webnovel

A Door

Jika ada yang menanyakan apa ada hal yang lebih bahagia dari ini, maka jawabannya tidak ada. Bagi Edgar tidak ada yang lebih menyenangkan dari ini, selain menatapi gadis cantik di sampingnya yang tengah memeluknya dengan erat. Jika saja ia memiliki mesin waktu, atau mesin penghenti waktu, maka ia akan menghentikan waktu sekarang juga.

Bagi Edgar ini adalah sebuah kemajuan. Ia yakin suatu saat nanti Alessa akan menyukainya juga, sama sepertinya.

Malam tadi mungkin ia terlihat begitu lemah. Ralat, mungkin terlihat sangat lemah. Ia memang seperti itu jika sedang sangat haus darah. Tubuhnya akan menggigil dan berkeringat dingin.

Ia bisa saja mencari mangsa tadi malam, namun yang ia inginkan hanya berada di samping Alessa dan memeluk tubuh wanita itu dengan erat.

Yang dirasakan Edgar malam tadi ternyata tak kunjung hilang juga, karena kini ia masih merasakan efeknya hingga sekarang. Edgar menggeram rendah menahan gejolak dalam dirinya. Lehernya terasa sangat panas, hingga keringat sebesar biji jagung bercucuran di keningnya.

Geraman rendah tersebut membangunkan Alessa dari tidur nyenyaknya.

Wanita itu langsung bangun dan menyentuh kening Edgar, "Apa kau masih kedinginan?" tanya Alessa dengan nada khawatir.

Edgar tersenyum. "Hm ... Jadi kau sudah mulai perhatian denganku sekarang?" tanya Edgar dengan nada jahil.

Alessa memutar bola matanya dan berdecak, ba

Edgar terkekeh. "Aku hanya ingin darah." bisiknya serak.

Alessa memelotot. "Darah? Darah apa?... Akh, ya aku baru ingat kau seorang vampir. Mengapa tidak kau cari saja?"

"Untuk apa aku mencari, jika di depanku saja sudah ada."

Alessa menatap Edgar dengan pandangan seolah berkata 'maksudnya aku?'

"Apa kau mau menolongku?" tanya Edgar sedikit memohon. Ia benar-benar tidak bisa menahan hasrat dalam dirinya.

"Untuk menghisap darahku?" tanya Alessa polos sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Ya, apa kau mau?"

"Apa darahku akan habis?" tanyanya lagi sekedar memastikan, karena yang terakhir kali Alessa merasa sangat lemas, seperti tidak ada lagi darah yang tersisa.

Edgar terkekeh, "Tentu saja tidak, malah kita akan semakin terikat."

"Terikat apa?"

"Terikat seperti ini misalnya!" Edgar memajukan tubuhnya semakin dekat kepada Alessa.

"Edgar kau mau apa?" tanya Alessa sembari menjauh dari Edgar yang semakin dekat dengan wajahnya. Berhadapan dengan jarak sedekat ini membuat Alessa gugup, menahan napas.

Edgar berusaha menahan tawa melihat Alessa yang seperti salah tingkah. wajahnya memerah.

"Hm ... Sepertinya kau sudah tidak sakit lagi. Aku akan ke kamar mandi," ucap Alessa sembari turun dari tempat tidur. Edgar mencekal tangannya. Tangan itu terasa sangat dingin saat menyentuh permukaan kulit Alessa.

"Kau tidak mau membantuku?" tanya Edgar lagi, kali ini lebih serius.

"Kau terlihat baik-baik saja, Edgar." Alessa memutar bola matanya malas.

"Ku mohon!" Pria itu terlihat sungguh menderita, Alessa tidak tega melihatnya.

Alessa menghela napas pasrah. "Baiklah-baiklah, apa yang harus ku lakukan?"

Edgar tersenyum kemenangan. "Hanya sedikit!" setelah itu Edgar menggigit telapak tangan Alessa menghisap darahnya dengan lembut. Tidak ada gigitan rakus dan hisapan yang kasar. Kali ini ia melakukannya dengan sangat pelan agar Alessa tidak merasa sakit.

Tetapi tetap saja Alessa merasakan sakit walaupun tidak separah yang lalu. Alessa melotot ketika Edgar menghisap darahnya terlalu banyak. Namun sedetik kemudian ia hanya pasrah. hitung-hitung berbuat kebaikan.

