Kantor Prolet sedang heboh. Pengumuman penting terpajang di pintu masuk kantor;
Ingat! Matikan komputer dengan benar. Jangan hidupkan dulu esok hari. Biarkan orang IT memasang perangkap dan penangkal virus Ingin Menangis terlebih dahulu.
Prolet membaca sekali lagi. Virus Ingin Menangis? Wah kelihatannya menyengsarakan sekali. Prolet masuk ruang kerjanya. Rekan rekan sekerjanya sedang bersantai. Semua komputer tidak ada yang menyala. Menunggu sang tabib tiba.
Prolet mengetuk-ngetukkan pulpen di mejanya. Nada ketukannya senada dengan lagu Led Zeppelin namun yang keluar dari mulutnya adalah Anggur Merahnya Maggie Z. Prolet menjadi geli sendiri.
Sebuah tepukan keras di bahunya hampir membuat Prolet terjatuh saking kagetnya. Sahwat meringis kejam. Lalu berlalu begitu saja. Prolet menggeleng gelengkan kepala. Setengah maklum.
Sahwat yang berhasil menjalankan rencana mengagetkan Prolet, cengar cengir penuh kemenangan. Prolet boleh saja sudah promosi menjadi staf admin. Tapi baginya, Prolet tetaplah deretan kacung yang tak perlu dikasihani. Kau tak akan pernah bisa lebih tinggi dari bahuku Prolet.
Saking girang dan terburu-burunya, Sahwat tidak lagi memperhatikan jalan. Sibuk menebarkan senyuman yang kata emaknya senyuman pemikat, Sahwat tidak melihat Bos Kecil sedang berjalan cepat sambil menunduk memperhatikan catatan-catatan di tangannya.
"Brukkk..." keduanya bertabrakan dengan cukup telak. Kertas catatan berhamburan dari tangan Bos Kecil. Sementara Sahwat meringis-ringis kesakitan. Lebih banyak sebagai alibi pura-pura agar tidak dimarahi.
Bos Kecil mendelik marah. Dia menunjuk Sahwat dengan telunjuk gemetar.
"Hmmm...jalan tidak pakai mata!" kemarahannya menggetarkan ruangan. Luar biasa mencekam hati Sahwat.
Sahwat pucat pasi. Rasanya ingin menangis! Bos Kecil begitu menakutkan saat tidak sedang marah. Begitu mengerikan jika sedang dihampiri amarah. Gambaran iblis bertanduk dan bertaring di lukisan lukisan jaman sebelum renaissance.
----
Bos pantry menatap Sahwat hampir tak percaya.
"Kamu gila! Kenapa sampai bisa terjadi seperti itu? Apa tidak kau awasi?! Kau tinggalkan saat seharusnya kau ada ya?!"
Sahwat tertunduk ingin menangis! Uh, hari ini dia apes sekali.
Sambil ngedumel panjang pendek, bos pantry memeriksa microwave yang gosong, kompor gas yang hangus, separuh pantry habis terbakar. Wajahnya sebentar-sebentar seperti udang rebus, lalu berubah pias seperti kertas. Bos Kecil akan menuntut tanggung jawabnya. Potong gaji karena teledor! Duuhh. Rasanya ingin menangis!
----
Prolet memelototi televisi di kantin yang menari-nari di depannya. Rasanya ingin menangis! Peperangan tak henti henti di belahan bumi sana. Kelaparan mengancam di sudut yang lain. Hutan-hutan terbakar. Rumah-rumah terbawa air bah. Iklim dunia memanas dengan cepat. Luka ozon semakin lebar. Badai matahari setiap saat bisa datang menghancurkan.
Hati Prolet semakin teriris-iris. Rasanya benar-benar tidak tahan untuk tidak menangis! Tuan Puteri tidak mau menyapanya berhari-hari setelah kejadian jampi-jampi. Kemarahan Tuan Puteri seperti batu karang. Begitu teguh. Dia sudah mencoba meminta maaf dengan berbagai cara. Tuan Puteri bahkan tidak mau menatapnya.
Hati Prolet serasa jatuh di comberan. Tersayat-sayat oleh rasa bersalah. Direndam bersama cucian baju selama seminggu. Bau dan tidak mengenakkan. Dia harus benar-benar menemukan sebuah cara agar dimaafkan.
----
Tuan Puteri selesai menandatangani semua berkas perjanjian dengan klien. Hhhh tugasnya hari ini sudah selesai. Beristirahat dan makan gado-gado sebagai menu tambahan setelah siang tadi hanya terisi roti selai, rasanya cukup layak baginya. Tapi Tuan Puteri ogah menyuruh Prolet. Hatinya masih kesal bukan main! Menyuruh Sahwat? No way. Selalu gado-gado aneh yang datang. Ahh, seandainya ada keajaiban. Gado-gado rasa Prolet tanpa dia harus menyuruhnya.
Mata ayu itu memandangi setiap sudut ruangan. Ruang kantornya yang besar ini rasanya seperti Sahara. Begitu kering dan menyesakkan. Pemuda bodoh! Rasanya ingin menangis!
Tuan Puteri menghentikan lamunannya yang begitu terik. Dihentikan paksa oleh suara ketukan 3 kali di pintu.
"masuk...." suaranya lemas.
Prolet berjalan menunduk membawa nampan. Tuan Puteri melengos dengan sigap. Tak mau melihat.
Prolet meletakkan nampan sepelan mungkin. Suara piring beradu dengan meja kaca seolah bisa meledakkan upaya minta maafnya menjadi sia-sia.
Prolet berlalu tergesa keluar ruangan. Pintu tidak ditutup. Dia kembali lagi dengan tergesa. Meletakkan sebuah pot bunga cukup besar di sudut ruangan. Sebelum keluar dan menutup pintu. Menyampaikan puncak dari permintaan maafnya.
"Tu...tuan Pu..puteri...maafkan sa..saya..." tetap dengan gagapnya yang aneh. Tuan Puteri tetap diam sejuta bahasa.
Pintu tertutup pelan. Tuan Puteri menoleh dan hampir memanggil. Dibatalkan. Penasaran dengan apa yang dibawa Prolet tadi. Menuju sudut ruangan. Bunga-bunga ungu bermekaran menyiarkan keharuman. Bunga Airmata Kekasih!
Mata Tuan Puteri sudah bersiap-siap. Dihampirinya meja di tengah ruang kerjanya. Dibukanya tutup saji cantik di depannya. Gado-gado kesukaannya! Beberapa butir mutiara melewati pipinya dengan leluasa. Tuan Puteri benar benar menangis....