webnovel

PRIA KERAS KEPALA

Aku mungkin terlalu lama menyadari perasaanku yang semu. Namaku Jeon Jung Ki. Pria mengenaskan yang ditinggal kedua orang tuaku saat sedang bermain di taman dekat rumah saat usiaku duabelas tahun. Aku tinggal di rumah pamanku setelah kematian ibuku. Rumah asalku di Bu San. Lalu aku dikirim oleh pihak kepolisian untuk tinggal di rumah pamanku. Kakak dari ibuku. Hidup cukup dewasa di rumah pamanku, tidak tamat sarjana dan aku harus bekerja paruh waktu dikafe milik seseorang dengan menjadi barista pada akhirnya aku menjalin hubungan dengan seseorang. Pria dewasa dua tahun dariku. Sayangnya setelah aku mendapatkan kebahagiaanku sejenak dengan pria itu, namanya Kim Tae Woo. Pada akhirnya aku juga mendapatkan rasa sakit. Ditinggalkan dan ditinggalkan lagi. Aku harus percaya pada siapa, saat rumahku setelah pamanku adalah Kim Tae Woo? Pria itu memilih menikah dengan wanita pilihan ibunya, dan menjadikanku sebagai pacar keduanya. Sejak awal hubungan ini sudah salah, tapi aku sudah terlanjut mendapatkan rasa sakit.

sakasaf_story · LGBT+
Pas assez d’évaluations
58 Chs

49. G A Y

"Kak, ada apa dengan pertanyaanmu," keluh Jung Ki yang terhenti lebih dari dua detik untuk mencerna pertanyaan dari Park Ji Min yang sempat membuatnya sedikit canggung dengan pembicaraannya yang detik itu juga.

"Kak, aku tidak mengerti kenapa kamu bertanya seperti ini padaku. Jika memang Kak Seok Jin adalah seorang GAY, apakah itu tidak mengganggu seksualitasmu?"

"Ah, maksudku. Apa kau terganggu dengan itu?" tanya Jung Ki kembali pertanyaan pada Ji Min apakah Jung Ki juga butuh penjelasan lain. Park Ji Min terlihat terganggu, pria itu merasa telah mengatakan hal yang salah. Hanya saja baginya, ya atau tidak Ji Min merasa dia salah di awal. "Bukan itu maksudku, Jung Ki." Kali ini Ji Min mengoreksi.

"Aku tidak punya masalah dengan seksualitas siapa pun, saya hanya ingin tahu apa yang ada di kepala mereka dengan semua status dan perasaan palsu mereka selama ini." Jung Ki terkekeh, dia tidak tertawa terbahak-bahak hanya untuk mengolok-olok pemikiran Park Ji Min.

"Kak, kok nanya masalah pribadi ini ke aku. Jadi selama ini kamu pikir aku GAY? Kak, ambil jalan biasa aja. Jika aku seorang GAY bukankah aku akan menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu? .kamu baik, dari sisi mana aku tidak bisa menyukaimu. Tapi aku tidak menjadikanmu pacarku, kan?" Ji Min perlahan mencerna apa yang dikatakan Jung Ki.

Kali ini pria itu juga menekankan apa yang menurutnya benar. "Kalau aku GAY, lucu kamu bertanya kapan kita bisa membicarakannya di tempat kerja. Kalau kita membicarakannya di sini, bukankah sekarang terdengar canggung?"

"Kak, kau lucu sekali," katanya, kali ini tidak lebih dari cukup untuk membuat Ji Min merasa bersalah lagi. "Jung Ki, maafkan aku." Jung Ki menganggukkan kepalanya pelan.

"Aku tidak keberatan jika kamu yang bertanya padaku, Kak. Aku hanya cukup terkejut, ternyata kamu rasis," dia terkekeh kali ini membuat Ji Min merasa lega jika pertanyaan dan asumsi yang selama ini mengganggu pikirannya. kepala ternyata salah.

"Aku masih memikirkan Kak Seok Jin, apalagi saat melihatmu dan Min Yoon Seok sangat dekat. Tapi semua sudah hilang dengan jawabanmu sekarang, maaf telah membuat Min Yoon Seok harus mendapatkan kecurigaanku bahwa dia seharusnya tidak melakukannya, tapi bisakah aku meminta maaf sedikit darimu atas kecurigaanku?" Jung Ki terkekeh, dia tersenyum tipis dengan tubuhnya yang sudah di atas tempat tidur. "Aku baik-baik saja, kak."

"Aku merasa sangat bersalah," gumamnya lagi, Jung Ki menghela napas berat sekarang.

Apakah Park Ji Min orang yang sulit dimengerti? Jika demikian, bukankah itu pilihan terbaik untuk merahasiakan hubungan dengan Kim Tae Woo?