Edgar terlihat sangat menikmati darah manis Alessa. Tak ada yang bisa Alessa lakukan selain menerima kenyataan. Alessa tersenyum getir dengan hidupnya yang malang. Menjadi gudang darah untuk makhluk immortal ini.

Alessa larut dalam lamunannya sampai ia tak menyadari bahwa Edgar sudah tidak menggigitnya lagi. Bahkan Edgar sudah menutup bekas gigitannya dengan plester luka. Benar-benar terlihat bertanggung jawab.

"Eh, sejak kapan kau menutup bekas lukanya?" tanyanya heran.

"Tadi." jawab Edgar singkat.

"Oh, yasudah aku ke kamar mandi dulu." Alessa melenggang menuju kamar mandi.

Setelah beberapa menit kemudian Alessa keluar. Tak ada Edgar lagi di dalam kamar. Setelah memakai dress berwarna tosca, Alessa memutuskan untuk keluar dari kamar.

Di depan pintu ia bertemu pelayan yang mengantarnya ke kamar kemarin yang bernama Emely.

"Tuan, sudah menunggu anda di ruang makan, Nona." ucapnya sambil menunduk sopan.

"Dimana tempat ruang makannya?" Alessa membenahi dress-nya lagi, lalu kembali menatap Emely.

"Mari saya antar."

Setelah melewati beberapa anak tangga dan sampai lah di lantai dua, ternyata masih harus melewati beberapa lorong lagi, yang bagian dindingnya terdapat lukisan-lukisan yang pasti harganya mahal, dan baru sampai lah di ruang makan. Di ruangan itu terdapat sebuah meja makan yang sangat besar di sana, mampu menampung kiranya sekitar 12 orang.

Alessa memilih tempat duduk yang lumayan jauh dari Edgar. Dan mulai memakan makanannya dengan khidmat.

"Aku akan pergi setelah ini. Kau jangan kemana-mana!" Alessa mendongak mentap Edgar.

"Ya, aku tau." jawab Alessa datar.

"Kau tidak ingin bertanya aku pergi kemana?"

Alessa mengernyitkan keningnya. "Apa?"

"Mengurus pernikahan kita," jawab Edgar dengan senyum menggoda nya.

Hampir saja Alessa menyemburkan makanannya karena terkejut. Ia langsung meminum air putih dan berkata. "Kau gila!"

"Kau selalu saja menyebutku gila. Bisakah kau ganti kata gila dengan kata 'tampan'!"

'Kau tampan' ya kau memang tampan. Tetapi kata gila lebih cocok untukmu. Batin Alessa.

"Aku tidak ingin menikah denganmu." sanggahnya cepat.

Edgar tertawa, sedangkan Alessa mendengus kasar. Apa yang lucu? Batinnya lagi.

"Tidak-tidak, aku hanya bercanda." ucap Edgar sembari bangkit dari kursi.

"Jangan kemana-mana ya!" bisiknya ketika di dekat Alessa.

"Ya." jawab Alessa singkat.

Setelah itu Edgar benar-benar pergi.

Setelah makan. Alessa memutuskan untuk berkeliling mansion. Wanita itu menyapa ramah ke setiap pelayan yang berpapasan dengannya. heran,mengapa Edgar mempekerjakan pelayan dan bodyguard sebanyak itu. Padahalkan dia seorang vampir.

Alessa memutuskan untuk ke halaman belakang, yang terpaksa ia harus turun ke lantai dasar. Mansion ini terdiri dari tiga lantai.

Di halaman belakang tersebut terdapat kolam renang yang luas, di sisi-sisinya juga terdapat pepohonan dan bunga-bunga yang tertata rapi. Alessa sungguh menyukai suasana di tempat ini.

Udaranya sangat sejuk dan pemandangan yang juga memanjakan mata.

Setelah puas bermanja-manja dengan halaman belakang Alessa memutuskan untuk ke kamarnya yang berada di lantai tiga. Kali ini Alessa memutuskan untuk menggunakan lift.

Sampai di lantai tiga. Alessa langsung menuju kamarnya, namun langkahnya harus terhenti, tatapannya tertuju pada sebuah pintu yang terdapat di paling ujung ruangan. Pintu berwarna cokelat dengan aksen 'angka delapan'. Terdapat ukiran-ukiran rumit juga pada sisi-sisinya.

Alessa mendekati pintu itu karena penasaran. Setelah sampai di depan pintu, Alessa meraih handle pintunya dan hendak membuka.

Dan...