webnovel

Prince Charming Vs Gula Jawa

Memiliki kekasih ganteng, pintar, dan populer sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Kanya. ⁣ ⁣ Tapi siapa sangka dirinya yang hanya gadis biasa-biasa saja, bisa digilai seorang laki-laki tampan, bergelar Prince Charming di Kampusnya, bernama Naren. ⁣ ⁣ Tentu saja, hubungan itu tak semulus harapan. Karena banyak gadis yang menginginkan Si Prince untuk bisa jadi kekasih mereka. ⁣ ⁣ Akhirnya, karena suatu sebab hubungan mereka kandas. Tapi kemudian, Kanya bertemu dengan Naren kembali setelah lima tahun. ⁣ ⁣ Apakah Kanya akan kembali pada Naren? Atau dia akan berpaling pada Kenan, teman laki-laki yang selalu menemaninya selama Naren pergi?

Yuli_F_Riyadi · Urbain
Pas assez d’évaluations
174 Chs

Part 10

Aku pamit tak lama setelah makan malam selesai. Tidak. Tepatnya Naren yang mengajakku untuk segera meninggalkan rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus saja diam. Hingga tanpa aku sadar mobil Naren sudah berhenti.

Aku tersentak. Ini bukan pelataran rumahku. Ini seperti ....

"Mampir sebentar yah sebelum aku antar ke rumah."

Ya! Aku berada di parkir bawah tanah tower apartemen Naren.

"Ada apa?" tanyaku keluar dari mobil.

Naren menarik pinggangku mendekat. Membawaku masuk ke lift yang menghubungkan langsung ke unitnya di lantai 18.

Naren tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dengan alasan mempersingkat waktu. Kampus dan kantornya memang tidak jauh dari sini. Naren bekerja di kantor milik Om Damian. Aku tidak heran jika Om Damian mempercayakan beberapa proyek untuk anaknya itu. Naren sangat kompeten.

Aku langsung duduk di sofa putih begitu masuk ke unitnya. Aku sudah jarang main ke sini setahun belakangan. Banyak tugas kuliah dan tentu saja aku lebih sering menghabiskan waktu latihan di klub.

Naren ikut duduk di sampingku membawa dua minuman jus kalengan yang dia ambil dari kulkas. Membuka penutupnya dan memberikannya padaku. Aku teguk sekali dan meletakkannya di atas meja. Tidak terlalu haus.

"Maaf, kamu harus mendengarnya bukan dariku langsung. Rasanya aku berat mengatakan itu sama kamu."

Naren bersuara, aku tidak terlalu menghiraukan. Lebih fokus menatap layar ponselku. Aku tidak pernah lebih malas dari malam ini sebelumnya berhadapan dengan laki-laki itu. Astaga, aku ingin marah tapi tidak bisa.

"Bagaimana menurutmu?"

Aku bergeming. Masih asik berselancar di media sosial membaca beberapa berita yang bagiku lebih menarik dari ocehan Naren.

"Kanya, kamu mendengarku kan?"

"Ya, aku dengar," jawabku tanpa berbalas menatapnya. Ku dengar desahan nafasnya lirih.

"Jadi bagaimana menurutmu?"

"Ya, pergi saja. Kamu kan kesana untuk belajar."

Aku mendengar dia mendesah kembali.

"Kanya aku benar-benar nggak ngerti. Ada apa denganmu? Aku minggu depan akan berangkat."

"Lalu?"

"Gimana aku bisa tenang? Kamu masih bersikap seperti ini."

Naren menatapku gusar. Lalu kedua tangannya mengusap wajah seperti orang frustasi. Sejenak kulepaskan mataku dari layar ponsel.

"Aku mau kita putus, " kataku akhirnya.

Mendengar itu, gerakan tangannya yang mengusap wajah terhenti. Dia lantas menatapku tak percaya.

"Ka_kamu bicara apa Kanya?"

"Aku mau kita putus." Aku mengulang kalimatku. Sebisa mungkin aku mengucapkannya tanpa ekspresi.

Naren menggeleng seolah yang dia dengar hanya gurauan.

"Jadi ini yang menyebabkan kamu beberapa hari ini berbeda. Kamu ingin semuanya berakhir?" tanyanya lirih.

Aku melempar pandangan kemanapun asalkan tidak ke wajah laki-laki itu.

"Apa yang kurang dariku Kanya?" lirihnya nyaris tak bersuara. "Aku sudah berusaha, kadang aku merasa hanya aku yang mencintai kamu. Disini aku merasa berjuang sendiri. Tapi bodohnya aku, itu nggak membuatku lantas berhenti mencintai kamu. Aku seperti orang yang terjebak. Masih saja terus berharap kamu menganggap aku ada. Memandangku sebagai orang yang juga kamu cintai."

"Berhenti bicara seolah-olah kamu hanya memiliki satu hati Naren."

