webnovel

That Happened

Miranda melihat Alessa seperti telah melihat hantu. Ia sangat terkejut dan gugup, matanya yang merah seakan memudar menjadi hitam kembali. "Apa yang kau lakukan disini, Alessa?" ia bertanya dengan begitu cepat seolah-olah jika tidak berbicara dengan cepat waktu akan berhenti saat itu juga.

"Kau terlihat sangat marah. Apa yang telah terjadi, Miranda?" tanya Alessa dengan hati-hati.

Jeda beberapa saat. Tidak ada jawaban hanya tangisan dari Miiranda yang kembali terdengar. Tangisnya kali ini terlihat sangat menyedihkan, lebih menyedihkan dari seseorang yang sedang putus cinta.

Alessa mendekatinya dengan hati-hati. "Hey, mengapa kau menangis? Apa kau menangis karena hilangnya Molly, hm? " tanyanya lagi, sambil melihat buku-buku dan pakaian yang berhamburan di lantai.

Dan pandangannya tak sengaja tertuju pada se-ekor anjing kecil yang tertidur di atas karpet bulu. Itu Molly, lalu Miranda menangis karena apa? Saat hendak bangkit mendekati Molly. Ucapan Miranda menghentikan niatnya.

"Aku bukan lagi manusia...," ucap Miranda lirih. Alessa sungguh tidak mengerti.

"Apa yang kau katakan?" Tanyanya bingung.

Miranda yang saat itu tengah duduk dengan menekuk lututnya, bangun dan memegang bahu Alessa dengan erat.

"Kau harus percaya padaku!" Desaknya terlihat sangat meyakinkan, sebelum bercerita apa yang sudah terjadi.

Flash back...

Pada malam itu Miranda pergi ke hutan untuk mencari anjing kesayangannya. Molly. Sebenarnya ia takut untuk pergi sendiri, terlebih lagi hari sudah larut malam, namun rasa takut segera ia tepis jauh-jauh, ini demi anjing kesayangannya. Di malam yang gelap dan hanya penerangan dari flash ponsel, Miranda berjalan sendiri menuju hutan yang lebat, sambil sesekali memanggil nama Molly.

Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu yang bukan tanah. Yang ia injak adalah sebuah peti yang terkubur di dalam tanah. Miranda sangat terkejut, ia menyingkap dedaunan dan tanah pada atas permukaan peti, samar-samar ia melihat seperti simbol angka delapan yang ukirannya rumit di atas permukaan peti tersebut. Peti itu seperti sudah lama terkubur sehingga hampir tak terlihat. Karena penasaran ia membukanya.

Isi peti itu sangat gelap tak terlihat apa pun. Miranda mengarahkan ponselnya pada peti tersebut. Lagi-lagi ia terkejut mendapati seorang pria yang sedang tertidur tenang. Kulitnya sangat pucat, namun ia juga sangat tampan.

Tiba-tiba mata pria itu terbuka lebar matanya semerah darah. Miranda mulai merinding pada saat itu. Ketika ia hendak berlari tubuhnya seperti ada yang menahan. Sebelum menghisap darahnya sampai habis, pria itu memberikan sedikit darahnya kepada Miranda. Rasa sakit pada lehernya membuat Miranda tidak tahan, tubuhnya lemas hingga ia tidak sadarkan diri.

Setelah beberapa jam ia baru sadar, dan sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Ia terkejut ketika melihat Molly tiba-tiba ada di kamarnya, anjing kecil itu sedang tidur di atas karpet. Apa tadi aku hanya bermimpi? Batinnya.

Miranda merasakan sakit di bagian lehernya tubuhnya juga terasa panas seperti menginginkan sesuatu. Ia berdiri di depan cermin, ada bekas gigitan di sana, dan kulitnya berubah menjadi sangat pucat. Pada saat itu Miranda merasa sangat haus, tetapi bukan haus biasa. Ia seperti sangat menginginkan darah.

Wanita itu menjambak rambutnya frustrasi. Entah mengapa ia jadi sangat menginginkan darah. Diliriknya Molly yang sedang tertidur,ia tidak mungkin membunuh anjingnya itu. Miranda sangat menyayanginya. Akhirnya ia memutuskan keluar tengah malam,tidak peduli dengan apa pun. Yang ia pikirkan hanya darah dan darah.

