Tiba-tiba, hunusan pedang kasar pun diarahkan ke Lucius. “Ugh!” geram sang pemuda akibat serangan yang menekan.
“Berani-beraninya kau membunuh komandan, Bocah!” hardik Kaizer.
Tapi justru seringai yang diberikan Lucius. “Selamat tinggal, Pangeran,” ia pun memutar tubuh dan memberikan tendangan ke perut lawan.
“Yang Mulia!” teriak prajurit lainnya.
Dan tanpa keraguan Lucius menarik lengan Lucia. Mengejutkan gadis itu juga musuh-musuhnya.
“Berhenti!” teriak sosok yang memakai zirah putih tadi.
Tapi terlambat. Lucius juga Lucia, melompati tebing yang ternyata aliran sungai menantinya. Sungguh mereka tak bisa berkata-kata akibat keberanian keduanya.
“Mereka kabur,” Kaizer berujar santai.
“Terus? Apa yang harus kita katakan pada Raja? Pembunuh tangan kirinya kabur. Begitu?” sosok berzirah putih menatap jengkel lawan bicara.
Laki-laki yang beradu pedang dengan Lucius tadi hanya diam. Sorot matanya, masih memandangi aliran sungai di bawah sana. Deras, namun ia yakin dua orang itu baik-baik saja.
Terlebih lagi musuhnya tahu jati dirinya. Padahal sepanjang yang ia ketahui, hanya segelintir orang di kerajaannya mendapati sosoknya dengan gelar pangeran. Mengingat Kaizer lebih banyak menghabiskan hari di kastil ksatria. Tempat di mana orang-orang Orion melatih dirinya untuk menjadi prajurit tangguh kerajaan.
“Ayo kita kembali,” ajaknya pada laki-laki di sampingnya.
Dan ksatria berzirah putih itu pun memainkan mata pada salah satu bawahan. Sebagai tanda, agar pengikutnya memulai pencarian perburuan. Dengan mangsa seorang pemuda juga gadis yang sudah membunuh Komandan Pasukan Kerajaan.
“Kupikir kita akan mati,” lirih Evelin tiba-tiba setelah berhasil diselamatkan adiknya ke tepi sungai. Untung saja, mengingat sosoknya tak bisa berenang. Namun bukannya membiarkan dirinya beristirahat, Lucius malah mencengkeram kerah bajunya.
“Apa-apaan kau ini?! Kau hampir saja membunuh kita berdua!” kesalnya.
Sang kakak terkesiap melihat tatapan garang yang dipamerkan adiknya. Evelin langsung menepis cengkeraman, tapi ternyata sia-sia. Genggaman erat Lucius bukan sekadar bualan belaka.
“Lepaskan aku bodoh!” ia pun meronta. Tapi tiba-tiba pipinya malah dicengkeram saudaranya.
“Lihat aku. Cristhian? Omong kosong macam apa itu? Kau sedang bermain drama?” seringainya.
Evelin yang merasa tidak nyaman pun menatap masam. “Dia ayah dari anakku.”
Tawa mendadak pecah dari mulut sang pemuda. Bersamaan dengan cengkeraman yang dilepaskannya.
Sungguh gadis itu tidak memahaminya. Entah kelucuan apa yang ditangkap Lucius dari ucapannya. Sampai-sampai pandangan sang pemuda berair di pelupuk mata.
“Ayah dari anakmu? Kamu hamil?” cibirnya dan menyentuh perut kakaknya.
Spontan saja Evelin menepis kasar tangan itu dan mundur dua langkah. “Jaga sikapmu!”
Raut meremehkan memudar. Ekspresi Lucius menjadi lebih tenang. Dan lambat laun mendingin seirama aliran angin kasar di sekitar mereka. Gadis itu terkesiap tak tahu kenapa seperti bisikan kematian seakan-akan memeluknya.
“Lucius—”
“Dengar, Lucia. Persetan dengan hilangnya ingatanmu,” ia memotong ucapan tiba-tiba. “Aku takkan lagi mengampuni kesalahan. Kau mungkin lupa, jadi akan kuingatkan kembali. Orion, kerajaan itu, ikut membantai keluarga kita. Dan pangeran yang kau panggil Cristhian itu, adalah bajingan yang membunuh ibu. Jika kau jatuh cinta, maka aku akan memakluminya. Tapi bersiaplah, karena kepalanya akan hadir di piring sajimu. Ingat itu, Kakak.”
Selesai mengatakannya Lucius pun pergi duluan. Walau langkahnya pelan tapi Evelin masih belum mengikuti.
Batin bergemuruh, dadanya sesak. Untaian kata itu bukan sekadar kebohongan. Ancaman yang dilontarkan adiknya, jelas menusuk tulang. Dan sensasi seorang Robert berkumandang.
Seakan-akan dialah reinkarnasinya.
Tiba-tiba Lucius berbalik. Tapi, sebuah guratan senyum yang dipancarkan ditatap tenang Evelin.
“Kakak? Kenapa diam saja? Ayo jalan,” ajaknya.
