Pulau Cemara Besar memiliki air laut jernih dengan pasir pantai putih yang bersih. Endapan pasirnya terbentang begitu luas. Di sepanjang pesisir pantai banyak ditumbuhi pohon cemara yang cukup lebat hingga dari kejauhan nampak indah dan sejuk. Yang paling menakjubkan adalah biota lautnya. Ribuan jenis mahluk, sebagian besar filum Coelenterata dan Porifera menghias dasar dengan keelokan bentuknya. Berbagai jenis nekton bahari, ikan-ikan kecil berwarna-warni berlarian di sela-sela Anthozoa. Luar biasa cantik.
Aku memanjakan kaki berendam di air laut yang dangkal, duduk pada sebuah karang menikmati panorama yang memanjakan mata. Ada banyak ikan kecil warna warni berenang bebas di dekat kaki telanjangku. Sebebas diriku sekarang. Tanpa ada gangguan Naren.
Ini adalah hari keempat aku kemping di pulau cemara besar. Salah satu pulau di kepulauan karimunjawa. Tidak seperti bayanganku. Ternyata pulau ini begitu indah.
Dari jarak seratus meter tempatku duduk, ada tujuh buah tenda berdiri tegak disana. Tiga puluh lebih mahluk menghuninya, sebagian besar dari klub pecinta alam dan wall climbing.
Selama empat hari ini pula aku tidak mendapat kabar Naren. Bersyukurlah aku, karena provider ponselku kehilangan sinyal di pulau terpencil ini. Sehingga gangguan Naren yang sering menelepon aku pun ikut lenyap.
"Kanya! Jangan sendirian di situ! Nanti tenggelam!" teriak Odi melambai dari tenda.
Ngigau itu anak. Ini airnya dangkal mana mungkin aku tenggelam. Dan kalaupun iya aku tenggelam, memangnya aku tidak bisa berenang? Aku tidak akan diterima di klub pecinta alam kalau tidak bisa berenang. Itu ketentuan yang mereka buat.
Aku melambaikan tangan membalas. Odi merusak suasana pagiku saja. Dan tanpa sengaja mataku menangkap sepasang kekasih yang sedang jogging bersama menyusuri pesisir pantai. Kekasih? Aku tidak yakin. Itu Ramon dan Alisya.
Alisya??? Iya dia gadis itu. Gadis yang tidak gentar mengejar cinta Naren. Aku tidak habis pikir kenapa barbie itu ikut kegiatan kemping klubku. Kegiatan yang kami lakukan di sini tidak cocok untuknya. Terlebih untuk keamanan kulit mulusnya.
Dari semua anak, yang aku yakini penyebab Alisya berada di sini hanya Ramon. Laki-laki itu terobsesi dengan si barbie. Salah satu alasan juga dia begitu sangat memusuhi Naren.
"Hei... "
Lamunanku buyar. Saat suara berat itu menyapa. Kenan. Dengan kaos oblong dan celana cargo pendeknya sudah berdiri di hadapanku. Kenapa aku tidak menyadari kedatangannya?
"Kenapa melamun disini?" tanyanya. "Kamu lagi rindu dengan prince charming-mu itu ya?" lanjutnya.
Aku berdecak. Aku sudah menghabiskan masa bertahun-tahun mengenal Naren. Hanya tiga hari aku tidak berjumpa. Mana mungkin aku rindu dengan orang yang membuat hatiku bahagia dan kesal secara bersamaan itu? Mustahil.
"Jangan menyebutnya seperti itu. Sebutan itu sama sekali nggak cocok untuknya."
Kenan tertawa. Entah apa yang lucu.
"Mereka yang menyebutnya seperti itu."
"Dia lebih cocok dengan sebutan si tuan posesif yang menyebalkan. Prince charming terlalu manis untuknya."
"Dan untuk gadis yang suka bergerak bebas seperti kamu bisa bertahan di sisinya selama ini, bukankah itu suatu pencapaian yang luar biasa?"
"Tentu. Harusnya aku dapat penghargaan untuk itu."
Kami tertawa, seolah ini hal lucu. Sebenarnya aku enggan membahas apapun tentang Naren.
"Kamu sangat mencintainya. Itu sebab kamu bisa bertahan."
Kenan selalu beranggapan seperti itu. Tapi aku jarang menanggapi. Entah apa maksudnya. Dia bicara seperti itu dengan nada yang sulit aku mengerti.
"Pagi ini kita sarapan apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku rasa Kenan menyadarinya. Dia tersenyum masam.
"Kita akan sarapan nasi goreng spesial buatan Odi."
Reflek tanganku mengusap-usap perut. "Kedengarannya enak, mendadak perutku jadi laper."
