Sepasang manusia sedang berlarian membelah hutan rimbun pada malam gelap yang bercuaca hujan tak deras.
Seakan tak peduli dengan rintikan air mata langit yang semakin banyak berjatuhan ke bumi, keduanya tetap berlari tanpa memperdulikan rasa lelah yang menyerang tubuh mereka.
Sang manusia satu adalah pria berambut hitam panjang sepundak bermata biru gelap. Dia mengenakan pakaian berupa baju biasa berwarna putih, juga dia mengenakan celana berwarna hitam panjang dengan sendal hitam.
Di belakangnya adalah seorang wanita anggun dengan rambut pirang panjang sampai ke pinggul dengan bola mata hitam yang menyiratkan ketakutan. Dia mengenakan baju sederhana dengan warna hitam berlengan panjang dan rok hitam di atas lutut. Juga, sepasang sepatu hitam terpasang untuk melindungi kaki jenjangnya.
Sang wanita berlari dengan sedang membawa keranjang dengan sebuah lilitan kain berukuran lumayan dan sebuah longsword dengan sarung berwarna hitam legam yang ada di dalamnya. Jika lebih diperhatikan lagi, dibalik celah kain itu terdapat rautan wajah kecil yang damai juga tertidur nyaman.
Dia adalah anak wanita itu, lebih tepatnya anak kedua manusia tersebut. Entah apa yang membuat mereka berlari tergesa-gesa di dalam hutan gelap ini? Juga, apa yang membuat sang wanita terlihat ketakutan?
Namun, sayup-sayup terdengar suara yang menggetarkan batin keduanya. Suara yang tak mampu ditutupi oleh sang hujan. Hal itu dapat terlihat ketika raut wajah wanita itu menjadi semakin takut dan memeluk keranjang dalam gendongannya semakin erat.
Mereka terus berlari sejauh yang mereka bisa sambil dilingkupi rasa takut akan sesuatu yang mengejar mereka. Tak terasa hutan telah terlewati dan sampailah di ujungnya berupa jurang yang dibawahnya sungai yang teramat deras.
"Bagaimana ini, Victor? Mereka semakin mendekat dengan kita."
Pria bernama victor itu menoleh sebentar, dia mengeraskan wajahnya setelah menyadari betapa terpojoknya mereka sekarang.
"Tetaplah tenang Asley. Aku akan mencoba untuk melawan mereka."
Tidak ada rasa ragu sedikit pun dari kata-kata tersebut, apalagi setelah melihat wajah damai di balik balutan kain dalam keranjang yang dipeluk istrinya, Asley. Victor membulatkan tekadnya untuk menghadapi mereka yang mengincar anak semata wayangnya tersebut.
Dan dengan mencabut sebuah pedang yang tersemat di pinggangnya dari sarungnya, Victor lalu mempersiapkan kuda-kudanya sebelum mereka yang mengincar anak semata wayangnya tiba di tempat mereka.
Sedangkan disisi Asley ada sedikit rasa tak rela dan tak enak hati melihat suaminya. Tetapi ia yakin, Victor tidak akan mati semudah itu, tidak sebelum mereka berhasil melihat senyum anaknya saat dewasa nanti.
"Berjanjilah kalau kau akan tetap hidup dan kembali pada pelukanku, Victor! Kita akan membuat keluarga kecil yang bahagia di White Rose Kingdom. Aku mencintaimu!" Suara yang dikeluarkan Asley dengan air mata yang mengalir di pipinya terdengar begitu menyayat bagaikan sembilu bambu diterpa angin pagi.
Sedangkan Victor mengukir senyum tipis melihat istrinya tersebut. Hatinya terasa sakit melihat lelehan air mata itu, tapi bagaimanapun dia harus melakukannya demi keselamatan istrinya, demi masa depan putranya.
"Aku berjanji."
Suara rendah keluar begitu saja dari pita suara Victor. Bersama dengan tatapan matanya yang menajam ketika merasakan hawa tidak mengenakan dari depan mereka berdua.
"Jadi, apa yang kalian mau dari kami?" tanya Victor kepada apa yang ada di dalam kegelapan hutan tersebut.
Keluaralah sekelompok orang berjumlah empat dengan pakaian berwarna hitam yang menutupi seluruh bagian tubuhnya, termasuk wajah dan kepala mereka.
