webnovel

PRAHARA DI KAHURIPAN

Pada saat Prabu Dharmawangsa Teguh Anantawikrama dari Kerajaan Medang Kemulan merayakan pesta pernikahan kedua puterinya yaitu Dewi Sri Anantawikrama dan Dewi Laksmi dengan Pangeran Airlangga dari kerajaan Bedahulu di Bali, tiba-tiba menyerbu prajurit raja Wura-wari dari kerajaan Lwaram Dalam penyerbuan itu Prabhu Dharmawangsa Teguh dan permaisuri serta seluruh menteri dan bangsawan kerajaan tewas. Istana Watu Galuh dihancurkan. Airlangga dan kedua isterinya didampingi pelayan setianya, Mpu Narottama dan beberapa pengawal berhasil meloloskan diri dan berlindung di Gunung Prawito. Tiga tahun hidup di hutan Prawito sebagai pertapa, tahun 931 Saka Airlangga kedatangan serombongan orang dipimpin oleh beberapa pendeta untuk menyampaikan keinginan rahayat Medang agar Airlangga kembali membangun kerajaan baru meneruskan dinasti Ishyana. Dengan bantuan para pendeta, reshi dan brahmana, Airlangga menyusun kekuatan membangun kerajaan Medang. Diantara para reshi terdapat Mpu Bharada penasehat spiritual mendiang prabu Dharmawangsa Teguh, dibantu oleh Ki Ageng Loh Gawe, pertapa di Gunung Anjasmara Pada tahun 931 Saka istana Wotan Mas selesai dibangun dan Airlangga diangkat sebagai raja dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Kerajaan yang baru bernama Kahuripan. Atas jasanya membantu pembangunan kerajaan Kahuripan, Prabu Airlangga menghadiahkan tanah perdikan di desa Giri Lawangan kepada Ki Ageng Loh Gawe. Dalam kunjungannya ke Wotan Mas, Ki Ageng Loh Gawe mengajak muridnya bernama Ki Puger berusia 20 tahun. Mengetahui Ki Puger murid Ki Ageng Loh Gawe yang ikut membantu membangun Wotan Mas, Prabhu Airlangga meminta agar Ki Puger bersedia dinikahkan dengan sepupu raja yang bernama Dewi Centini Luh Satiwardhani atau Ni Luh Sati. Setahun setelah perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Aryosetho Jayawardhana. Tahun 954 Saka atau 1032 M Giri Lawangan diserbu gerombolan pimpinan Gagak Lodra. Sehari sebelum itu Ki Puger dan keluarganya pergi meninggalkan Giri Lawangan menuju ke pertapaan Kaliwedhi untuk menghindarkan Aryosetho Jayawardhana dari penyerbuan Gagak Lodra karena ia dipilih oleh para dewa sebagai cikal bakal yang kelak akan menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Di Kaliwedhi Aryosetho digembleng dengan keras oleh Reshi Sethowangi. Berkat ketekunannya ia memperoleh ilmu mahadahsyat ciptaan Sang Hyang Wishnu yang bernama Bhayu Selaksha dan menerima pedang sakti Sosronenggolo Setahun kemudian Aryosetho bersama Ki Puger turun gunung membantu Prabu Airlangga merebut kembali tahta kerajaannya yang direbut oleh Ratu Arang Ghupito. Berkat perjuangannya Aryosetho berhasil membantu Prabu Airlangga merebut kembali tahta kerajaannya. Dalam perjalanan dari kraton Dhaha kembali ke Kahuripan, ia dan prajuritnya berhasil menumpas gerombolan Gagak Lodra. Selesai menjalankan tugasnya Aryosetho mengajak sahabat masa kecilnya ke Kaliwedhi menjemput calon istrinya yang bernama Dyah Ayu Rogopadmi Aninditho Prameshwari alias Dewi Condrowulan. Beberapa waktu lamanya di Kaliwedhi, Aryosetho kembali ke Giri Lawangan memboyong Dewi Condrowulan yang telah menjadi istrinya dan hidup sebagai pertapa. Setelah 93 tahun pernikahannya Dewi Condrowulan di karuniai seorang putri. Namun kebahagiaan bersama sang putri yang dinantikan selama puluhan tahun hanya berlangsung selama 40 hari, setelah hari itu Dewi Condrowulan harus menyerahkan putrinya untuk diasuh oleh orang lain seperti dirinya dulu ditemukan Reshi Sethowangi di tengah hutan. Bayi tanpa nama itu diserahkan kepada Mpu Purwo, seorang pertapa sakti yang kemudian memberinya nama Ken Dedes. Ken Dedes kelak akan melahirkan keturunannya menjadi raja besar di kerajaan Singhasari dan Majapahit. Aryosetho dan Dewi Condrowulan telah berhasil menjalankan tugas yang diberikan oleh Dewata Agung sebagai pepunden cikal bakal raja-raja besar di tanah Jawa.

