webnovel

10. Ancaman Daniel

“Tidak. Sama sekali tidak.”

Pemuda itu tersenyum. Tatapannya hanya fokus ke wajah Evelin. Sekarang, jarak berdiri mereka kurang dari satu meter. “Evelin, itu namamu?”

“Ya.”

“Nama yang indah,” puji Daniel.

“Terima kasih. Nama Kakak juga sangat indah.”

Tiba-tiba Daniel menyemburkan tawa aneh. “Basa-basimu luar biasa sekali. Jadi, kapan kamu akan melakukannya?”

Dahi Evelin mengernyit bingung. “Melakukan? Melakukan apa?”

“Menggugurkan kandunganmu.”

Spontan jantung gadis itu serasa dihujam oleh ucapan sosok di depan mata. Tapi dirinya masih mengontrol ekspresi, karena sejujurnya ia sangat penasaran kenapa keluarga Cristhian Ronald terasa aneh baginya.

“Jadi, kenapa aku harus menggugurkan kandunganku?”

Daniel mengedarkan pandangan. Berjalan pelan ke arah jendela, membukanya agar udara pagi masuk lembut ke dalam kamar Cristhian.

“Karena adikku takkan menikahimu.”

“Begitu?”

“Dia sudah bertunangan. Tiga bulan lagi mereka akan menikah. Putri dari Menteri Keuangan tentu jauh lebih baik dari gadis asing yang tak jelas asal-usulnya.”

“Jadi, ini hanya tentang latar belakang ya. Bahkan mereka yang berbicara sebagai perwakilan rakyat pun sudah tentu takkan sudi meminum air yang sama dengan orang sekelilingnya,” sindir Evelin.

“Gadis pintar. Aku akan memastikan hidupmu menjadi jauh lebih baik. Di mana pun itu tak masalah, kami mampu membayarnya untukmu. Aku tak tahu apa yang disukai Cris darimu. Entah dia jujur atau tidak, tapi akan lebih baik jika kami membantu orang sepertimu jika mau bekerja sama. Sebutkan saja jumlahnya, lebih cepat lebih baik.”

Evelin terdiam sejenak, lalu menyentuh ujung rambutnya. “Berapa harga nyawamu?”

Daniel menoleh tajam padanya. “Apa maksudmu?”

“Berapa harga nyawamu? Maka bayarlah seharga itu. Setelahnya, aku takkan muncul lagi di hadapan kalian, bagaimana?”

Gurat emosi semakin terukir jelas di rupa Daniel. “Gadis kurang ajar. Apa kamu tahu sedang berbicara dengan siapa?”

“Putra pertama dari Presiden Jason bukan?”

“Jadi gadis rendahan sepertimu tahu tentang itu.” Daniel mendekat dan menyentuh wajah Evelin. Sentuhan lembut berubah menekan kedua pipinya. “Apa kamu tahu? Kami bisa saja menghilangkan sebuah jejak di muka bumi hanya dengan uang. Bagaimana menurutmu?” ia melepaskan cengkeraman.

“Seper—”

“Kakak? Sedang apa kamu di sini?” potong Cristhian yang datang tiba-tiba.

“Cris? Aku hanya ingin menyapa calon adik iparku. Sepertinya aku mengerti kenapa kamu begitu menyukainya,” puji Daniel bersilat lidah.

Cristhian menggenggam lengan Evelin. “Ya, karena dia memang beda dari semua wanita yang pernah kutemui,” sambil mengulas senyum pada dua orang di dekatnya.

“Kalau begitu aku pergi dulu.” Daniel berbalik. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena suatu pemikiran. “Cris, jika tidak keberatan, apa kakak boleh tahu apa rencanamu selanjutnya?”

“Rencanaku?”

“Ya. Rencana kalian berdua.”

Cristhian menatap Evelin. “Kami akan menikah, aku sudah mengatakannya pada ayah. Dia bilang akan mengurus semuanya termasuk Elena. Selama itu, aku dan Evelin akan tinggal bersama di luar negeri sampai hari pernikahan.”

“Baiklah, terdengar cukup bagus untukku. Nanti beritahu aku alamatmu. Aku sangat senang jika kamu bahagia bersama pilihanmu, Cris,” Daniel pun memeluk adiknya.

Namun, kalimatnya jelas berbeda dengan raut di wajahnya. Gadis itu menatap jengkel pada sorotan sang kakak ipar yang bermuka dua di depannya.

