webnovel

Anak Haram

WARNING!!Dalam cerita ini mengandung tindakan yang tak patut untuk ditiru. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.

Dariel, Ara dan kedua adiknya tampak melihat adiknya dari balik kaca.

"Akhirnya aku jadi Abang.." Jay berbicara sendiri.

"Ini bakalan aku urus supaya ga kaya Kay."

"Ih apaan sih kakak, dia adik aku juga." Kay tak pernah tersinggung dengan setiap ledekkan Ara. Dariel tersenyum. Mereka berdua itu benar-benar tak bis akur saat bersama.

"Nanti rasain jadi kakak gimana."

"Aku seneng jadi Abang." Jay masih menatap adiknya lekat dan tak henti senyum-senyum.

"Eh Kay, kenalin nih pacar kakak."

"Dariel.." Ucapnya sambil mengulurkan tangan namun Kay belum meresponnya.

"Kay jangan mulai lagi deh."

"Kay, makasih udah bantuin mommy." Kay dengan ramah.

"Iya sama-sama." Dariel tersenyum pada adik kekasihnya itu.

"Jadi ini serangga yang kakak omongin?."

"Ish..Kay diem deh."

"Serangga?."

"Bukan gitu Riel, ntar aku ceritain."

"Aku belum pernah liat Daddy nangis kaya gitu, kasian Daddy." Jay mengingat kejadian menegangkan tadi siang.

"Iyalah, emang kamu ga sedih apa liat mommy gitu?"

"Aku takut tadi."

"Udah Jay, ga papa, ga usah takut lagi."

"Udah puas liat adiknya?" Dikta datang.

"Udah uncle, ganteng kaya aku." Kay menyahut.

"Ara paling cantik nih."

"Iya uncle ga ada saingan nih.."

"Pantes ya kok uncle waktu itu pernah liat Ara masuk mobil Dariel taunya ini jawabannya." Dikta membuat Dariel dan Ara senyum-senyum. Hubungan mereka kini terbongkar juga di depan atasan Dariel.

"Jangan sebar-sebarin di kantor ya uncle."

"Iya engga, selain pinter dikantor Dariel pinter nih taklukin anaknya Ken padahal susah katanya, tuh temuin mommy dulu sana."

"Aku tunggu disini." Dariel membiarkan Ara dan adik-adiknya pergi keruangan ibunya sementara Dia memilih untuk mengobrol bersama Riko dan Dikta. Pandangan Dariel sesekali menatap ke arah Dirga yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Dariel sedikit terganggu dengan tatapannya sejak dari tadi.

"Ya udah bentar ya, kita ke depan dulu Riel." Riko menepuk bahu Dariel dan pergi bersama Dikta. Dariel hanya menggangguk sambil tersenyum. Dia menatap lagi kearah Kris. Dia juga ingin punya adik kecil.

"Jadi lu pacarnya Ara?." Seseorang sudah berada disampingnya.

"Kenapa?." Dariel bertanya kembali dan menatap laki-laki itu.

"Udah tahu tentang Ara?."

"Saya ga peduli masa lalu." Jawab Dariel dengan cukup sopan dan tegas.

"Dia itukan cowoknya banyak, pacaran bisa sana-sini. Mau-maunya.." Dirga entah menjelaskan atau meledek tapi dalam kata-katanya jelas ada perkataan tak suka.

"Lalu?."

"Dia pernah pacaran sama gw."

"Ciuman bukan berarti pacaran."

"Ara.... itu best kisser ya.." Dirga menyeringai dengan senyuman. Dariel sedikit geram karena komentarnya. Dariel hanya bisa mengepalkan tangannya mencoba menahan kekesalan. Dibanding bertengkar dirumah sakit lebih baik Dariel pergi dan tak meladeni ocehan Dirga.

"Gw bakalan tetep deketin Ara." Dirga menghentikan langkah Dariel dengan tangannya yang sengaja dia letakkan diatas bahu Dariel.

"Silahkan, bukannya kamu yang bilang Ara punya pacar yang banyak dan mau-maunya, sekarang kamu sendiri yang mau deketin."

"Kenapa? takut?."

"Ga sedikitpun. Silahkan dekati Ara sepuasnya tapi bukan berarti saya bakalan mundur. Biar Ara yang nilai siapa yang lebih dia suka."

"Orang tua kita tuh temenan, kalo cuman dapetin Ara perkara yang mudah." Dirga dengan sombongnya. Dariel kini menyingkirkan tangan Dirga dengan tangannya.

"Saya yakin Om Ken itu orang tua yang bijaksana. Siapapun kamu, entah itu anak orang kaya, entah itu anak temennya sekalipun, om Kenan pasti nyari yang terbaik buat anaknya."

