Suara getaran ponsel yang tepat berada di atas nakas samping mereka sedang bergulat di lantai membuat Johan terganggu. Ia segera melepaskan diri dari Anya yang lengannya masih saja mengelajut pada pundak nya yang kokoh dan lembab oleh keringat.
"Biarkan saja..." rengek Anya manja dengan wajahnya yang sudah memerah di penuhi hasrat mengebu.
Johan tersenyum dan tetap melepas pelukan wanita yang sepertinya sudah ketagihan akan permainanya itu, dan bangkit berdiri sambil membenarkan resleting celana nya.
Dengan wajah manyun karena belum merasa terpuaskan, Anya ikut bangkit dari lantai berselimut karpet tebal tempatnya berbaring dan menutupi tubuhnya dengan handuk, kemudian duduk di pinggir ranjang.
"Halo." Johan menempelkan ponsel nya ke telingan kanan sambil tetap berdiri di samping nakas yang atasnya terdapat lampu 5watt warna kuning yang menjadi penerang kamar gelap nya tersebut.
"Langsung saja Sonia, kau tahu aku nggak suka di ganggu." Ucap Johan.
Mendengar nama Sonia di sebut membuat kening Anya berkerut tak suka. Anya langsung bangkit berdiri dan berjalan cepat ke arah Johan.
Lewat tatapan matanya yang kesal, Anya secara tidak langsung meminta agar Johan segera menutup ponsel nya, tapi sayang nya Lelaki tersebut malah menaruh jari telunjuknya di bibir, sebagai tanda agar dia diam.
Johan membelakangi Anya dan masih diam mendegarkan si Penelpon, membuat Anya cemburu.
"Shit!" Hampir saja Johan mengumpat saat Anya sudah berlutut di bawah nya dan mengulum miliknya.
Johan mendesis dan ia langsung terduduk di pinggir ranjang dengan posisi masih menelpon dan Anya yang mengulum dan menaik turunkan miliknya yang sudah menegang.
Mata kucing Anya menatapnya dari bawah, namun Johan bukanlah Johan jika tidak bisa menguasai keadaan.
"...Baiklah..." Johan berkata setenang mungkin, sedang kan tangannya yang satu mengelus, lebih tepatnya mengacak rambut pendek Anya yang kusut. "Aku akan menemui mu beberapa saat lagi." lanjutnya membuat Anya langsung menghentikan kegiatannya.
"Kak Johan mau bertemu wanita itu ?" ucap nya kesal sambil mengelap mulutnya.
"Yah, aku ada urusan dengannya." setelah membenarkan celana nya, ia segera melangkah menuju kamar mandi yang berada satu ruangan dengan kamarnya.
Wajah Anya semakin berkerut karena Johan melewatinya begitu saja.
"Lebih baik kau cepat pakai baju, aku akan mengantar mu pulang." Johan berkata tanpa menoleh ke arah nya.
"Mana mungkin aku langsung pakai baju kalau tubuh ku penuh dengan cairan milikmu." Anya menghentakkan kakinya marah.
Johan terbahak mendengarnya. "Kalau begitu, ayo mandi bersama." ucap Johan setelah berhenti tertawa dan melihat ke arah wanita yang berkali-kali tadi telah di gauli nya.
Sementara Kakak nya memadu kasih dengan lumuran dosa dan hasrat mengebu, sebaliknya Lira tengah asik bermain dan bercanda di Time zone bersama dengan Laki-laki yang sejak awal bertemu selalu mendebarkan perasaanya.
Hampir semua permaian yang minggu ini ramai di isi dengan anak-anak dan orang tua nya itu telah mereka coba. Dan kini mereka tengah bermain zombie virtua, di mana Lira dan Andreas duduk bersebelahan di dalam tempat yang hanya muat untuk dua orang, dengan layar lebar di depannya dan zombie-zombie yang harus mereka tembaki.
Lira tertawa bahagia meskipun berkali-kali ia game over karena kalah cepat dalam menembak, dan berkali-kali pula Andreas mengatakan payah pada dirinya.
Namun ia tak tersinggung atau merasa kesal atas apa yang Laki-laki bermata sipit itu katakan. Ia bahagia hanya dengan sesekali mencuri pandang ke arah Andreas yang duduk di sebelahnya dan tengah serius menembaki zombie-zombie dalam layar lebar yang berada di depan mereka.
"Sial !" Andreas memukul alat yang berbentuk seperti senjata api yang di gunakan menembaki zombie-zombie secara virtual pada layar. "Kau sih, payah !" ia menoleh ke arah Lira.
