webnovel

Pelecehan yang Nyaris

 

 

Plak.

Haikal memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang dilayangkan oleh gadis di depannya. Ia menatap tajam pada gadis itu.

 

"Lo sadar, Kal! Nyawa orang hampir melayang karena lo!" bentak gadis itu.

 

Haikal tersenyum miring. "Bahkan gue berharap dia mati."

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tak percaya akan ucapan Haikal. "Otak lo dipake! Dia temen lo!"

"Dia musuh gue," tegas Haikal.

"Dia temen lo, Kal! Dia temen yang selama in-" Ucapan gadis itu terpotong karena Haikal.

"DIA MUSUH GUE, BEL! DIA MUSUH GUE SETELAH DIA NYARIS MEMPERKOSA LO!" jerit Haikal pada gadis itu, Bella.

 

Bella terdiam mendengar itu. Ia kembali teringat pada kejadian beberapa jam lalu, di mana Vano—teman Haikal yang hampir memperkosanya di gudang sepi. Saat ini, Vano tengah terbaring lemah di rumah sakit karena dihajar habis-habisan oleh Haikal.

 

"Harusnya lo yang mikir, Bel! Lo yang mikir kenapa lo masih bisa belain dia di saat seperti ini!" ucapnya dengan penuh penekanan dan sambil menunjuk pada Bella.

Haikal menatap Bella yang terus saja diam. Ia meraih dagu Bella dan mengangkat wajahnya agar berhadapan langsung dengan dirinya. "Atau ... lo seneng kalau dia ngelakuin hal itu ke lo?" tanya Haikal dengan berbisik.

 

Bella langsung menunjukkan ekspresi terkejutnya atas pertanyaan Haikal.

 

"Lo suka, ya, sama bajingan itu?"

"Stop, Haikal, stop!" ringisnya sambil menghempas Kasar tangan Haikal dari dagunya.

 

"Apa? Jawab gue! Lo suka sama dia?"

 

"KAL!" teriaknya.

"APA?" Haikal membalas dengan berteriak pula. "Apa, Bel? Mau nampar gue lagi? Iya? Tampar, Bel!" Ia meraih tangan Bella dan mengangkatnya sejajar dengan pipinya. "Tampar gue sepuas lo!"

Bella dan Haikal saling menatap dalam satu sama lain. Beberapa detik kemudian, sebulir air mata jatuh dari mata cantik Bella. Melihat hal itu, Haikal melepaskan tangan Bella dan gadis itu langsung terduduk di lantai rumah sakit yang sepi. Ia menutupi wajahnya yang kini basah dengan air mata.

Sudah sepuluh menit Bella menangis dan mereka berdua masih dalam posisi yang sama seperti tadi. Hingga akhirnya, Haikal menurunkan tubuhnya dan memeluk Bella. Ia mengusap rambut Bella untuk menyalurkan ketenangan pada gadis itu. "Maaf, maafin gue, Bel."

"Lo harusnya paham, di sini gue bukan belain dia, gue peduli sama lo, Kal. Gimana kalau kemungkinan terburuk terjadi sama dia? Masa depan lo hancur, Kal. Hancur karena gue," ucapnya disela tangisannya.

"Gue lebih rela masa depan gue yang hancur daripada masa depan lo. Gue nggak suka lihat cewek disakitin."

Mendengar kalimat terakhir dari Haikal membuat Bella tertawa kecil. "Lo sadar nggak kalau perbuatan lo selama ini juga nyakitin cewek? Lo setiap hari godain cewek, jalan sama cewek yang beda setiap harinya, tapi nggak satu pun dari mereka yang lo pacarin. Lo cuma ngasih harapan palsu, Kal."

Haikal terdiam mendengar hal itu. Benar juga apa yang dikatakan Bella. Namun, ia melakukan hal itu tentu saja ada alasannya. Dan alasan itu tidak perlu diketahui oleh Bella. "Itu urusan gue, Bel."

 

Bella melepas pelukan mereka dan menatap Haikal. "Kalau gitu, ini urusan gue, Kal."

Haikal menghembuskan napas kasar. "Bel, lo sahabat gue dari kecil, orang tua lo udah nitipin lo ke gue."