"Gw tahu siapa lu. Dasar anak pungut!!." Dirga dengan kejam. Rasanya sudah lama sekali dia tak mendengar ejekan itu. Dariel langsung menatapnya.

"Setidaknya saya bukan orang yang bergantung pada orang tua. " Dariel lalu berjalan pergi. Dia tak mau memperpanjang masalahnya. Kalau sampai dia teruskan mungkin emosinya tak akan dapat dia tahan. Dariel berjalan menuju parkiran. Dia lebih memilih untuk duduk diam di mobilnya mencoba menenangkan diri. Tubuhnya dia baringkan sejenak dengan mata terpejam. Dia mengingat sesuatu.

"Heh!! kamu tuh anak siapa sih? anak pembantu ya?." Seorang anak mendorong bahu Dariel setelah berhasil mengambil tasnya.

"Anak babu juga sekolahnya disini." anak yang lain mengejeknnya tapi Dariel tetap diam.

"Eh dia tuh bukan anak babu tapi anak pungut!!." Anak yang paling tinggi dengan cukup keras.

"Bukan, aku denger dari Jian dia tuh anak haram." Anak yang pertama mengucapkan kata yang justru lebih menyakiti perasaan Dariel. Kini Dariel mengangkat tangannya yang terkepal dan mengarahkan ke wajah anak yang menyebutnya anak haram namun...saat akan dekat dia berhenti.

"Kenapa? sini pukul!!" Anak itu menantang. Dariel melemas. Dia ingat. Kalo sampai dia berkelahi bapak akan marahi dan justru memukulinya dirumah. Dariel segera pergi dari tempat itu.

"Mau kemana? urusan kita belum selesai anak haram." Ejekan itu terus bertubi-tubi bahkan kalau ada bendera putih rasanya Dariel ingin mengangkatnya. Dariel terus berjalan cuek sampai seseorang menarik bahunya.

"Enak aja lu mau pergi anj****g!." Seseorang langsung menariknya. Dariel tersengkur diatas lantai dan seketika teman-teman yang membulynya itu langsung memukuli Dariel seenaknya. Dariel tak melawan, dia hanya mengangkat tangannya untuk menutupi wajahnya. Jika hanya badannya yang memar tak apa asal jangan wajahnya. Hal itu sepertinya sia-sia karena buktinya tangan Dariel ditarik sehingga wajahnya bisa terkena bogeman itu dengan keras. Kini bukan hanya hatinya saja yang sakit tapi sekujur tubuhnya merasakan hal yang sama. Selesai memukuli Dariel yang sebatang kara, teman-temannya itu menarik tasnya dan pergi sementara Dariel dengan susah payah mencari-cari tasnya yang sudah terkoyak dan berusaha pulang. Sepanjang jalan orang-orang hanya memperhatikannya tanpa memberi bantuan. Jaman sekarang, kepedulian itu memang susah didapatkan.

"Ya Allah kamu kenapa Riel?." Bi Nani terkejut saat melihat Dariel masuk dengan wajah babak belur. Dariel hanya duduk dan membuka sepatunya. Jalan belakang selalu ia pilih karena jika lewat pintu depan bapak pasti marah. Jalan belakang yang langsung menembus dapur itu memperlihatkan bi Nani dan ibunya yang tengah memasak.

"Aku ga papa." Dariel sambil mengangkat sepatunya yang lusuh dan menyimpannya disebuah kantong plastik.

"Coba liat bibi.." Bi Nani dengan paksa menarik wajahnya.

"Aww.." Keluh Dariel sakit. Matanya sempat melihat kearah ibunya yang dengan begitu dingin masih mengaduk sop yang sedang dia buat sampai aromanya membuat Dariel lapar. Ah...sudahlah. Tak mungkin juga dia bisa mencicipi sop itu.

"Sini bibi obatin."

"Aku bisa sendiri. Aku mandi dulu nanti aku bantuin bibi." Dariel dengan terpincang menuju kamarnya. Dia sejak kecil memang tak pernah mengeluh. Semua kesakitan rasanya sudah kebal dirasakan. Suara dering handphone membuyarkan ingatan kejam Dariel.

- Halo..

- Kamu dimana sayang?.

- Aku di mobil,

- Ngapain?.

- Hm....ada sesuatu yang ketinggalan. Bentar lagi aku kesana sayang.

- Ya udah sini..

- Iya-iya.

Dariel menutup teleponnya. Dia menghapus sedikit air mata yang turun disudut matanya lalu segera pergi menemui Ara.

****To be continue