“Evelin,” panggilnya begitu melepas pelukan dari Cristhian. Ia merangkul sang gadis yang tertegun akan ulahnya. “Aku senang karena adikku sudah menemukan pilihan yang tepat untuknya. Semoga kalian selalu bahagia,” sambil mengelus lembut kepala Evelin. “Urusan kita masih belum selesai,” bisiknya lalu melepaskan calon adik ipar dari dekapan.

“Terima kasih, Kak,” jawab singkatnya.

Daniel menorehkan senyum. “Semoga kalian berdua selalu bahagia di mana pun kalian berada,” ia berlalu dari sana.

“Bagaimana menurutmu keluargaku?”

Evelin masih menatap udara kosong di depan.

“Luar biasa,” tanpa menoleh sedikit pun pada orang di sebelahnya.

Pemuda itu seketika merangkulnya dari samping. “Aku senang karena semuanya berjalan dengan lancar. Walau aku sangat waspada, jika ayah dan ibu tiriku mungkin saja akan melakukan sesuatu pada hubungan kita, tapi sepertinya tak ada yang perlu dicemaskan.”

Hati Evelin berkata-kata, tak menyangka semuanya akan berlanjut seperti ini. Kegagalan misi yang berakhir pada rencana pernikahan tanpa persetujuan darinya.

Memang benar ia menyukai Cristhian, tapi dirinya tak berpikir sejauh itu untuk menikahinya dalam waktu dekat. Apalagi ada masalah mendesak yang harus diurus nantinya.

Terlebih lagi, sikap keluarga sang pemuda terlalu jauh dari bayangan. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, bahkan sudut hati Evelin sangat penasaran.

Bimbang memilih untuk tetap lanjut pada keadaan di luar kontrolnya, atau membunuh pemuda yang berhasil menidurinya. Sepertinya, hanya waktu dan keadaan, akan menjadi petunjuk dari jawabannya.

Laju mobil Cristhian diarahkan entah ke mana. Saat tahu kalau Evelin memiliki paspor, dirinya menyuruh mengambilnya. Dalam sebuah tas yang tertinggal di kamar mandi berlabel rusak di club milik sang pemuda, mereka terpaksa kembali ke sana.

Sekarang, semua persiapan sudah selesai. Cristhian bernyanyi riang, suaranya tak begitu bagus dalam membawakan lagu hip hop kekinian. Mata Evelin sesekali meliriknya, mengagumi rupa di sampingnya, sehingga ia lupa kalau ada masalah besar sedang menanti diri.

Di tempat yang berbeda, ulah sosok bersorot mata tajam mengobrak-abrik apartemen milik Evelin dan Camila. Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali jejak kehidupan para gadis muda.

“Aku tak menyangka jika dia takkan memberikan laporan apa pun padamu. Jika Ronald tahu, apa yang akan terjadi? Kelalaian benar-benar tak bisa diterima,” sela seorang wanita sambil menendang pakaian yang ada di dekat kakinya.

“Mungkin dia sedang mengulur waktu.”

“Benarkah? Hanya membunuh anak presiden apa susahnya?! Tinggal tembak atau sayat, dan wah! Darah beterbangan.”

“Semua tak semudah yang dipikirkan. Lagi pula, ini berkaitan dengan keluarga pemerintah. Tak semudah itu lolos dari kejaran mereka jika kita menarik api di dalamnya.”

“Heh, anda selalu saja membelanya. Memang benar harus kuakui hasil kerjanya selalu bagus. Tapi keterlambatan ini di luar kewajaran. Jangan lupa, kalau perjanjian dengan klien bukan sesuatu yang bisa ditarik ulur.”

Pria itu menatap diam pada wanita yang mengoceh. Keheningan sejenak membuatnya mengambil keputusan akhir. “Ayo pergi. Kau saja yang pergi ke kediaman presiden.”

“Baiklah. Tapi cukup menyusahkan jika jaringan kita terbatas di negara ini. Hanya bisa kabur dan bersembunyi, menyebalkan!” umpat wanita itu sambil melangkah pergi dan membiarkan keadaan ruangan berantakan.

“Selanjutnya lakukan dengan bersih.”

“Iya-iya, aku takkan menyampah,” gerutunya. Ia pun memakan permen tangkainya. Kenyataannya, hal itu ditegaskan karena dia sembarangan mengacak-acak apartemen milik Evelin dan Camila. “Oh ya, CCTV-nya?”

“Sudah beres.”

Sekarang, berisik di pelabuhan mengacaukan pemandangan Evelin. “Kenapa kita ke sini?”

“Kita akan naik kapal.”

“Kapal? Ke mana?”

“Ke mana pun selama kita berdua.”