Aku bangkit dari tempatku duduk. Menerima ajakan Kenan untuk menemui anak-anak lain yang tengah berkumpul di dekat tenda, bersiap untuk sarapan pagi. Sebenarnya aku tidak ingin terlibat obrolan lama dengannya. Apalagi hanya berdua. Meskipun tidak melihat, aku tidak mau Naren terus berasumsi kalau Kenan menyukaiku.
***
"Kelihatannya Kenan suka sama lo."
Gerakan tanganku yang sedang mencari-cari sesuatu dalam ransel terhenti.
Aku tahu itu suara siapa. Suara kenes yang mendayu-dayu. Posisiku membelakanginya. Tapi aku bisa yakin itu suara milik Alisya. Tambah satu orang lagi yang berpikiran Kenan menyukaiku.
Aku kembali merogoh isi ransel, tanpa berniat merespon ucapannya.
"Lo itu cocoknya sama cowok kayak dia. Bukan sama Naren."
Oya? Terus Naren cocoknya sama siapa? Lo, gitu?
Harusnya kata-kata itu keluar dari mulutku. Tapi rasanya malas untuk membuka suara.
"Mungkin mata Naren perlu diperiksa. Kali aja dia salah sasaran pas nembak lo."
Aku sudah pernah bilang seperti itu dulu. Langsung dengan yang bersangkutan. Jadi aku tidak terlalu terusik dengan kemampuan perempuan itu 'mengolah kata' yang berusaha membuatku merasa tak nyaman.
"Lo denger gue ngomong nggak? Lo nggak budeg kan?!"
Bagus Kanya! Lo bikin si barbie meradang.
Aku menghentikan kegiatanku mengorek-orek isi ransel. Menoleh ke arah Alisya, menatapnya heran. Sebenarnya mau perempuan ini apa? Aku lihat kemudian dia tersenyum. Bukan jenis senyum ramah atau manis. Melainkan senyuman sinis seolah dia mengumandangkan genderang perang.
"Lo ngomong sama gue?" tanyaku datar. Aku yakin ekspresiku membuat kekesalannya bertambah.
"Gue kira lo budeg."
"Kenapa?"
"Naren.... "
"Kenapa Naren?"
Perempuan itu menggeram. "Lo yang bikin dia ngejauhin gue. Sebelum dia pacaran sama lo, dia masih deket sama gue. Sekarang dia terus ngindarin gue. Sebenarnya apa kurangnya gue dibanding lo?"
Aku menghela napas. Sedekat apa Naren dengan perempuan ini? Aku tidak peduli.
Tidak ada yang tahu hubunganku dengan Naren sejauh mana. Tiga bulan, terhitung semenjak tiga bulan aku baru mau diajak go public oleh Naren. Setelah sebelumnya selama dua tahun aku menjalani hubungan tanpa diketahui siapapun. Termasuk kedua orang tuaku.
Aku tidak pernah melarang Naren bergaul dengan perempuan lain. Aku percaya padanya. Dia memang baik, tapi kadang kebaikannya itu disalahartikan. Perempuan yang merasa dibaiki, mudah sekali baper karenanya. Mungkin termasuk Alisya. Gosip antara Naren dan Alisya memang dulu terdengar simpang siur. Dan aku tidak pernah mendengar dari mulut Naren sendiri tentang kebenaran hubungan mereka seperti apa. Dan seberapa dekat. Aku juga enggan bertanya.
Tiga bulan ini mungkin Alisya syok karena merasa kalah saing denganku yang hanya gadis biasa-biasa saja bisa pacaran dengan Naren. Tidak sepertinya yang dipuja banyak laki-laki. Harga dirinya terluka karena kehadiranku yang tiba-tiba saja muncul digandeng Naren di depan mata semua manusia kampus. Padahal aku sendiri tidak pernah menganggapnya atau siapa pun yang menyukai Naren saingan. Sungguh, itu sangat menggelikan bagiku.
Naren, dia benar-benar telah banyak mematahkan hati para gadis rupanya. Bukan hanya Alisya, aku tidak terlalu mengenal perempuan itu. Silvi teman dekatku di kelas pun ikutan syok saat tahu aku ternyata pacar Naren. Padahal setiap hari dia tidak pernah absen membicarakan tentang Naren padaku. Betapa kagum dan sukanya dia pada sosok prince charming itu. Ya Tuhan... Naren tidak se-charming itu.
"Maaf kalo sudah buat lo patah hati. Itu di luar keinginan gue," kataku akhirnya.
"Maksud lo?"
"Gue bukan orang yang tiba-tiba saja hadir di kehidupan Naren. Gue juga nggak merasa ngejauhin lo dari Naren. Lo cantik, pinter. Nggak ada yang kurang dari lo. Semua orang tau itu."