"Yang kami mau? Tentu saja membunuh dirimu beserta istri dan anakmu!" Sahut seseorang diantara mereka yang kemungkinan besar pemimpin kelompok tersebut.
"Assasint..... Apa tujuan kalian untuk membunuh diriku beserta istri dan anakku? Dan sebenarnya apa yang kalian rencanakan?"
Assasint. Identitas dari kelompok itu memang sudah diketahui oleh Victor, karena memang banyak yang menggunakan jasa mereka untuk membunuh orang yang mereka targetkan dengan sempurna. Walaupun pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang sesat, tetapi bayaran yang mereka terima sesuai dengan seberapa besar resiko dari membunuh target klien mereka.
"Victor Terhous, anak dari Edmund Therous Sang Pahlawan. Tujuan? Tujuan kami hanyalah untuk melenyapkanmu beserta istri dan anakmu berdasarkan tugas dari klien kami."
'Dari mana mereka tahu siapa nama diriku ini?! Dan klien? Siapa klien mereka? Sial! Rupanya ada seseorang yang mengetahui keberadaanku yang telah lama menghilang setelah peperangan tersebut.' batin Victor yang merasa waswas terhadap keadaan mereka.
Suara dari assasint tersebut sangat dingin sedingin air es musim dingin di waktu pagi.
Victor tidak menjawab apapun kali ini. Tidak mungkin dia membiarkan dirinya beserta istri dan putranya dibunuh dengan mudah semudah membalikan telapak tangan.
Victor menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan, mencoba untuk tetap tenang di situasinya sekarang. Dia tahu kalau assasint bukan lawan yang mudah dikalahkan jika mereka berkelompok.
"Siapa sebenarnya yang menyuruh kalian untuk memburu kami?" tanya Victor dengan nada yang mengitimidasi.
"Hanya assasint bodoh yang menkawab pertanyaan yang kau lemparkan kepada kami dengan jujur dan polos." balas salah satu diantara mereka dengan nada mengejek.
'Sialan! Sepertinya mereka benar-benar profesional.' rutuk Victor di dalam hatinya.
"Sepertinya tidak ada cara lain ya untuk keluar dari situasi ini." gumam Victor dengan nada yang sangat lirih.
"Heyaaah!!!!!"
Trank!!!
"Sepertinya kau sudah tidak sabar yah?" ejek sang assasint sambil menahan serangan dari Victor menggunakan pedang miliknya.
"Semuanya..., serang!!!" komando dari si ketua assasint tersebut.
Trank!! Trank!! Trank!!
Seketika terjadilah jual beli serangan antara Victor dan para assasint. Walaupun tidak diuntungkan dalam kuantitas, tetapi Victor dapat mengimbangi mereka saat ini. Yah, hanya untuk saat ini.
Trank!! Trank!! Trank!!
Jual beli serangan tersebut berlangsung hingga satu jam lamanya. Sesuai hukum alam, sehebat apapun kualitas yang dimiliki tetap akan kalah apabila diserang dalam satu waktu.
Terlihat dari pakaian yang sobek di sana-sini, gerakan yang mulai tidak karuan dan napas yang memburu karena terlalu banyak menerima serangan, menandakan bahwa hukum alam itu benar adanya. Karena di pihak lain, para assasint tersebut terlihat lebih 'sehatt' daripada keadaan yang dialami oleh Victor.
'Sial!! Kenapa sulit sekali untuk mengalahkan mereka hah?!' rutuk kesal Victor dalam hatinya.
"Apa kau sudah menyerah, Sang Anak Pahlawan?"
Mendengar ucapan itu, entah mengapa dirinya merasa lebih kesal dari sebelumnya. Seolah mereka mengejek keadan dirinya beserta keluarganya.
"Jangan harap sialan!"
Trank!! Trank!! Trank!!
Entah kerasukan apa, tetapi Victor mulai menyerang sengan beringas. Dirinya tersu menyerang mereka tanpa henti dan tanpa membiarkan mereka untuk menarik napas barang sedetikpun.
Dengan perjuangannya tersebut alhasil dirinya dapat mengalahkan dan membunuh tiga orang dari empat assasint tersebut. Tetapi itu harus dibayar mahal, dengan dirinya kehilangan tangan sebelah kiri juga luka tebasan di sekujur tubuhnya.