Uud_Bharata · Histoire
Pas assez d’évaluations
3 Chs

MEMPEROLEH KEPERCAYAAN

Seorang petani tua bertubuh kurus namun tampak masih gesit, bertanya:

"Sebenarnya apakah rencana Raden?" kata petani yang berumur sekitar 70 tahunan.. Suaranya pelan namun berbobot dan berpengaruh.

Pertanyaan petani ini agaknya sempat membuat suasana yang sempat tegang menjadi sedikit mereda. Beberapa orang mulai membuka mulut meski hanya menggumam.

Sebelum memberi penjelasan, Wirojoyo berpikir bahwa tidak mungkin ia mengatakan maksud yang sebenarnya. Jika itu yang ia lakukan, maka ia khawatir rahasianya akan bocor dan didengar oleh pihak Gagak Lodra.

"Wahai kisanak, dengarkanlah baik-baik. Kalian akan ingsun latih menjadi Prajurit Beloprojo. Tahukah kalian apa Prajurit Beloprojo itu?" Wirojoyo berhenti sejenak. Diperhatilannya wajah wajah lugu yang tengah menderita itu dengan tatapan menyejukkan.

"Prajurit Beloprojo adalah prajurit yang tugasnya menjaga desa kita, Giri Lawangan dan sekitarnya dari gangguan musuh. Jika suatu saat nanti datang serangan musuh yang lain lagi, maka kita sudah punya bekal keterampilan olah keprajuritan. Kita sudah punya kemampuan bagaimana memegang pedang, memainkan tombak dan sebagainya, sehingga tidak dengan mudah menjadi korban seperti saudara-saudara kita dulu. Dengan menjadi prajurit, kalian masih tetap bisa hidup terus sambil bertani di ladang-ladang kalian. Intinya, sebagai petani kalian juga punya keahlian keprajuritan, sehingga kelak kalian akan mampu menjaga dan mempertahankan tanah perdikan ini."

Wirojoyo kembali berhenti sejenak mengawasi wajah para petani yang tampak mulai berminat mendengarkan penjelasannya. Ia tetap berhati-hati tidak mau berterus terang membeberkan rencana pembalasan di kemudian hari. Jika rahasianya diketahui Gagak Lodra, maka hal itu berarti malapetaka baginya, bahkan mungkin akan berakibat buruk pula bagi seluruh rahayat Giri Lawangan.

"Kita harus menggunakan akal sehat kita. Kalian boleh memilih, mau hidup terus sebagai petani sekaligus sebagai prajurit, atau kalian mau mati saling bunuh sesama kalian?" ulang Wirojoyo menegaskan.

"Tentu hamba memilih menjadi petani raden." jawab petani tua tadi.

"Benar raden, kami tidak mau lagi saling membunuh antara sesama kita." sahut yang lain.

"Bagaimana dengan yang lain?" Wirojoyo menanti reaksi para petani yang lain namun tidak satupun yang berani membuka suara.

Akhirnya banyak petani yang setuju dengan usulan Wirojoyo dan yang pasti ada kelegaan di hati mereka.

Para penduduk yang sebagian besar petani itu tentu saja memilih untuk terus bisa hidup daripada saling bunuh di antara sesama mereka sendiri. Mereka tidak perlu lagi bertarung melawan sesamanya sampai mati.

Bahkan banyak pula yang merasa senang karena bisa belajar ilmu keprajuritan yang kelak akan berguna untuk mempertahankan wilayah mereka.

Malam itu para tawanan masih harus tetap tinggal di dalam kerangkeng namun pengawasan dari pihak gerombolan tidak seketat sebelumnya.

