webnovel

18. Sosok tak terduga

Terbungkam. Seolah-olah dia tahu apa saja yang ingin ditanyakan Evelin. Bahkan jeda untuk bersuara juga tidak diberikan.

“Kakak dan aku saling memanggil dengan nama panggilan, Luc. Sehingga takkan ada yang tahu kalau kita berasal dari Tenebris. Bagaimanapun juga, perjuangan untuk bisa hidup sampai saat ini tidaklah mudah. Ada banyak yang dikorbankan dan itu neraka. Kuharap cepat atau lambat ingatanmu kembali, Lucia.”

Terdiam. Sentuhan yang ditorehkan Lucius ke pipi Evelin menusuk kesadarannya. Tak terlihat kasih sayang sebagai saudara, dan entah kenapa sensasi anehnya mengingatkan pada sosok tidak diharapkan.

Robert.

Dan Lucius terasa agak mirip dengannya.

“Bersiaplah, karena siang ini kita harus bekerja.”

Selesai mengatakan itu, sang pemuda pun pergi meninggalkannya. Menjelang waktu yang ditentukan, keduanya sudah bersiap dengan pakaian bak pengelana. Dihiasi jubah gelap sebagai luaran, Evelin tertegun menyaksikan penampilan adiknya.

“Kenapa kau menutup mata kirimu?”

“Karena kita unik, Lucia. Dan tak satu pun yang boleh tahu tentang ini,” sambil menyodorkan penutup mata.

Perempuan itu menerimanya. Jujur ia masih tak menyangka akan fakta yang terasa bagai khayalan di otak. Mengingat warna mata dirinya dan Lucius memang berbeda.

Kanannya biru dan lainnya merah.

Rambut sama-sama coklat, juga memakai anting berbentuk air mata dengan berlian hitam sebagai hiasan. Walau laki-laki, Lucius tampak cocok memakainya.

“Ini,” ia menyerahkan dua pedang pada Evelin.

“Kenapa yang ini seperti disegel?”

Tiba-tiba sang pemuda menyentuh gagangnya. “Karena pedang ini berhantu, Lucia. Jangan pernah gunakan kecuali kematian sudah di depan mata.”

“Berhantu?”

Guratan tipis menyeruak di bibir adiknya. “Bukankah sudah kukatakan? Senjata di Tenebris dibuat dari kumpulan mayat. Apa kamu bisa bayangkan berapa banyak tubuh dan jiwa yang dikorbankan?” kekehnya. Perlahan disentuhnya pipi sang kakak. “Lebih dari ribuan menjadi tumbalnya.”

Evelin pun langsung menepisnya walau pelan. Rasanya aneh diperlakukan seperti itu. Atau, mungkin masih sulit baginya untuk menerima kenyataan.

“Ayo kita pergi,” ajak Lucius yang jalan duluan.

Sesaat, sang gadis menoleh ke belakang. Menatap lekat kediaman sederhana berlantai dua itu. Asri dan indah, begitulah lukisannya. Dihiasi pohon akasia juga magnolia di sekitar.

“Omong-omong, apa pekerjaan kita?” Tak ada jawaban kecuali sosok yang ditanya terus berjalan. Penasaran tentunya. Tapi balasan mungkin tidak akan di dapatkan kecuali mereka sampai di tujuan. Insting Evelin merasa begitu. “Apa ini?” kagetnya saat melihat ada sekumpulan perkemahan di bawah tebing. “Siapa mereka?”

“Orang-orang dari kerajaan Orion.”

“Orion?”

“Salah satu yang menghancurkan Tenebris.”

“Lalu apa pekerjaan kita? Jangan bilang mengacau di sana.” Lucius menyeringai dan memamerkan apa yang ada di balik jubahnya. “Busur? Kau ingin menembak mereka?”

“Pimpinannya.”

Raut meremehkan langsung terlukis di rupa gadis muda. “Benarkah? Dari sini?”

“Tentu saja.”

“Apa bisa? Ini sangat jauh. Kau harus turun sedikit agar tidak meleset.”

Laki-laki itu malah mengabaikan kakaknya. Mulai mengambil satu panah dan bersiap melancarkan serangan. Embusan angin kasar yang mengusik tak mengganggu dirinya.

Fokus Lucius begitu luar biasa sampai-sampai menimbulkan keanehan di diri Evelin.

Seolah-olah pertanda kematian sudah tercipta saat sorot matanya menargetkan musuh.

“Lu—”

Tembakan pun tiba-tiba dilancarkan. Kalimat Evelin terpotong akibat ulah adiknya. Dan tak butuh waktu lama kehebohan terjadi di bawah sana. Di mana orang-orang perkumpulan kemah kerajaan Orion menunjuk pada posisinya.

Gemuruh seperti ingin memulai perang pecah di depan mata.