"Akhhh!!!!!"
Terdengar teriakan yang sangat familiar dari belakangnya. Alangkah terkejutnya dia karena melihat istrinya, Asley tergeletak tak berdaya di tanah berlumpur itu.
"Hahaha!! Akhirnya, pertama-tama aku akan membunuh keturunanmu terlebih dahulu." ucap si ketua assasint dengan seringai kejam tercetak diwajah.
Si ketua assasint itu berjalan kearah keranjang yang di dalamnya terdapat keturunan dari Victor dan Asley.
Oek!! Oek!! Oek!!
"Sialan kau!!"
Trank!!
"A-apa?! Kenapa kau masih bisa bergerak sialan?!" kaget si ketua assasint melihat Victor masih bisa bergerak bahkan melawan dirinya.
"Ketika kau melihat anak mu dalam bahaya apakah kau hanya bisa diam saja sialan!!"
Trank!! Trank!! Trank!!
Pertempuran pun terjadi kembali antara Victor dan ketua assasint itu. Mereka terus saja saling menyerang, hingga.....
Crass!!
"Ugaah......!!"
Brukk....
"Akhirnya..."
Si ketua assasint terkena serangan telak dari Victor berupa tebasan diagonal yang menyayat perutnya. Tebasan itu terlihat sangat dalam dan terusengalirkan darah.
"Apa kau baik-baik saja, Asley?"
Greb!
"Hiks! Victor aku sangat ketakutan sekali." Asley tiba-tiba memeluk Victor dan terisak di pundaknya.
"Sepertinya sudah selesai. Mari kita lihat keadaan anak kita."
Mereka berdua mendekati bayi mereka dan memeriksa keadaannya.
"Syukurlah dia tidak apa-apa. Kau tahu Victor? Raut wajah dan warna rambutnya mirip sekali denganmu Victor." ujar Asley dengan ekspresi terharu yang sangat jelas diwajahnya.
"Dan seperinya warna matanya akan sangat indah seperti dirimu, wahai istriku." goda Victor dengan wajah tersenyum.
Mendapat godaan seperti itu sontak saja wajah Asley langsung merona karena jarang sekali suaminya ini menjadi romantis seperti ini.
"Baiklah mari kita lanjutkan perjalan kita."
"Ayo."
Baru saja mengambil langkah pertama, mereka merasakan hawa nafsu mebunuh yang sangat pekat dari belakang mereka.
"Bajingan!! Kubunuh kalian semua sekaligus!!"
Si ketua assasint yang pada awalnya dianggap sudah mati, tetapi masih hidup itu pun menyerang mereka.
"Sialan!!!"
"Tidak!!!'
Jleeb!! Jleeb!!
" Ohok..."
"Mati juga kau sialan... Ohok..."
Mereka bertiga terkena tusukan dari musuh mereka. Si ketua assasint terkena tusukan di jantungnya yang langsung saja mengakibatkan dia meninggal seketika. Dan pasangan suami istri itu terkena tusukan di perut mereka karena menjadikan diri mereka sebagai tameng hidup bagi keturunan mereka.
"Sepertinya waktu kita sudah habis, istriku."
"Sepertinya begitu. Apa yang akan kita lakukan terhadap anak kita, Victor?" tanya Asley dengan nafas terengah-engah karena nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
"Kita hanyutkan saja di sungai supaya ada yang mengangkat dia menjadi anak mereka yanv menemukannya." usul Victor terhadap istrinya.
"Sepertinya tidak ada pilihan lain." tanggapan dari Asley yang menandakan dirinya setuju.
Dirinya sebenarnya enggan untuk menghanyutkan anaknya di sungai, karena bisa saja di ujung sungai tersebut terdapat air terjun yang sangat tinggi atau anak mereka dimakan oleh hewan buas. Tetapi dirinya yakin bahwa Yang Maha Kuasa akan melindungi anaknya dari atas sana.
"Apakah ada pesan yang ingin kau sampaikan pada anak kita Asley?" tanya Victor kepada istrinya.
"Untuk anakku, Arthur Therous. Jangan pilih-pilih, makanlah yang banyak dan tumbuhlah dengan kuat. Bersistirahatlah yang cukup agar drimu tetap sehat.