Ia berlari kencang keluar rumah. Tidak butuh waktu lama Miranda sudah sampai di taman yang ada di tengah kota Brooklyn. Taman itu nampak sepi, karena sudah menjelang tengah malam. Matanya langsung tertuju pada seorang polisi yang sedang berjalan-jalan mengawasi taman itu. Miranda menemukan makanan pertamanya.

Dengan memelesat ia langsung menghampiri polisi itu dan langsung menggigitnya di bagian leher. Menghisap darahnya sampai habis hingga polisi itu tak bernyawa.

Setelahnya Miranda masih bingung dengan dirinya sendiri, bingung dengan apa yang telah terjadi pada sikapnya. Dalam perjalanan menuju rumah ia merasa perjalanan itu sangat singkat, padahal jarak antara taman ke rumah lumayan jauh.

Sampai di halaman rumah ia terkejut melihat sosok lelaki di depan pintu rumahnya, seolah memang sedang meunggunya pulang. Ia lelaki yang di dalam peti tadi Miranda ingat dari warna kulitnya yang sangat pucat. Tunggu, bukankah semua itu hanya mimpi?

"Aku tau kau telah menghabisi seseorang," ucap pria itu dengan mata tajamnya.

"Kau, sudah menjadi Vampir," tambahnya lagi.

Vampir? Mengapa bisa?

"Kau harus menuruti permintaanku. Namaku Edgar. Terima kasih karena, telah membangunkanku," lagi-lagi ia berbicara duluan.

"Aku vampir? Mengapa aku harus menuruti permintaan mu?" Menurut Miranda orang di depannya ini sangat aneh.

"Kau sudah ku berikan sedikit darahku, dan jelas kau harus menurutiku, kalau tidak aku akan menghancurkan hidupmu. Mulai sekarang anggaplah aku sebagai sepupumu. Dan tugas pertamamu, aku ingin kau bawa besok temanmu yang bernama Alessa." Terangnya yang sarat akan ancaman dan perintah.

"Alessa? Dimana kau tau aku mempunyai teman bernama Alessa?" Miranda yang masih bingung terus bertanya.

"Ck. Kau terus bertanya, turuti saja apa kataku. Aku akan terus mengawasimu. Ingat itu!" setelah mengatakan semua, Edgar melesat pergi. Miranda masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang kacau sekaligus bingung, ia kembali ke kamar dan tidak lama ia tertidur.

Lalu besok pagi sewaktu di sekolah. Miranda sangat ingin sekali memakan daging, padahal semua anggota keluarganya adalah seorang vegetarian termasuk dirinya. Mungkin itu juga pengaruh dari gigitan di leher kemarin malam. Apa benar sekarang ia sudah menjadi vampir.

Flash back of...

"Apa? Vampir?" Alessa tertawa hambar. "Mengapa ia menyuruhmu untuk bertemu denganku. Oh, shit aku sudah tidur dengannya tadi malam. Ini tidak mungkin, tidak mungkin aku tidur bersama seseorang yang bukan manusia!"

"Kau tidur dengannya? Bagaimana bisa?" tanya Miranda.

"Ah. Ini benar-benar kacau. Apa yang harus ku lakukan sekarang ?" Alessa benar-benar frustrasi sekarang.

"Aku juga tidak mengerti. Maafkan aku, Alessa, " ucap Miranda lirih.

Alessa memeluk sahabatnya itu dengan sayang. "Tenanglah, Miranda," menenangkan orang lain, padahal justru dirinya sendiri sangat panik sekarang.

Ini sungguh sulit di percaya. Polisi kemarin meninggal memang karena digigit vampir dan vampirnya adalah sahabatnya sendiri. Tentu saja sekarang Alessa percaya. Miranda tidak mungkin berbohong, bukan?

Ya Tuhan. Ia tidur dengan seorang vampir tadi malam. Alessa melepaskan pelukannya dan kembali mengecek seragam sekolahnya. Masih utuh semua dan tidak ada yang mencurigakan, selain kotor dan bercak darah karena luka. Agrh, ia bahkan tidak tau bagaimana bisa ia mendapatkan luka-luka ini.

"Miranda sebaiknya aku pulang sekarang, maaf tidak bisa menemanimu lebih lama lagi disini. Tenangkan dirimu, ya!" Pamit Alesaa. Miranda hanya mengangguk.