“Berhasil?!” kaget Evelin.

“Tentu saja. Ayo kita pergi,” ajaknya dan meraih lengan kakaknya.

“Tunggu! Cuma itu saja? Tak ada yang lain?” jujur saja Evelin masih bingung dengan pekerjaan mereka.

“Misi kita memang cuma membunuh pimpinannya. Ayo ambil bayaran sebelum ada yang memburu kita,” dan langkah kaki mereka mendadak berlari karenanya.

Tak tahu kenapa, tapi Evelin merasa fisik yang dimilikinya sekarang sangat ringan. Padahal bobot tubuh ini mirip dengan badan aslinya, namun rasanya jauh lebih lincah.

Dan yang paling mengejutkan tentulah rupanya. Saat diceburkan Lucius ke kolam tadi, dirinya sempat melihat keanehan di muka.

Wajah itu, bukanlah miliknya. Namun milik Lucia, kakak dari laki-laki yang berlari di depannya. Seperti kembar, tapi mereka beda setahun. Hanya saja, perawakan ekspresi keduanya sangatlah tak biasa.

Lucius, benar-benar mirip dengan Robert. Sementara Lucia, hanya diam saja seakan keangkuhan memenuhi rupa. Dia memang cantik, tapi entah kenapa rona kelicikan seolah-olah tersirat jelas di wajahnya. Evelin jadi bingung untuk memperbaiki raut muka yang dibawanya.

Akan tetapi, langkah sang adik tiba-tiba berhenti.

“Lucius! Ada ap—”

Terbungkam, karena pemuda itu tiba-tiba menutup mulut kakaknya dengan tangan. Bahkan memaksa Evelin agar bersembunyi bersama.

“Sshh ...” suruhnya diam sambil menunjuk ke kanan dengan dagu.

Dan gadis itu pun terbelalak akibat penampakan di luar dugaan. Kemunculan beberapa orang asing sambil menunggangi kuda. Namun yang mengejutkan bukanlah jumlah mereka. Ataupun senjata gagah yang dibawa untuk memburu mangsa, akan tetapi salah satu wajah anggotanya.

Rupa dengan pakaian ksatria itu, dialah yang membuat syok sosoknya.

“Cristhian!” pekiknya tiba-tiba dan mengagetkan sang adik yang melotot padanya.

“Sial! Luc!” pekik Lucius karena Lucia meninggalkannya.

Tapi terlambat, mereka sudah ketahuan oleh musuh sekarang.

Dan hunusan senjata pun dihadiahkan sosok yang memperkeruh perasaan Evelin. Air mata terurai di pipi, diiringi gemetar memenuhi diri.

“Tak diragukan lagi! Jubah itu, merekalah musuhnya!” sela seseorang dengan lantang.

Sementara Lucius terpaksa memperlihatkan kehadirannya dengan menarik lengan Evelin agar berdiri di belakang. Sorot matanya, beradu tajam pada laki-laki yang mengarahkan pedang.

“C-Cristhian,” lagi-lagi gadis itu memanggil orang di hadapannya memakai nama sang pujaan.

Tentunya ksatria itu jadi bingung, terlebih akan ekspresi yang dipandang.

“Cristhian? Siapa?” Lucius bergumam.

“Kak Cris, k-kamu, masih hidup?” ucap Evelin senang. Ia mencoba melangkah ke depan tapi sontak saja dicegat sang adik akibat lawan hampir menyayat lehernya.

“Kau gila? Hentikan, Luc! Mereka musuh!” tekannya memandang tajam.

“Tapi dia Cristhian. Dia Cristhian! Dia masih hidup, Luc! Dia masih hidup!” jelasnya.

Dan sosok yang ditunjuk mengernyitkan dahi bingung. “Tipuan macam apa ini? Dilihat dari pedang serta jubah kalian, aku yakin salah satu dari kalianlah pembunuh komandan,” suara dingin itu menusuk kesadaran gadis muda.

“Kak Cris, kamu— kamu tidak mengingatku? Ini aku, aku Evelin,” ucapnya beruraian air mata.

“Jangan buang-buang waktu, Kaizer! Bunuh saja mereka!” teriak seorang pria yang memakai zirah putih.

Refleks Lucius pun menarik pedangnya, bersiap-siap menghadang serangan yang akan datang.

“Kak Cris!”

“Diam!” hardik adiknya tiba-tiba. Evelin terbelalak akibat bentakan yang menghantam kesadaran. “Sadar, Luc! Mereka Orion! Mereka musuh!” ia memperingatkan.

Dengan tangisan tercerai berai, Evelin pun melirik rupa laki-laki yang diharapkan. Dan dirinya terkesiap akan pemandangan di depan mata.

Tatapan dingin itu begitu menusuknya, seolah ingin merobek hati juga rindu yang dimilikinya.