Untuk menambah keyakinan para anggota gerombolan yang berjaga malam itu, Wirojoyo sengaja melatih beberapa orang petani dengan dasar-dasar ilmu bela diri ala Wirojoyo.

Menjelang tidur Arumboko dan Lewo yang merasa penasaran sejak siang tadi, diam-diam mencoba bertanya lagi kepada Wirojoyo.

"Wiro, apa arti dari semua yang engkau lakukan ini?" tanya Arumboko setengah berbisik. Ia masih tidak mengerti dengan perubahan sikap sahabatnya yang terkesan tiba-tiba itu.

"Aku rasa kalian sudah mengerti. Aku ingin menyelamatkan rahayat Giri Lawangan dari kematian yang sia-sia akibat saling bunuh sesama kita." dengan setengah berbisik Wirojoyo menjelaskan.

"Lalu bagaimana dengan kawan-kawan kita yang sudah meninggal?" tanya Arumboko bernada tidak senang. Ia berpikir, dengan menjadi anak buah Gagak Lodra berarti mereka telah mengkhianati pengorbanan sahabat mereka serta para petani yang telah tewas.

"Menurutmu, apakah yang bisa kita lakukan saat ini untuk membalaskan dendam mereka?" Wirojoyo balik bertanya.

"Kita harus membalas dendam atas kematian kawan-kawan kita," kata Arumboko geram. Giginya bergemeretak dan kedua tangannya terkepal mengingat kematian Darum.

"Engkau hendak melawan mereka...? Bagus! Lakukanlah sekarang." tantang Wirojoyo menatap Arumboko dengan tatapan tajam. Arumboko garuk-garuk kepala tanpa bisa mejawab.

"Mana mungkin aku melawan mereka? Jumlah mereka banyak, dan senjata mereka lengkap," kata Arumboko sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.

"Nah… ! Kalau mau bertindak itu harus pakai otak! Jangan grusa-grusu karena nafsu. Dengan keadaan kita seperti sekarang ini, melawan mereka sama artinya dengan bunuh diri!" tandas Wirojoyo agak kesal.

Arumboko dan Lewo terdiam. Keduanya akhirnya sadar dengan keadaan mereka saat itu yang tidak berdaya.

"Lalu apa selanjutnya rencanamu?" tanya Lewo. Dalam hati ia memuji sikap berani Wirojoyo. Namun ia masih belum mengerti apa rencana Wirojoyo selanjutnya.

Dengan suara berbisik mereka bertiga membicarakan rencana yang ada di dalam otak Wirojoyo.

Arumboko dan Lewo tersenyum lebar mendengar penuturan Wirojoyo.

"Engkau pintar sekali. Ya, aku adalah prajurit Wengker, Abdi Dalem Pangeran Wirojoyo Nararyo." puji Arumboko tersenyum lebar.

"Aku siap membantu. Mulai saat ini aku akan memanggilmu Pangeran. Bukankah kita sudah pernah dilatih oleh Aryosetho?" sambut Lewo bersemangat.

"Ya, ya. Aku juga akan memanggilmu Pangeran," kata Arumboko bersemangat.

"Ingat, jangan sampai rahasia kita ini bocor. Kalau sampai Gagak Lodra dan kawanannya mengetahui rencana kita ini, maka matilah kita," kata Wirojoyo.

"Ingat! Jangan bicara kepada siapapun soal ini. Hanya kalian berdua yang tahu recana kita. Jika kalian berbicara pada orang lain, maka orang itu akan berbicara pada orang lain pula, begitu seterusnya. Akhirnya rahasia itu sampai ke telinga Gagak Lodra. Jika hal itu yang terjadi, maka kita akan dicincang jadi santapan anjing." tegas Wirojoyo. Hal itu perlu ia tegaskan, karena ia mengkhawatirkan sikap Arumboko yang kurang bisa menyimpan rahasia.

"Ya, aku mengerti. Darimanakah engkau bisa mengarang semua cerita tentang Wengker, Rha Lingga dan sebagainya itu?" tanya Lewo memandang sahabatnya dengan rasa kagum.

"Kalian lupa, kita pernah membaca kitab Bhagawatgita di rumah Ki Puger?" Wirojoyo mengingatkan ketika mereka bersama-sama belajar ilmu agama di rumah Ki Puger.