"Ma, maaf kak..." Lira menunduk dan menutup mulutnya, bukan karena dia takut, tapi karena ia hampir tersenyum melihat wajah Andreas yang kesal. "Lucu..." Lira berucap dalam hati.
"Sudahlah." Andreas segera bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan di ikuti oleh Lira.
Suasana di sekitar begitu ramai oleh suara teriakan dan tertawa anak-anak. Andreas berjalan menuju pintu keluar dengan Lira yang berada di sisinya.
Lira masih tak menyagka bisa berjalan berdua seperti ini, berkali-kali ia menunduk dan mengulum senyum. Ia takut di sangka gila oleh Andreas karena tertawa sendiri.
"Sudah sore, kau mau makan lagi ?" tanya Andreas saat mereka berdua telah keluar dari time zone.
"Enggak, Kak. Masih kenyang." Lira menjawab.
"Kalau begitu aku antar pulang, ya ?" Andreas mulai mengambil permen dari saku celananya, kemudian membuka bungkusnya dan mengulum nya seperti biasa.
Lira mengangguk, tapi sepertinya Andreas tak begitu memperhatikan. Laki-laki itu berjalan dengan langkah panjang-panjang sambil melihat-lihat sekitar dan sibuk memainkan permen cupa cups nya.
Dengan tergesa Lira mengikuti langkah kakinya, sampai pada satu titik Andreas berhenti berjalan dan Lira yang berjalan sudah seperti berlari menubruk dirinya.
Lira mengerang karena ujung hidung nya tertubruk pundak Andreas yang keras.
"Jalanku terlalu cepat ya ?" tanya Andrras tanpa dosa, bahkan dia tidak minta maaf atau menanyakan tentang hidung Lira yang sudah memerah karena nyeri tertubruk badan besarnya.
"I,iya Kak." jawab Lira sambil mengusap ujung hidung nya.
"Ooh...bilang dong." Andreas berkata sambil mengaruk belakang kepala nya yang tak gatal.
Lira hanya menunduk. "Bagaimana bisa bilang kalau deg-degan gini...?" Lira berucap dalam hati.
"Aku jarang jalan-jalan seperti ini bareng perempuan." Andreas berkata, membuat Lira mendongkakn wajah melihatnya. "Biasanya aku jalan bareng Rendy." lanjutnya sambil kembali berjalan, kali ini lebih lambat menyesuaikan langkah kaki Lira yang pendek-pendek.
Lira kembali mengigit bibir bawahnya dengan jantung yang serasa mau melompat. Ia sedang mempertimbangkan untuk menanyakan sesuatu, namun berkali-kali ia mengurungkan niatnya karena tak enak.
Di liriknya gadis berambut panjang bergelombang dengan tinggi 160 cm yang berjalan menunduk di sisi nya yang bertinggi 185 cm.
"Kau mau permen ?" Andres menawari, ia agak merasa tak enak karena tadi berkali-kali mengatai nya payah dan berjalan tanpa tahu jika gadis itu tertinggal di belakang.
"Permen Kakak kemarin masih ada." Lira menjawab, kemudian menunduk lagi.
Mulut Andreas hanya membentuk bulatan tanpa berusaha lagi ia memasukan kembali permen cupa cups nya ke saku.
Beberapa menit merka hanya diam sambil terus berjalan menelusuri keramaian mall pada hari minggu.
"Aku harus sering-sering makan permen." tiba-tiba Andreas berkata, membuat Lira memandang ke arah nya. "Aku perokok berat, kalau nggak makan permen rasanya pengen ngerokok terus." ia tersenyum membuat kedua mata nya menyipit.
Kedua pipi Lira merona melihatnya
"Di lingkungan Kampus aku sudah sering kena tegur, makannya oleh Rendy aku si suruh makan permen sebagai gantinya." ia terkekeh.
Tanpa sadar Lira ikut tersenyum memandanginya.
"Kau juga nggak suka kan dengan Laki-laki perokok ?" Andreas bertanya sambil memainkan batang plastik yang menjadi pegangan permen cupa cups nya.
"A, aku memang nggak suka." Lira berkata sambil memegangi dadanya yang terus menerus berdebar tak karuan tiap kali ia memandang Kakak Senior di Kampusnya itu. "Tapi...jika itu Kak Andreas, akan aku pertimbangkan." ia tersenyum lebar dengan mata berbinar dan wajah yang semakin merona.