"Ayo pulang."
Aku tersentak. Sebuah suara yang sangat familier terdengar seperti dengungan di telingaku. Naren. Dia sudah meraih lengan dan menarikku berdiri. Aku pikir ini adalah hari bebasku. Harapanku terlalu jauh. Naren tidak mungkin melepasku begitu saja.
"Tapi_"
"Hay semua! Gue bawa Kanya pulang dulu ya, sudah selesai kan latihannya?"
Kalau saja Naren bisa aku remas-remas jadi gulungan kecil lalu aku kantongin, saat ini juga sudah aku lakukan. Hampir semua anak-anak di sini tahu kelakuan Naren yang seenaknya.
"Sory Bro, kita masih akan ada rapat sebentar lagi," terang Ramon berdiri.
Aku memejamkan mata. Aku mencium aroma tidak menyenangkan di sini. Di antara yang lain Ramonlah orang yang paling tidak bisa mengendalikan diri.
"Rapat? Rapat apa? Bercanda dan ketawa ketiwi kalian sebut rapat?"
Aku tahu jika ini dibiarkan tidak akan bagus.
"Hidup jangan serius-serius amat, Bro. Kita semua tau lo pacar Kanya, tapi lo juga harus paham kalo Kanya adalah anggota klub sini. Dan dia berkewajiban ikut segala kegiatan klub."
"Sudah selesai kan? Dan kalo yang kalian sebut rapat itu bercanda dan berkelakar yang nggak jelas, gue rasa Kanya nggak perlu ikut. Sama sekali nggak berguna."
"Lo kalo nggak tau apa-apa jangan asal bacot!!!" Hampir saja Ramon menerjang Naren kalau tidak segera dicegah Kenan dan lainnya.
"Sudah cukup. Kamu mau bawa aku pulang kan? Ayo pulang." Aku menarik lengan Naren agar tidak terus meladeni Ramon.
"Tentu." Dia tersenyum sinis ke arah Ramon. "Pengendalian diri yang payah," pungkasnya sebelum melangkah.
Di belakang, Ramon terus mengumpat habis-habisan.
Aku berjalan cepat menuju parkiran kampus. Bisa-bisanya Naren berbuat seperti itu pada mereka. Kebanyakan dari mereka adalah katingku. Bikin malu saja. Mentang-mentang dia paling senior, Naren jadi berani bertindak seenaknya. Tapi tidak juga menyinggung ego mereka. Dia memang keterlaluan.
Aku kesal setengah mati. Entah berapa kali aku sering katakan jangan cari masalah saat aku sedang berkumpul dengan teman klubku kalau memang dia mau menunggu.
Aku membanting pintu mobilnya keras-keras begitu masuk ke dalam.
"Kamu itu kenapa sih?" tanyanya begitu duduk di kursi kemudi.
"Kamu itu yang kenapa!? Bisa-bisanya kamu bikin masalah di sana tadi."
"Aku bikin masalah apa? Aku cuma mengatakan yang perlu aku katakan. Temanmu itu yang gampang sekali emosi."
"Dia nggak akan emosi kalo omongan kamu disaring dulu."
"Apa yang aku katakan itu benar kan?"
"Terserah kamu lah!" Aku membuang pandangan ke jendela mobil. Rasanya percuma saja berdebat dengannya.
Tidak kudengar dia membalas lagi sampai mobil Naren meninggalkan pelataran kampus.
Dalam perjalanan, aku lebih memilih diam. Memandang ke jalanan kota yang tampak ramai di jam-jam pulang kerja. Biasanya Naren akan mengambil jalan pintas agar tidak terjebak macet. Aku kehilangan minat untuk bicara lagi. Kurasa Naren pun sama. Dia terlihat konsen menyetir mobilnya.
"Aku tidak suka kamu duduk dekat-dekat dengan Kenan."
Astaga, belum selesai juga?! Aku pikir dia sudah malas mendebatku.
"Apalagi sekarang?" geramku kesal.
"Kanya, jangan pura-pura bego. Kenan itu suka sama kamu!"