Jujur aku muak mendengarnya. Aku benci dia menilaiku seperti itu. Seolah menuduhku manusia yang tidak memiliki perasaan.

"Maksudmu?  Kamu pikir berapa hati yang aku punya?" Dia memundurkan badannya. Menatapku lebih seksama.

"Aku minta putus bukan tanpa alasan. Aku bisa memaklumi segala kesalahan tapi tidak dengan pengkhianatan." Aku beranikan diri menatap matanya. Menghujamkan tatapan tajam.

"Pengkhianatan?" Matanya memicing.

"Sudahlah, aku pulang."

Naren menarik tanganku cepat saat aku mulai berdiri.

"Kita belum selesai bicara Kanya. Astaga Kanya! Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?" tanyanya tak terima.

Dia sudah berhasil lulus ujian skripsi dan sebentar lagi dia akan pergi ke Cambridge. Aku rasa tak masalah jika sekarang aku memuntahkan semua kekesalan yang beberapa hari ini menimbun di dadaku. Hah! Seharusnya aku tidak perlu mempertimbangkan itu semua kalau aku tidak ingin dia terluka.

"Aku melihat itu ...."

Mataku memejam. "Aku melihat kalian berciuman."

Cengkramannya yang begitu kuat di tanganku terlepas. Aku sudah cukup tahu arti dari reaksinya sekarang.

Beberapa saat keheningan menyelimuti kami. Naren yang terenyak dan aku yang terus menatap matanya.

"Kanya ... itu tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Jadi menurutmu aku harus berpikir apa saat melihat pacarku mencium perempuan lain?" kedua alisku terangkat.

Naren mengusap wajah dengan sebelah tangannya. Aku ingin tahu penyangkalan apa yang akan dia berikan untuk membenarkan sikapnya.

"Waktu itu Alisya yang_"

"Yang melakukannya terlebih dulu? Begitu?" sambarku cepat.

"Aku_"

"Kamu membalasnya?"

"Kanya ini nggak seperti apa yang_"

"Cukup jawab iya atau tidak."

Naren semakin gusar. Aku terus saja menekannya. Seandainya saja dia mengamini ajakanku untuk putus, aku tidak perlu membahas masalah yang  dari kapan hari menggangguku ini. Tapi bukan Naren artinya jika hanya menuruti apa yang aku mau.

"Iya, aku membalasnya tapi semata hanya agar dia tidak menggangguku, mengganggu hubungan kita."

Dia membalasnya. Ingin rasanya aku menghentikan rasa sakit yang tiba-tiba saja berdenyut nyeri. Itu artinya dia menerima, menikmati, tidak peduli alasan apapun yang mengiringinya. Dia bisa saja  menghindar atau bahkan mendorong perempuan itu sebagai bentuk penolakan. Tapi dia membalasnya. Aku bisa berkata apalagi? Dan beberapa hari setelahnya dia melakukannya juga padaku tanpa merasa bersalah, tanpa merasa ada yang perlu dijelaskan. Lalu jika aku menuduhnya berkhianat, apa aku salah?

"Oke, itu cukup. Keputusanku rasanya, benar. Kita selesai Naren."

Aku bergegas melangkah menuju pintu keluar.

"Kanya, kamu nggak bisa gini. Aku nggak pernah menginginkan putus. Kamu hanya mengambil keputusan sepihak, kamu harus mendengarkan penjelasanku dulu."

Naren membuntutiku, terus membujukku untuk tetap tinggal.

Aku sudah tidak peduli lagi apa yang dia katakan. Telingaku rasanya tuli. Hatiku terlalu sakit untuk mendengar penjelasan apapun darinya. Bersamanya aku melambung tinggi karena berasumsi jika tidak akan pernah ada perempuan lain selain aku. Tapi kini aku dijatuhkan sejatuh-jatuhnya.

Naren terus mengejarku hingga ke lobbi. Memohon padaku agar aku mau mendengar penjelasannya. Beruntungnya aku begitu keluar sudah ada taksi di sana sehingga aku bisa langsung naik.

"Kanya, please dengarkan aku. Kejadiannya nggak sesimpel itu. Kamu perlu tau yang sebenarnya. Jangan pergi dulu, please."

Naren masih terus berusaha membuatku berubah pikiran. Dia mengetuk-ngetuk jendela taksi agar aku mau keluar.

"Jalan, Pak," kataku pada supir taksi yang sepertinya kebingungan.

Taksi melaju perlahan dengan posisi Naren yang masih terus  memintaku berhenti.

"Mbak mas itu ... "

"Terus jalan Pak."

"Baik Mbak."

Sampai aku berhasil lepas dari laki-laki itu. Aku memukul dadaku kuat-kuat. Ini memang keputusanku, tapi kenapa aku merasa sesakit ini. Dadaku teramat sesak. Dan lagi-lagi air mata sialan ini mengiringi rasa sakitku.