“Darkas?”
Lucius hanya tersenyum menanggapi keheranan sang kakak. Wajar jika Evelin bingung. Jika Darkas kerajaan musuh, kenapa adik anehnya itu setuju menjalankan misi darinya? Padahal saat membahas Orion, ucapannya seolah-olah ingin menguliti mereka.
“Jika mereka yang menghancurkan Tenebris, kenapa kam—”
“Karena kita miskin,” potongnya tiba-tiba. “Tak peduli gelar apa yang kita miliki, itu tidak menolak kenyataan kalau sekarang kita cuma dua bersaudara miskin. Apa yang bisa diharapkan? Bahkan singgasana ayah untuk dipamerkan juga tidak ada. Jika bisa menjilati salah satu dari mereka dan mendapatkan uang, apa salahnya? Kita juga bisa mengadu domba lainnya.”
Evelin terdiam. Ucapan Lucius memang mengejutkan tapi ada benarnya. Di posisi mereka, yang bisa dilakukan hanya menerima semua uluran di depan mata. Entah itu pekerjaan berdarah atau bantuan kemiskinan.
Tapi saat mendengarnya langsung, aneh tetap merasuki hati. Mungkin Evelin sudah menerima kenyataan yang ada. Di mana sosoknya merupakan Lucia sekarang. Bukan lagi gadis dari organisasi mengerikan dan bawahan Robert sang bajingan.
Akan tetapi, langkah keduanya setelah melewati bibir hutan terdiam. Apalagi saat berisik muncul tiba-tiba dari penyamun yang jumlahnya empat kali melebihi mereka.
“Perampok?” Lucius berujar.
“Apa!” kaget Lucia.
“Serahkan semua barang-barang berharga kalian!” teriak salah satu dari mereka.
Tak tahu kegilaan apa yang muncul, tapi Lucius justru mendorong Evelin. Membuat gadis itu terpekik dan tertangkap musuhnya.
“Kau!” geramnya pada sang adik. Sontak saja ia tarik musuh yang mengapit leher sehingga terbanting ke depan. Bukan hanya itu saja, pedang di pinggang ikut bermain tanpa ampun. Seolah Evelin lupa kalau yang dibantainya itu manusia.
Darah berserakan, aroma anyirnya disapu angin ke sekitar, dan rintihan dari perampok yang masih sadar mengalun ke pendengaran.
Evelin terdiam menyaksikan kekejaman yang baru saja dilakukan olehnya.
“Syukurlah. Kupikir karena hilang ingatan, kemampuanmu juga memudar. Tapi ternyata masih sama ya?” Lucius tersenyum manis padanya. Mendekat dan mengambil pedang kakaknya untuk membersihkan pinggiran tajam.
Bilah itu tampak bercahaya ketika memantulkan sinar matahari di atas sana.
“Kamu sengaja?” gumamnya pelan.
“Kenapa? Kakak syok karena aku dorong ya? Tenang saja. Kamu baik-baik saja kan? Karena kalau tidak, kepala mereka pasti kugantung di pepohonan.”
Bisa-bisanya ia mengatakan itu dengan santainya tanpa memikirkan perasaan Evelin. Padahal tadi terlintas jelas di benak sang gadis istilah pengkhianatan. Tak percaya jika orang yang mengaku sebagai adiknya akan mendorongnya ke sarang buaya.
Walau nyatanya para lawan cuma hewan buas tanpa kuku dan taring menakutkan.
Tapi, satu hal yang pasti dan ditanamkan Evelin dalam hati. Kalau Lucius Vez Ignatius itu orang gila. Bukan makhluk waras kepribadiannya. Dia bahkan tega melakukan candaan yang berujung nyawa. Dirinya benar-benar harus hati-hati pada sosok yang mengaku adiknya.
Di kerajaan Orion, kehebohan terjadi di depan gerbang. Penyebabnya tentu saja mayat sang komandan ksatria yang dibawa pulang.
Rahang Yang Mulia Kaztas menegas memandang semua dari balkon. Mengingat beritanya telah sampai ke telinga.
Bagaimanapun juga, komandan ksatria yang mati itu merupakan adik seperguruan sekaligus ksatria terbaik milik kerajaan.
Siapa yang tidak geram?
Bahkan di aula tatapannya mendingin menyambut sosok-sosok baru datang.
“Yang Mulia,” Raygan juga Kaizer bersama yang lainnya mempersembahkan penghormatan pada pimpinan mereka.
Sang pemilik kursi tertinggi, Kaztas Von Eraydell tidak menanggapi. Kecuali berekspresi tak ramah saat memandangi satu-persatu tamunya.
“Apa yang terjadi?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Maafkan kami, Yang Mulia. Di perkemahan, ada musuh yang tiba-tiba menyerang Komandan Ksatria. Kami lengah karena ia pemanah yang handal.”
Mendengarnya membuat sang Raja meradang. Disapunya pandangan ke sekitar untuk mencari sosok keparat yang telah berani mengusik kerajaan.
“Lalu di mana bajingan itu?”
Para tamunya terdiam. Kaizer melirik sekilas ke arah Raygan, menanti penjelasan apa yang akan dilontarkan. Tampaknya ksatria berzirah putih itu butuh waktu untuk memilah perkataan.