Lalu carilah teman. Walaupun sedikit aslakan mereka dapar dipercaya olehmu dan janganlah memanfaatkan mereka walau dlam keadaan apapun.
Ibu tidak begitu pandai, tapi kau harus belajar dengan rajin. Ingatlah jika semua orang punya kelebihan dan kekuranagan. Jadi tidak usah depresi jika tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik. Hormati orang yang akan menjadi orang tuamu dan gurumu, dan yang paling penting adalah prinsip kesatria : jujur, sopan, disiplin, solidaritas, dan tanggung jawab.
Jangan merendahkan martabat seorang perempuan. Ingat, ibumu adalah seorang perempuan jadi kau harus menghargai dan menghormati perempuan.
Arthur, mulai skarang kauu akan menghadapi banyak penderitaan dan kesulitan.
Jujurlah pada dirimu sendiri, bermimpilah dan percayalah untuk membuat mimpimu menjadi kenyataan.
Masih banyak sekali yang ingin ibu katakan padamu,
Ibu ingin lebih lama lagi bersamamu,
Ibu mencintaimu."
"Maaf Victor aku menghabiskan waktumu, hiks.." ujar Asley sambil terisak.
"Dengar Arthur, pesan yang ayah sampaikan kurang lebihnya sama seperti ibumu. Jadilah lelaki yang kuat dan jangan menjadi pecundang, karena aku akan menghajarmu saat kau keakhirat apabila kau menjadi pecundang."
"Selamat tinggal untuk selamanya anakku, Arthur Therous!!" ujar keduanya dengan senyuman diwajahnya saat mereka menghanyutkan anak mereka.
Setelah menghanyutkan anak mereka, keduanya menghembuskan nafas terakhir mereka dengan senyuman di wajah mereka menandakan bahwa mereka sangat percaya pada anak mereka.
Angin perubahan yang berhembus dengan damai
Apa yang diramalkan mulai berjalan
Sang cahaya yang akan menerangi gelapnya dunia ini
Hidup yang diawali dalam kegelapan
Dan berakhir dalam kecerahan
Bagaikan puisi lama
Yang akan terus dikenang
Dan menjadi legenda di kemudian hari
_______________________________________
White Rose Kingdom, kerajaan dari bangsa Manusia yang menempati wilayah Ethernal World di bagian timur sebelah barat. Di hutan lebat perbatasan White Rose Kingdom dan Green Stone Kingdom yang dikira orang sangat angker terdapat satu rumah ditengahnya. Rumah yang berukuran 10 x 10 meter itu yang terbuat dari kayu hutan seakan menjadi tempat singgah yang sangat menenangkan.
Sang pemilik rumah, seorang lelaki di usia kisaran akhir dua puluhan berambut hitam dengan mata berwarna merah ruby dengan tinggi tubuh rata-rata sedang memancing di sungai untuk menangkap ikan sebagai kebutuhan pangan dirinya.
Walaupun dia mengembala domba, karena dia sangat sayang pada dombanya itu dia tidak rela untuk menyembelihnya. Jadinya dia memancing untuk kebutuhan pangannya.
"Hari ini, aku Guandhor akan menangkap ikan yang banyak. Apabila aku tidak menangkap ikan yang banyak, aku akan menjadi seorang ayah tanpa istri."
Jduar!!!
"Gyaa!!! Terkaget aku. Oy Tuhan, kali ini pasti aku akan menepati janjiku." ujar kesal Guandhor entah pada siapa.
Tiba-tiba saja ada suara petir yang entah dari mana datangnya. Karena tidak ada angin dan juga tidak ada hujan petir tersebut tiba-tiba menyambar.
Setelah tiba pada tengah hari si Guandhor itu tidak mendapat ikan satupun. Entah karena nasib sial yang tidak mau berpihak kepadanya atau nasib buruk yang jatuh cinta padanya, dia selalu saja dial setelah mengucapkan sumpahnya.
"Kenapa aku selalu siah hah?!!" kesal Guandhor karena tidak mendapat ikan satupun.
Tidak pernah terpikir akan ada yang memakan umpannya, pancingan yang dia gunakan melekung dengan tajam seolah adanikan yang sangat besar memakan umpan miliknya.