 

"Kalau lo peduli ke gue cuma karena wasiat terakhir orang tua gue, mending nggak usah, Kal. Gue bisa jaga diri sendiri," ucapnya, lalu ia bangkit dari posisinya dan meninggalkan Haikal.

 

Baru beberapa langkah Bella berjalan, panggilan Haikal mengharuskannya untuk berbalik badan. "Kenapa, Kal?"

 

"Lo mau ke mana?"

 

"Balik, besok harus sekolah," jawabnya, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

 

Haikal segera bangkit dari posisinya dan mengejar langkah kaki Bella, lalu ia menarik pergelangan tangan gadis itu.

"Kal, ngapain sih?" kejut Bella.

 

"Pulang sama gue."

Bella menarik paksa tangannya dari genggaman Haikal. "Apasih, Kal? Gue bisa pulang sendiri."

Haikal menatap tajam pada Bella. "Pulang sama gue," ucapnya dengan penuh penekanan.

 

"Lo kenapa tiba-tiba mau semotor sama gue? Biasanya lo paling anti sama hal itu," tanya Bella. Pasalnya, sejak mereka pertama kali masuk SMA dan kini sudah kelas 12, Haikal sangat jarang mau mengantar atau menjemputnya. Jika pun ada, itu hanya sesekali. Padahal, dulu mereka sering bermain sepeda dengan Haikal yang mengendarainya.

"Ini udah malam, Bel. Jangan banyak tanya!"

 

"Fine," pasrah Bella dan mengikuti ucapan Haikal.

Selama  perjalanan pulang, tidak satu pun dari mereka yang berniat untuk buka suara. Mereka berada dalam keadaan yang sangat canggung.

 

Haikal menghentikan motornya tepat di depan rumah Bella. "Makasih," ucap Bella dan langsung masuk ke rumahnya. Sementara Haikal, ia terus menatap pagar rumah Bella yang sudah kembali tertutup dengan tatapan kosong. Marah, sedih, kecewa, semua bercampur menjadi satu.

 

"Om, Tante, maafin aku karena belum becus jagain Bella," gumamnya. Setelahnya, ia menuju ke rumah yang tepat berada di depan rumah Bella, yang mana itu adalah rumahnya.

***

Di dalam kamar, Bella langsung menangis sejadi-jadinya. Ia sangat marah akan kejadian hari ini. Kalau saja hal buruk itu sampai terjadi, ia pastikan bahwa ia akan mengecap dirinya sebagai gadis paling buruk di dunia.

Untuk beberapa saat, ia teringat akan pertanyaan Haikal tentang perasaannya pada Vano. Ia tidak habis pikir kenapa Haikal bisa menanyakan hal seperti itu padanya. Padahal sudah jelas-jelas sedari kecil perasaan Bella hanya untuk Haikal. Cinta pertama Bella adalah Haikal. Bahkan di saat Haikal beranjak menjadi playboy pun ia masih setia dengan Haikal.

"Apa tadi gue salah marah-marah ke Haikal?" gumamnya. "Nggak seharusnya gue nampar dia."

 

Ia meraih ponselnya dan menelepon Haikal. "Gue minta maaf atas kejadian tadi. Maaf karena gue marah-marah dan sampai nampar lo. Lo boleh balas semuanya ke gue besok, tapi jangan diemin gue," ucapnya to the point saat panggilan terhubung. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia langsung memutuskan sambungan teleponnya.

Beberapa detik setelahnya, ponselnya berdering dan menampilkan nama Haikal di sana. Ia mengangkat panggilan itu dengan ragu-ragu. "Iya," ucap Haikal dari seberang sana dan langsung memutus sambungan teleponnya.

 

"Udah? Gitu doang? Kurang ajar!" gerutunya sambil menatap kesal pada ponsel. "Gue masih bingung kenapa lo selalu cuek sama gue beberapa tahun terakhir ini, padahal sama cewek lain lo selalu care. Gue rindu kita yang dulu, Kal."

Ia beranjak dari tempat tidurnya menuju balkon kamar. Di sana terlihat lampu kamar Haikal masih menyala. Ia dapat melihat hal itu karena kamarnya dan Haikal yang berhadap-hadapan. "Good night anda have a sweet dream, Kal. Thank you," ucapnya sambil tersenyum menatap kamar Haikal.