Terpaksa ia mengikutinya. Dengan segala keluh kesah memenuhi pikiran, mereka pun menuju tempat di mana bayaran akan misi sudah menanti.
Di tempat yang berbeda, dengan membawa tubuh sang komandan di atas kuda, rombongan kerajaan Orion terpaksa kembali ke tanah airnya.
Walau tidak semua, tapi sosok bernama Kaizer juga sang ksatria berzirah putih ada di dalamnya.
“Padahal kita akan memulai invasi. Bisa-bisanya gagal begini,” keluh Raygan. Dialah pria yang memakai zirah itu. Perawakan 35 tahun tak begitu jelas darinya. Tampangnya seakan lebih muda juga menawan. “Untung saja ksatria Atlea sudah datang. Setidaknya, dia bisa menjadi pahlawan.”
Kaizer masih belum menanggapi ucapannya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh seseorang. Dihiasi tangis aneh dengan tampang yang menyiratkan kerinduan.
“Kaizer!” panggil Raygan membuyarkan fokusnya. “Kamu kenapa?”
“Ah, maafkan aku.”
Sosok itu tertawa pelan. “Ah, kamu minta maaf? Bisa-bisa aku mimpi buruk nanti malam,” decihan pun terlontar dari laki-laki yang dicibirnya. “Benar juga, kenapa gadis itu memanggilmu Cristhian? Kalian ada sesuatu ya?”
Dengusan kesal pun terlukis darinya. Kaizer sepertinya jengah akan pertanyaan konyol yang disuguhkan padanya.
“Aku bahkan tidak mengenalnya.”
“Benarkah?” Raygan tampak tak percaya. “Jika kuingat-ingat kembali, ekspresinya seperti orang yang ditinggal mati. Jangan-jangan kamu itu meninggalkannya saat sedang sayang-sayangnya ya?”
Seketika muka masam dihadiahkan sang pangeran. Dia memegang gagang pedangnya seakan bersiap untuk menyerang.
“Lupakan status guru dan murid. Aku, boleh memotong lidahmu kan?”
“Woah! Sabar, Kaizer! Tenang,” Raygan mengangkat tangan. “Aku hanya bercanda, kenapa serius begitu?” ledeknya.
Namun di sebuah kawasan kumuh yang jauh dari rombongan ksatria Orion, kakak beradik yang diburu mereka pun melangkah santai di sana. Memakai penutup kepala sehingga penampakan asli keduanya tersamarkan.
Dan pijakannya terhenti tepat di depan bar yang mana ramai pengunjungnya. Masuk ke dalam membuat beberapa pasang mata menatap lekat kehadiran asing mereka.
“Berhasil, bayarannya mana?” tanya Lucius sambil menyodorkan tangan meminta pada sosok yang duduk di depan meja bar.
Sedangkan Lucia, melirik aneh sekelilingnya. Ia sadar kalau dirinya dan sang adik seperti rusa di antara para singa. Pandangan-pandangan lapar yang ingin mengoyak keduanya, menyelimuti suasana.
“Sabar, anak tampan. Apa kamu yakin kalau misimu benar-benar berhasil?” pak tua yang menjadi lawan bicara terkekeh. Ia juga mengenakan jubah, tapi Lucius dan Lucia tahu kalau di baliknya dia bukan orang sembarangan. Cincin berbatu ruby di tangan menyiratkan kemewahan.
“Tentu saja. Kalau tidak percaya kau bisa pastikan. Tapi tinggalkan dulu uangnya. Kita, sudah bernegosiasikan?” tekan Lucius sambil memamerkan seringai tipis.
Dan tiga bungkusan berukuran segenggaman telapak tangan dari kulit binatang itu memancarkan bunyi-bunyi dentingan koin emas.
Orang-orang yang mendengarnya menoleh ke arah mereka. Menatap tajam seolah-olah mata ingin keluar menggapainya.
“Memang menyenangkan bisa bernegosiasi denganmu, Nak. Akan lebih bagus lagi, jika dirimu dan juga saudarimu yang cantik itu ikut melayani kerajaanku.”
Lucia terkesiap saat Lucius memegang lengannya. “Terima kasih. Tapi kami terlalu berharga untuk itu. Aku pergi, jangan lupa sering-sering memesan kami, aku sangat puas bekerja sama denganmu,” kekehnya dan berlalu dari sana.
Sekilas, Lucia melirik pak tua di belakang. Aneh rasanya saat melihat seringai juga terpancar di bibirnya.
“Lucius,” panggilnya tiba-tiba. “Siapa pak tua itu?”
Sang pemuda melepas sentuhan dan berjalan santai di samping Evelin. “Orang yang membayar kita.”
“Aku juga tahu itu bodoh! Maksudku, dia siapa? Aku yakin dia bukan orang biasa.”
Senyum hangat merekah di bibir. Entah kenapa Lucius memasang ekspresi seperti itu.
“Dia, wakil Raja kerajaan Darkas. Salah satu kerajaan yang menghancurkan Tenebris.”