Aku berdecak. Omong kosong apalagi ini? Hanya karena Kenan duduk berdekatan denganku, dia menuduhnya menyukaiku. Yang benar saja!
"Kamu nggak usah ngaco."
"Aku laki-laki Kanya, hanya dengan melihatnya saja aku bisa tau kalo dia itu menyimpan rasa sama kamu."
"Oh sekarang kamu sedang berusaha jadi cenayang ya," ucapku sarkas. Tidak masuk akal. Kulihat Naren menghembuskan napas . Si tuan posesif menatapku sekilas.
"Dan aku tidak suka dia melakukan skinship sama kamu."
Aku menganga tak percaya. Kedengarannya aku seperti orang yang ketahuan selingkuh. Skinship macam apa yang dia maksud?
"Aku yakin itu cuma akal-akalan dia biar lama-lama sama kamu. Alasannya rapat, rapat apaan?"
Aku mendelik. Suudzunon si manusia posesif ini sudah keterlaluan.
"Kami bener-bener mau rapat, membahas kegiatan liburan semester."
Kulihat Naren lantas menoleh, tak lama, karena dia masih menyetir. "Bukannya kamu bilang liburan kali ini nggak ada pendakian?"
"Memang nggak ada, tapi sebagai gantinya kami berencana kemping di salah satu pulau di karimunjawa."
Aku belum siap apapun saat badanku merasa terdorong ke depan karena tiba-tiba saja Naren mengerem mobilnya.
"Apa?! Karimunjawa?! Kalian gila ya?!"
Setelahnya aku mengerang kesal. Dia sukses membuatku sport jantung. Reaksinya berlebihan. Ada yang salah memangnya?
Untung saja jalanan sedang lengang. Kalau tidak, bisa terjadi tabrakan beruntun karena ulah Naren. Dan aku akan mati sia-sia sebelum rencana kemping ke karimunjawa terwujud. Oh My God!
"Kamu kalo mau ngerem bilang-bilang dong!"
"Hanya mau kemping saja kalian harus jauh-jauh ke karimunjawa? Di Bogor, Anyer, atau jakarta juga banyak tempat kemping yang menyenangkan. Buang-buang waktu saja."
Sulit berdebat dengan Naren. Dia akan terus memaksakan pendapatnya yang menurutnya benar itu.
"Terserah kamu mau ngomong apa. Destinasi kami memang kesana."
"Kamu nggak usah ikut. Aku tidak mengizinkan."
Mataku melebar. Sifat sok mengaturnya muncul lagi. Dia pikir, dia itu siapa?
"Biar kuingatkan, kamu itu cuma pacar aku. Kamu nggak berhak melarangku untuk ikut kegiatan yang aku sukai. Dengar, aku nggak perlu izin kamu untuk berangkat."
"Harusnya aku ingat betapa keras kepalanya kamu. Kalo gitu aku ikut."
Astaga! Sumpah, ini hanya kemping.
"Kamu bukannya harus meninjau proyek papamu di Makassar sana? Ayolah Naren, aku hanya 5 hari."
Tidak mungkin kan dia mengabaikan kewajibannya di perusahaan papanya dan lebih memilih ikut denganku?
"Dan membiarkanmu di sana 5 hari dengan teman-teman konyolmu itu? Tidak Kanya. Aku akan tetap ke Makassar setelah pergi denganmu nanti."
Aku memutar bola mata, kesal. Apa yang tidak bisa dia lakukan? Semester lalu dia pun ikut pendakian ke puncak merapi. Dengan dalih ingin menjagaku. Bukan dia yang menjagaku, tapi aku yang akhirnya menjaganya. Betapa tidak? Belum sampai ke puncak, dia terserang demam. Dan pendakianku gagal gara-gara menunggui Naren sakit di salah satu rumah penduduk. Sekarang, kalau dia memaksa ikut kegiatan kemping kali ini apa lagi yang akan terjadi nanti? Kami berencana kemping di pulau yang belum berpenghuni. Bukannya aku meremehkan Naren, tapi dia belum terbiasa hidup berteman dengan alam.
