimewa itu untuknya. Hanya sebuah acara kecil, tanpa mengundang siapapun. Aku sangat bersemangat membantu ibuku memasak didapur, untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tak lupa juga sebuah kue ulang tahun berukuran kecil, lengkap dengan lilinnya telah kami siapkan.

Hujan gerimis membuat suasana dikampungku semakin sepi, karena semua orang memilih berdiam didalam rumahnya masing-masing. Dan sesuai rencana, kami merayakan ulang tahun putriku jam 6 sore.

Kami sedang menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dan samar-samar mendengar suara ketukan dari arah pintu depan. 'Siapa yang datang malam-malam begini? Saat sedang hujan begini??' tanyaku dalam hati sambil berjalan ke ruang tamu.

"Hhaaa" kataku takjub sabil menutup mulutku dengan telapak tanganku. Pram berdiri didepanku, dengan sebuah kotak berukuran lumayan besar.

"Saya ingat, hari ini si dedek ulang tahun, jadi saya kesini untuk ngasih ini."

Sedikit bagian pakaiannya tampak basah, walaupun ia telah mengenakan mantol untuk melindungi tubuhnya dari terpaan hujan. Aku benar-benar terharu dibuatnya. Suamiku, ayah kandung Nova saja sepertinya telah melupakan anaknya, sementara Pram, yang bukan siapa-siapa rela menempuh perjalanan jauh, melewati hujan, demi memberi sesuatu pada Nova.

Tanpa sadar, sebutir air mata mengalir disudut mataku. Aku langsung memeluk erat tubuh Pram.

"Bu, jangan lama-lama, gak enak kalo dilihat bapak ibu, dilihat tetangga" bisiknya.

Aku lantas melepaskan pelukanku, lalu menyeka air mata dipipiku.

"Ayo masuk, kita rayain sama-sama"

Pram lantas mengikuti langkahku menuju ke ruang keluarga.

"Pak, bu…" Sapa Pram dengan takzim.

"Ini lho bu, Pram bawain Nova kue ulang tahun" kataku sabil meletakan kotak yang berisi kue itu diatas meja.

Pram menjabat tangan kedua orangku kemudian duduk dikursi disampingku. Tampaknya Nova senang senang dengan kehadiran Pram, karena ia segera menjulurkan kedua tangannya, meminta Pram untuk menggendongnya.

"Mas Pram masih capek lho dek. Nanti aja digendongnnya ya." Kata ibu setelah melihat reaksi Nova.

"Gak apa-apa bu, saya juga kangen sama si dedek." Balas Pram sambil mengambil Nova dari pangkuan bapak.

Putri kecilku, Nova tampaknya menyukai Pram. Sedari tadi tak henti-hentinya ia berbicara dengan bahasa ala balita yang tidak jelas maknanya. Pram pun dengan senang hati meladeninya, sehingga suasana menjadi sangat hangat dan penuh kebahagiaan.

Sambil menyantap makan malam, Pram tetap bercanda dengan Nova, keduanya sangat akrab dan terlihat senang.

"Diluar masih Hujan nak Pram, jadi pulangnya besok pagi saja" kata bapak saat kami bersantai diruang tamu.

"Iya nak Pram, lebih baik besok pagi saja nak Pram pulang."

"Tapi maaf ya nak, tidurnya di sofa, soalnya gak ada kamar kosong" sambung ibuku.

"Tapi besok pagi saya ada kuliah, jadi harus pulang malam ini pak, bu."

"Pram, kamu jangan ngeyel, dengerin kata bapak ibu. Besok pagi-pagi kamu pulang pakai mobil ibu aja. Mobil itu gak terpakai kok. Nanti kalo ibu mau pulang, ibu telpon kamu, biar kamu jemput. Gimana?" jawabku.

"Iya deh, kalo gitu saya tidur disini."

Selanjutnya kami menghabiskan malam dengan sekedar ngobrol ringan ditemani teh panas buatanku. Bapak dan ibu pun terlihat menikmati perbincangan itu, terutama saat Pram menceritakan tentang kampung halamannya, bercerita tentang keluarganya. Sementara itu, Nova silih berganti bermanja-manja dipelukan kami, namun ia lebih banyak menghabiskan waktunya dipangkuan Pram.