Korea Selatan bukanlah negara yang mendukung kaum LGBT, namun jika ada perasaan dan cinta satu sama lain, orang tua, saudara, orang sekitar, agama dan negara tidak lagi berguna untuk menjaga jarak.

Yang mereka tahu adalah bahwa mereka bahagia, perasaan mereka berbalas dan mereka membutuhkan seseorang yang mengerti satu sama lain saja. Tidak lebih dari cukup.

"Kak," panggil Jung Ki ketika Ji Min hanya diam setelah diskusi sensitif mereka. "Ya?"

"Apa kamu masih di sana?" Jung Ki bertanya pada Ji Min setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menimpanya. "Kenapa kamu diam? Tidakkah kamu ingin bertanya bagaimana kabarku? Aku pikir kamu merindukanku," kata Jung Ki yang saat itu bercanda sedikit untuk mencairkan suasana. Ji Min akhirnya tertarik, pria itu terkekeh mendengarnya.

"Aku hanya ingin banyak bicara denganmu, Jung Ki. Hanya untuk menghilangkan rasa lelahku, kau mau membantuku. Maukah kau menemaniku, Jung Ki?" Sejujurnya, jam dua pagi harusnya waktu tidur. Nyatanya mereka berdua baru selesai bekerja pada pukul satu dini hari, dan Ji Min meneleponnya satu jam kemudian.

Mereka berdua memang harus tidur dan mengistirahatkan tubuh mereka, tetapi jika insomnia mengganggu waktu tidur mereka, siapa pun akan merasa rusak dan tidak perlu tidur.

Lelah tidak akan membuat keduanya merasa lega. "Kak," panggil Jung Ki, membuat Ji Min terdiam mendengar jawabannya. "Aku akan menemanimu sebentar. Kemarin aku tidak bisa tidur, jangan suruh saya untuk tidak tidur, Kak. Kamu tahu sore ini banyak kesalahan karena aku mengantuk," jawab Jung Ki jujur ​​membuat Ji Min terkekeh.

"Aku masih bisa mengingatnya. Bukankah seharusnya kamu membuat es kopi daripada kopi hangat yang kamu buat? Untuknya pelanggan mengambil pesananmu dan kamu tidak perlu menggantinya," jawab Ji Min ketika mereka berdua mengingat kesalahan sore ini juga menguji kesabaran satu sama lain. "Di mana kamu sekarang, Kak?"

"Masih dalam perjalanan pulang, saya mampir ke minimarket untuk membeli jajanan.pemandangan disini sangat indah walaupun malam sepi, aku selalu mampir." Jung Ki menggelengkan kepalanya pelan.

"Sudah jam dua pagi, Kak. Capek nggak? Belum mandi dan cuci baju, jam segini kan belum pulang? Ibu dan ayahmu akan mencarimu, Kak." Jung Ki tidak mengerti apa yang dikatakan Ji Mib. Hanya saja terkadang Jung Ki juga melakukan kesalahan seperti itu.

Namun tidak dengan duduk di pinggir jalan, berlama-lama di mini market, dan masih banyak lagi. Jung Ki memang tahu kebiasaan buruk Ji Min tinggal di rumah dalam waktu lama. Tapi, bukankah seharusnya Park Ji Min harus banyak bersyukur karena masih memiliki kedua orang tua yang utuh jika mereka masih hidup?

Tidak seperti Jung Ki, bahkan Jung Ki belum melakukan apa-apa, dan tuhan mengambil keduanya saat Jung Ki keluar untuk bermain. Tuhan sangat lucu.

"Aku sudah terbiasa dengan ini, Jung Ki. Aku akan membeli beberapa makanan ringan di sana, memakannya dan pulang untuk tidur dan mandi."

"Menyenangkan, Jung Ki." Jung Ki tertawa kecil mendengarnya. "Aku tidak bisa sepertimu, Kak. Paman memberiku waktu untuk pulang yang harus aku patuhi. Jika aku terlambat pulang paman akan menungguku pulang. Aku merasa sangat merepotkan dia jika harus seperti itu." Ji Min tertawa, pria itu juga tidak mau seperti ini. Hanya saja berdiam di rumah cukup lama akan membuat Ji Min pusing.

Bagaimana ibunya dan bagaimana ayahnya, Ji Kin tidak bisa berbuat apa-apa. Pria yang selalu memaksa, memiliki ambisi yang besar, dan pemikir yang berat, dan itu bisa membuat Ji Min memilih untuk hanya mencari kebahagiaan seperti ini.

"Aku tidak menyuruhmu menjadi sepertiku, Jung Ki."

"Aku tahu, Kak. Aku hanya ingin menegurku dengan jawabanku," jawab Jung Ki membuat Ji Min sedikit terkekeh. "Aku suka bagaimana kamu menegurku tanpa menyakitimu."