“Maafkan kami, Yang Mulia. Kami gagal membawanya.”
Guratan emosi semakin terpancar dari sang pemegang kekuasaan tertinggi. Bahkan sorot matanya kian melebar seakan hendak merobek lawan. Perlahan, kepalanya agak tertunduk walau tatapan tajam masih ditorehkan.
“Dengan kata lain kalian tidak berkutik menangkap musuh. Tapi kuharap sosoknya bisa dipastikan. Jadi, siapa bajingan itu?”
“Seorang pemuda juga perempuan sebayanya. Diperkirakan usianya sekitar delapan belas atau dua puluh tahun.”
Jawaban itu sontak saja mengubah ekspresi Raja. Dari lirikan tajam menjadi dingin dan menakuti para bawahan. Bahkan Raygan juga Kaizer harus meneguk ludah kasar akibat tekanan sosok di depan mata.
Helaan napas pelan Kaztas menimbulkan desiran aneh di dada sang putra.
“Masih muda rupanya. Dari kerajaan mana?”
“Jika melihat perawakannya, mereka seperti prajurit desa biasa. Namun kalau menilai rupanya, keduanya seperti bangsawan. Dan pola bertarung pemuda itu saat melawan Kaizer, kemungkinan mereka seimbang.”
Raja agak kaget mendengarnya. Sorot matanya langsung tertuju pada putranya, karena bagaimanapun ia tahu seperti apa kualitas seorang Kaizer. Dari kecil sudah dilatih di kastil para ksatria. Tentunya kemampuan bertarungnya tak lagi diragukan.
Namun sekarang Raygan yang merupakan ksatria elit justru mengakui keahlian musuh mereka. Terlebih lagi masih muda dan mengusik perasaan.
“Kalau begitu perintahkan para pasukan untuk memburu mereka. Tak peduli siapa pun sosoknya, harga karena sudah membunuh Komandan Ksatria tidaklah murah.”
“Baik, Yang Mulia,” Raygan menganggukinya.
“Sekarang kalian istirahatlah,” selesai mengatakan itu Raja pergi meninggalkan mereka.
Kaizer masih memandangi punggung ayahnya, sampai jubah merah berhias ukiran emas di pinggiran yang dikenakan Kaztas lenyap dari pandangan.
“Kalau begitu ayo kita pergi ke pemandian air panas,” ajak Raygan.
“Aku akan ke kamarku.”
“Oh ayolah, Nak. Jangan malu-malu begitu. Kapan lagi kita mandi bersama?” ksatria berzirah putih itu memamerkan tampang menyebalkan kepadanya.
“Tutup mulutmu sialan!” jengkel Kaizer dan meninggalkannya begitu saja.
Hal tersebut mengundang tawa Raygan melihatnya. Lagi pula wajar kalau pangeran itu kesal. Mengingat ocehan gurunya seperti mengundang salah paham para penonton mereka.
Seolah-olah keduanya memiliki kisah terlarang tak pantas di kerajaan Orion.
Sementara dua bersaudara yang merupakan keturunan kerajaan Tenebris, akhirnya sampai di kediaman mereka. Masuk dengan langkah lelah mengingat cuaca panas menghujani tadinya.
Seperti habis melakukan pekerjaan berat, keduanya tumbang di lantai layaknya kaum pemalas.
“Sial, aku mengantuk!” umpat Lucius mulai mengedipkan mata.
Sedangkan Evelin masih sibuk mengembuskan napas tak beraturannya entah kenapa. Rasanya, perjalanan yang tadi ia tempuh sungguh menguras tenaga.
Akan tetapi, perhatian keduanya langsung terusik tiba-tiba. Akibat teriakan di luar rumah yang memekakan telinga. Sontak saja mereka bangun dan memasang tampang waspada.
“Siapa itu?” gumam Lucia.
Pedang yang masih tergantung di pinggang keduanya pun ditarik begitu saja. Menandakan Ignatius bersaudara bersiap akan kemungkinan yang ada.
“Sekali lagi pada penghuni rumah ini! Kalau kalian tidak keluar, akan kuhancurkan semua yang ada di sini! Cepat tunjukkan wajah kalian!” hardik sosok di luar sana.
Menilai dari suaranya diperkirakan kalau itu laki-laki. Dan Lucius juga Lucia saling berbagi pandangan sekarang. Mengangguk secara bersamaan, tanpa ragu kembali menyarungkan pedang.
Entah karena ikatan batin atau darah keduanya, mereka sama-sama tahu harus melakukan apa.
Pintu pun terbuka sehingga Lucius juga Lucia mendapati rombongan aneh dengan lambang kerajaan musuh mereka di luar sana.
“Cih, lagi-lagi Orion ya,” jengkel pemuda itu. “Bagaimana bisa kalian sampai kemari?”
Sosok dengan perawakan seperti pimpinan pun turun dari kuda. Sambil tangan membawa sebuah panah yang tak asing di mata Lucius, seekor elang ikut menghampiri bahu lawannya. Hinggap di sana sehingga semakin gagah pesonanya.
“Ksatria Atlea, aku datang untuk memburu kalian para pendosa,” seringainya tiba-tiba dan membuat dua bersaudara itu bergidik ngeri melihatnya.