Tak terasa, waktu hampir menunjukkan hampir pukul 11 malam. Hujan pun masih saja membasahi bumi, bahkan intensitasnya cenderung semakin deras. Nova, putri kecilku telah terlelap dalam dekapan ibuku.

"Nak Pram, bapak ibu pamit dulu ya, mau istirahat dulu."

"Iya pak, silahkan."

Mereka lantas meninggalkan aku dan Pram diruang tamu. Nova yang telah tertidur pun dibawa masuk, karena selama ini, mereka telah terbiasa tidur disamping cucunya. Dan sepertinya Nova pun yaman dengan hal itu.

"Kita keruang tengah aja yuk, sambil nonton tv"

"Iya bu."

Pram duduk disofa, lantas meraih remote tv dan menghidupkannya.

"Sebentar…" kataku, lantas menuju ke kamar tidurku. Karena hendak beristirahat, kulepaskan yang menutupi kepalaku.

"Ini…" kataku, seraya menyerahkan sebuah bantal dan selembar selimut padanya. Pram terpana melihatku sambil menerima bantal dan selimut yang kutawarkan.

"Kenapa..? Aneh ya..?" tanyaku, lalu duduk disampingnya.

"Gak sih, ternyata pakai atau enggak, ibu tetap cantik"

"Huuuuuu.. gombal" jawabku sembari mencubit lengannya.

"Kayaknya lebih pantas kalo dipanggil mbak. Umur ibu baru 29 kan?"

"Terserah kamu aja Pram, panggil ibu, boleh. Panggil mbak, boleh."

Inilah pengalaman pertamaku tanpa dihadapan Pram, wajar saja jika ia menatapku dengan sedikit aneh.

Pasca keretakan rumahtanggaku, hanya Pram sajalah laki-laki yang dekat denganku. Dan sejauh ini, hubungan kami berjalan baik. Sikap empatinya terhadap aku, perhatiannya terhadap aku dan putriku Nova membuatku merasa nyaman bersamanya.

Usianya memang terpaut beberapa tahun lebih muda daripada usiaku, namun dimataku, Pram adalah sosok laki-laki dewasa.

"Ibu baik-baik aja kan?"

"Iya, ibu baik-baik aja Pram, sehat kok."

"Bukan itu bu, maksud saya hati ibu."

"Ya beginilah keadaan ibu. Harus selalu baik dan kuat. Demi Nova" jawabku.

"Dan untuk kebaikan ibu sendiri juga. Jangan lupa itu bu."

Pram menyandarkan punggungnya di sofa, kemudian tangan kirinya merangkul pundakku. Dengan sedikit memaksa, ia memintaku untuk mendekat. Sekali lagi, kusandarkan kepalaku di dadanya. Sebenarnya, aku sedikit ragu berpelukan dengan Pram, karena sewaktu-waktu, kedua orangtuaku bisa saja memergoki kami. Tentu bukan sesuatu yang bisa mereka pahami melihat anaknya sedang berpelukan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya.

Kamar orangtuaku terletak dibagian belakang rumah, bersebelahan dengan dapur dan pintunya menghadap ke ruang makan. Ada sebuah lemari besar, yang memisahkan antara ruang tengah dan ruang dapur, ditambah sebuah rak berukuran besar yang berisi bingkai foto keluarga kami. Aku sedikit tenang dan lega, karena posisi kami tak akan langsung terlihat jika orang tuaku keluar dari kamarnya.

Hujan yang masih membasahi bumi membuat suasana semakin sepi. Lampu-lampu telah dipadamkan dan hanya sinar remang-remang dari tv yang menyinari ruang tengah. Kuraih selimut yang ada diatas meja didepan sofa yang kami duduki lalu kupakai untuk menutupi tubuh tubuh kami dari sengatan hawa dingin, kemudian kedua tanganku kulingkarkan dipinggang Pram.

Aku terbuai suasana dan tanpa sadar, kueratkan pelukanku. Aku benar-benar merasa nyaman dalam dekapannya.

"Ibu bersyukur ada kamu. Ibu senang kamu selalu ada untuk ibu. Ibu gak tau gimana nasib ibu sekarang kalo kamu gak ada." gumanku.