"Akhirnya! Setelah sekian lama, aku akan mendapat ikan"
Dengan ditarik sekuat tenaga pancingan tersebut membuat apa yang menyangkut di pancingannya tertarik kepermukaan. Seperti kata pepatah 'Kenyataan tidak sesuai dengan ekspetasi' berlaku. Karena apa yang menyangkut di pancingannya bukanlah ikan melainkan sepatu bot rusak entah milik siapa.
"Terkutuklah engkau yang membuang sepatu ini sembarangan!!!" kutuk Guandhor kepada entah siapa yang membuang sepatu itu.
Oek!! Oek!! Oek!!
"Sepertinya aku mulai berhalusinasi."
Oek!! Oek!! Oek!!
"Tetapi ini terasa sangat nyata."
Oek!!
"Oke sekarang aku mulai merasa takut. Apakah benar kata orang bahwa tempat ini sangat berhantu?"
Perlu diketahui, bahwa sebenarnya Guandhor ini sangat takut akan namanya hantu. Lalu kenapa ia bisa ada di tempat ini? Itu karena dia ingin menghilangkan rasa takutnya dengan memberanikan diri tinggal ditempat ini. Sangat tolol bukan?
Oek!! Oek!! Oek!!
"Sepertinya suara itu dari keranjang yang hanyut disungai itu ya?"
Oek!!
"Ternyata benar!! Lalu apa yang harus aku lakukan?! Baiklah, tenang - tenang, pertama-tama aku harus membawa keranjang itu ke daratan."
Byuuur...!!
Tanpa pikir panjang Guandhor langsung menyebur ke sungai untuk menyelamatkan apa yang ada di dalam keranjang itu.
"Ternyata seorang bayi. Siapa yang tega membuang bayi tampan, walaupun lebih tampan aku sih, kesungai ini?" pertanyaan Guandhor dengan sedikit narsis.
"Jadi siapa namamu? Disini tertulis Arthur, Arthur Therous. Jadi namamu Arthur Thero- apa?!"
Dengan nada terkejut dia menatap bayi itu dengan mata terbelalak.
"Jadi anak itu adalah dirimu, ya?" ucap Guandhor sambil terseny dengan nada yang sangat lembut.
Guandhor lalu mengeluarkan bayi Arthur dari keranjang dan mencari sesuatu di dalam keranjang itu.
"Kalau kau adalah Sang Anak Dalam Ramalan yang asli pasti ada 'itu' bersamamu."
Dan benar saja dia mendapatkan sebuah pedang dengan sarung berwarna hitam legam. Dia lalu mengeluarkan pedang itu dari sarungnya, dan terlihatlah bilah yang berwarna sangat bening seperti perhiasan kelas atas.
"Tidak salah lagi ini adalah 'Lucifer' pedang yang digunakan oleh King Edmund dalam perang besar tersebut."
Dengan rasa kagum atas pedang yang ada di genggamannya tersebut, dia sempat berpikir bagaimana cara pengrajin pada zaman itu membuat pedang sekuat dan seindah ini?
"Jadi yang akan menjadi 'Penuntun' adalah diriku ya?" ujar Guandhor sambil merenungkan lanjutan dari ramalan itu.
Dengan didampingi Sang Penuntun
Seseorang yang akan menuntunnya kembali apabila dia telah menimpang
Yang akan menjadi orang tua dan guru
Sang Anak Dalam Ramalan akan membawa perdamaian kembali ke tanah ini
"Apakah aku sanggup menjadi seorang penuntun bagi dirinya?" ucap Guandhor menatap dengan lekat kearah bayi Arthur.
"Bukan waktunya untuk berpikir, sekarang aku akan melakukan upacapa pengangkatan"
Dia Guandhor mulai mengucapkan lafal sumpah pengangkatan.
"Dengan ini aku Guandor,
Mengangkatmu Arthur Therous unruk menjadi anakku,
Kita tidak akan terpisah,
Hingga maut memisahkan,
Aku berjanji pada Yang Maha Kuasa,
Tidak akan melalaikan segala yang aku ucapkan."
Setelah itu Guandhor menyayat telapak tangannya menggunakan 'Lucifer' dan mengucurkan darahnya ke sungai tersebut.
"Sekarang kita telah sah menjadi ayah dan anak angkat Arthur Therous."