"Bagaimana kabarmu, Paman?" Jung Ki bertanya ketika pria itu mengetahui bahwa ayah Park Ji Min mengalami lumpuh sementara. Ji Min tidak mengatakan alasannya, tetapi hal yang paling sulit dalam kehidupan seorang anak adalah rasa sakit ayahnya.

"Masih sama, ayah harus pergi terapi. Tapi aku belum punya uang," jawab Ji Min jujur ​​jika dia masih membutuhkan banyak uang untuk mendaftarkan ayahnya untuk terapi. "Semangat Bro Ji Min, aku tahu kamu sangat sabar dan tabah dalam segala hal, Kak. Jangan cepat menyerah, lelah itu normal, dan merasa kesepian itu normal."

"Tawa Paman akan membuatmu merasa sangat bahagia nantinya," lanjut Jung Ki pada Ji Min yang membuat lelaki itu terkekeh. "Bagaimana denganmu, apakah kamu sudah berdamai dengan masa lalumu?" Ji Min bertanya sedikit tentang keluarga dan situasi Jung Ki karena sekarang pria itu setidaknya sedikit lelah. "Saya baik-baik saja."

"Dan saya sudah bahagia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika orang tua saya bersama Tuhan, Bro.paman dan bibiku juga baik, mereka baik." Ji Min menghela nafas lega, dia juga senang mendengarnya. pada pamanmu?"

"Aku turut berduka untukmu, Jung Ki. Kamu datang dengan sebagian besar tubuhmu terluka, semuanya membuatku sakit." Ji Min tidak mendukung Jung Ki tinggal di rumah pamannya jika putra pamannya menyebabkan rasa sakit pada Jung Ki, jujur ​​saja. "Kak Ji Min, terima kasih sudah semua saranmu," jawab Jung Ki dengan tenang.

"Tapi luka Kak Ji Hoon lebih dari lukaku, sebenarnya Kak. Aku benar-benar tidak bisa melihatnya, tapi bukan hanya aku. Bibi mungkin juga menyimpan luka dariku, aku tahu bahwa datang ke rumahnya sejak lama menghancurkan mimpi bibiku. dari keluarga yang bahagia."

"Sulit mencari keluarga yang baik dan tulus untukku, Kak. Aku tidak tahu siapa keluarga saya di samping mereka, aku tidak tahu siapa yang bisa aku panggil paman. Kakak dan adikku milik ayahku dan milik ibuku. Aku merasa seperti baru mengenal paman, bibi, dan Kak Ji Hoon sejak lama." Jung Ki terkekeh setelah mengatakan itu.

"Tapi aku bersyukur mereka masih mau menerimaku di sini, Kak. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja dari awal." Jung Ki mengoreksi ucapannya tadi. "Apakah Ji Hoon yang kamu maksud adalah pria yang bodoh dan canggung? Pukulan di tubuhmu dengan memarmu banyak. Orang itu pasti sangat besar," kata Ji Min membuat Jung Ki terkekeh.

"Tidak, pria itu sangat cantik dan tampan, memiliki kulit putih, dan bibir kecil. Si pirang itu baik, hanya saja keadaan memaksanya untuk melakukan ini." Jung Ki kembali untuk membela apa yang telah dilakukan Ji Hoon padanya selama ini.

Luka, memar, darah, dan keringat. Sebagian besar keluar dari tubuh Jung Ki, namun rasa sayang Jung Ki terhadap Ji Hoon masih sama. Kakak Jung Ki memang hanya Jeon Ji Hoon, jadi Jung Ki harus membuatnya hidup selamanya.

"Kau pria yang baik, Jung Ki." Pria manis itu terkekeh, dia bahkan menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku tidak seperti itu, Kak."

"Ngomong-ngomong, ini hampir jam tiga pagi, Kak Ji Min pulang, mandi, dan istirahat, aku juga mengantuk. Selamat malam, Bro Ji Min." Jung Ki mematikan panggilan telepon Ji Min secara sepihak, kali ini Ji Min pun mengikuti apa yang dikatakan Jung Ki.

"Bisakah aku mengkhianati Jung Ki jika pria itu sudah menyedihkan seperti ini? Orang tuanya meninggal ketika lelaki itu masih muda, tinggal bersama paman dan bibinya yang tidak tahu apakah harus merawatnya dengan tulus dan diperlakukan dengan buruk oleh sepupunya. Bukankah semua masalah dalam hidupnya sudah sangat menyedihkan?"

"Apakah hanya demi uang aku tega menggunakannya juga?" Ji Min frustrasi, pria itu seratus persen tidak tahu apa-apa.

Saya sudah tidak berharap banyak.

sakasaf_storycreators' thoughts