****
Karimunjawa adalah kepulauan terpencil yang berada di laut utara jawa. Termasuk kabupaten Jepara. Kepulauan ini tidak begitu terkenal seperti kepulauan seribu atau bali. Konon banyak nyamuknya, vegetasinya masih liar, dan mungkin saja... angker.
Di antara kurang lebih dua puluhan pulau. Hanya beberapa yang sudah berpenghuni. Yang lainnya masih hutan lebat, rimba belantara. Dan rencananya aku dan anggota klub lainnya akan berkemping di salah satu pulau yang masih alami dan tidak berpenghuni.
Sungguh aku sangat bersyukur. Karena Naren akhirnya tidak jadi ikut kemping. Papanya malah memajukan dia untuk terbang ke Makassar. Ada hal penting yang harus segera ditinjau di sana yang tidak bisa ditunda lagi.
Aku mengantarnya ke bandara saat dia akan berangkat.
Sebelum boarding pun dia sempat-sempatnya menyuruhku untuk membatalkan rencana kempingku.
Naren hanya bisa menghela napas saat lagi-lagi aku tidak menuruti kemauannya. Kemauan tidak masuk akal tepatnya.
"Papa punya kenalan pemilik resort di sana. Kamu bisa menghubunginya nanti," katanya.
"Ya ampun Naren. Aku tuh mau kemping, bukan menginap di resort. Lagi pula aku tidak ke karimunjawanya, aku dan anak-anak akan kemping di pulau kecil yang tidak dihuni manusia."
"Aku yakin kali ini kamu sangat senang karena aku nggak bisa ikut," ucap Naren bertepatan dengan suara petugas yang memanggil penumpang agar segera menaiki pesawatnya.
"Aku pasti akan sangat merindukanmu. Sudah yaa. Sekarang kamu harus segera masuk pesawatmu, sebelum tertinggal." Aku mendorong tubuh tingginya agar segera beranjak.
"Aku berharap urusanku di sana cepat selesai biar bisa segera menyusulmu."
Aku hanya meringis. 'Sayangnya aku berharap urusanmu di sana pelik, sehingga nggak perlu menyusulku.' lanjutku dalam hati.
Aku melambai melepas kepergiannya. Si tuan posesifku akhirnya masuk. Aku menghembuskan napas lega. Liburanku akan aman tanpa gangguannya. Jangan salah paham. Bukannya aku tidak suka. Meskipun aku kadang hampir menyerah dengan hubungan ini, tapi ada hal yang membuatku tetap bertahan di sisi Naren. Aku tidak tahu pasti itu apa. Yang jelas saat menerima Naren dulu, aku sempat meyakinkan diriku bahwa ini bukan hanya perasaan euforia sesaat.
***
NAREN
Rasanya tak rela saja membiarkannya pergi dengan teman-teman klubnya. Tapi mau bagaimana? Proyek yang sudah menjadi tanggung jawabku ada sedikit masalah. Itu yang membuatku terpaksa melepasnya pergi bersama mereka.
Aku tidak melihat gurat kesedihan saat dia mengatarku ke bandara. Padahal aku berharap dia akan merengek padaku untuk tetap tinggal. Hah! Sesuatu yang mustahil. Kanya lebih sering mendebatku daripada merengek padaku. Dia benar-benar gadis yang beda dari kebanyakan gadis yang aku temui selama ini. Kadang, sebagai pacar aku merasa tak berguna bahkan aku merasa di sini hanya aku yang mencintainya.
Padahal banyak gadis yang mengharapkanku jadi kekasihnya. Gadis yang dengan sukarela menjatuhkan dirinya. Yang bahkan kecantikannya melebihi Kanya. Tapi aku tidak bisa merasakan ketertarikan yang berarti seperti rasa tertarikku pada Kanya. Gadis berkulit coklat itu benar-benar seperti medan magnet bagiku. Bertahun-tahun aku mengenalnya tak sedikit pun perasaanku padanya berkurang. Yang ada malah bertambah.
Katakanlah aku gila, murahan. Ya aku memang tergila-gila padanya. Aku murahan jika itu menyangkut soal Kanya.