"Tapi dia lebih milih lo timbang gue?!"
"Gue nggak merasa ada dalam pilihan yang seperti lo bilang. Naren tidak pernah memilih gue."
"Apa sih yang dia lihat dari lo?"
Body shaming. Jika aku tetap disini dan meladeni semua kata-katanya mungkin akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Lebih baik aku menyingkir. Aku sudah pernah membandingkan diriku dengannya. Hasilnya aku kalah telak jika beradu fisik.
"Lebih baik lo tanya sendiri ke Naren, dia mungkin punya jawaban yang tepat."
Aku keluar dari tenda. Aku mendengar dia menggumam tak jelas. Tapi tidak kepedulikan lagi.
Kenapa Naren memilihku? Pertanyaan yang mungkin ada di semua benak orang yang mengenal Naren di kampus. Aku memang bukan siapa-siapa. Tidak sepopuler Alisya. Tidak ada yang bisa dibanggakan untuk bisa terlihat menonjol.
Seperti yang aku katakan, aku tidak berada dalam pilihan. Naren tidak memilihku. Aku sudah lama mengenal Naren, sejak dari SMP. Seperti halnya sekarang, di sekolah dulu dia juga banyak yang suka.
Tidak akan ada yang percaya kalau Naren sudah tiga kali mengutarakan cintanya. Dan semuanya aku tolak. Pertama saat aku masih menjadi anak kelas 1 SMP. Aku menganggap dia anak kurang waras. Aku yang bahkan waktu itu belum tahu apa arti cinta. Tapi sudah diajaknya pacaran. Tidak pantang menyerah, setahun kemudian dia mengajakku pacaran lagi. Dan yang ketiga saat aku kelas 2 SMA. Naren saat itu baru masuk perguruan tinggi. Aku pikir dia akan lelah.
Ya Tuhan, Alisya benar. Apa yang dia lihat dariku? Sebenarnya aku sendiri tidak yakin saat itu. Mungkin saja apa yang Naren rasakan hanya euforia sesaat saja. Hanya rasa penasaran dengan gadis berkulit coklat yang super aktif karena bosan pada gadis-gadis cantik di sekitarnya. Aku cenderung defensif tentang perasaan. Apalagi Naren yang, yah aku harus akui dia memang tampan, tidak, sangat tampan malahan, dan dia menyukaiku. Aku sulit mempercayainya.
Dan baru yakin pada diriku sendiri saat Naren mengatakannya untuk kali keempat.
***
Aku baru keluar beberapa langkah dari tenda saat mendapati sebuah punggung kokoh yang sangat aku kenal.
Perlahan punggung itu berbalik. Dan menampakkan wajah pemiliknya. Mataku sesaat melebar sebelum akhirnya menatap mahluk di depanku dengan pasrah.
"Hai, sayang...," sapa orang itu dengan senyum ciri khasnya.
Aku masih berdiri di tempatku saat dia mendekat dan memelukku sangat erat. Erat sekali. Seolah dia akan mati kalau lama-lama tidak mencium bauku.
" I miss you so so so much baby."
Aku menghembuskan napas. Membalas pelukannya. Naren, dia menyusulku. Ya Tuhan laki-laki satu ini benar-benar.
***
NAREN
Aku memeluknya sangat erat. Menumpahkan segenap rindu yang terasa sudah meluap. Seminggu aku tidak menemui gula jawaku serasa seabad lamanya. Ehem! Oke aku agak sedikit berlebihan. Tapi aku terlampau senang sekarang. Jadi, aku harap tidak ada yang memprotes kelebay-anku.
Wajahnya terlihat lebih tirus dari terakhir aku melihatnya. Kulitnya sedikit lebih gelap dan kemerahan. Dan entah mengapa itu semakin membuatku terpesona.
Aku benar-benar rindu padanya. Tidak mendengar kabarnya terhitung empat hari lalu semenjak dia menginjakan kakinya ke pulau ini, membuatku kalang kabut. Pikiranku terus menduga-duga apa yang sedang dia lakukan tanpa pantauanku. Aku terbiasa mendengar gelak tawanya, menerima sikap juteknya, dan tentu saja aku juga agak sedikit khawatir pada kedekatannya dengan laki-laki bernama Kenan.
Aku bisa melihat laki-laki itu naksir dengan gula jawaku. Cuma Kanya saja yang kurang peka sehingga tidak menyadari itu. Jangan salahkan aku, jika aku ingin serba tahu apa yang dia lakukan. Bayangkan saja! hampir semua teman-temannya itu laki-laki. Aku tidak mau ada di antara mereka yang berani mengganggu Kanya. Khususnya si Kenan Kenan itu.