Untuk lebih meyakinkan kawanan Gagak Lodra, sebelum tidur malam itu, Wirojoyo mengajak semua penghuni kerangkeng untuk melakukan upacara pujamantra dan dia sebagai pemimpin upacaranya.

"Wahai kisanak, marilah kita mengadakan upacara Yadnya, sebagai ungkapan syukur karena kita semua telah diselamatkan dan dalam lindungan Paduka Gagak Lodra yang perkasa." kata-kata Wirojoyo ia ucapkan dengan keras, sehingga terdengar oleh para penjaga yang berada di luar kerangkeng.

Setelah melakukan upacara inti dan melantunkan bait-bait pujamantra, Wirojoyo mengucapkan doa khusus bagi sang pemimpin yang sengaja ia ucapkan dengan suara keras agar didengar oleh kawanan itu.

"Wahai Dewata Agung, sejahterakanlah bagi pemimpin kami, paduka Gagak Lodra yang perkasa, beserta semua prajuritnya, agar mereka menjadi kekuatan yang mampu memberi perlindungan bagi rahayat Giri Lawangan. Berilah pemimpin kami paduka Gagak Lodra yang perkasa, kekuatan dan kemampuan untuk membangun sebuah kerajaan besar dan paduka Gagak Lodra sebagai raja yang perkasa, adil dan bijaksana. Berilah kekuatan kepada kami para petani, agar dapat membalaskan dendam bela pati raja dan rahayat Wengker."

Wirojoyo sengaja menyebut raja dan rahayat Wengker untuk memberi kesan bahwa ia memang berasal dari Kerajaan Wengker.

Bagi mereka yang mengerti maksud baik Wirojoyo, mengikuti upacara Yadnya dengan hati rela. Namun bagi mereka yang belum mengerti, terpaksa mengikutinya dengan perasaan tidak senang.

"Bersyukurlah, karena besok kita tidak akan saling bunuh lagi," kata seorang petani dengan perasaan gembira.

"Ya, mulai besok tidak ada lagi pertarungan sampai mati," kata petani yang lain dengan perasaan lega.

Selesai melakukan upacara Yadnya pujamantra, malam itu seluruh penghuni kerangkeng dapat beristirahat dengan tenang. Mereka tidak lagi dihantui oleh pertandingan maut yang menanti seperti hari kemarin.

Keesokan harinya, Wirojoyo yang baru saja memimpin upacara Yadnya pagi hari dengan doa-doa seperti semalam, dipanggil menghadap Maheso Joyo.

Rupanya ia mendengar laporan tentang upacara dan doa yang diucapkan rahayat untuk sang pemimpin. Karena itu ia tampak bergembira sekali karena seluruh rahayat mendoakan Gagak Lodra agar kelak bisa menjadi seorang raja!

"Ingsun senang sekali mendengar apa yang kalian lakukan semalam dan pagi ini. Wahai Wiro, kapankah siro akan melatih mereka menjadi prajurit?" tanya Maheso Joyo yang kini wajahnya tidak sebengis kemarin..

Wirojoyo mendekat dengan langkah tegap seperti layaknya seorang prajurit, kemudian menghaturkan sembah sambil berkata:

"Ampun Gusti Patih. Jika gusti mengijinkan, maka hamba bisa segera melatih mereka." Wirojoyo sengaja memanggil Maheso Joyo dengan sebutan 'Gusti Patih' dengan maksud melambungkan egonya. Dengan demikian, Wirojoyo berharap akan mendapatkan kepercayaan lebih besar dari pihak Gagak Lodra dan kawanannya.

"Hua..ha..ha….., ingsun sudah tidak sabar punya prajurit yang begitu banyak. Ya, ya, ya….segeralah latih mereka, sehingga menjadi prajurit yang tangguh," kata Maheso Joyo dengan tawa lebarnya. Maheso Joyo benar-benar sudah termakan tipu daya Wirojoyo. Menjadi seorang patih sebuah kerajaan tentu tidak pernah terpikirkan olehnya. Namun pangeran dari Wengker ini sepertinya bisa mewujudkannnya.

"Sendiko dawuh, Gusti Patih." kata Wirojoyo sambil menghaturkan sembah.