webnovel

Pesan Cinta Effendik

“Menata hati bukan ikwal membalik telapak Mencairkan luka jua tak sekedar meneguk kopi Menyapu keresahan masa lalu jua teramat tak mampu Semua adalah garis takdir qada Mau tak mau harus terlewati Di sisinya ada jurang di sisi yang lain ada lubang Di tengah-tengah ada serapak dua kaki Bila salah sedikit neraka jahanam adalah ujung tanpa tepi Bukan masalah hanya mengucap Bismillah Atau mengusap kedua tangan kemuka dengan Allhamdulillah Tapi terus berjalan di jalanan yang benar Setegak alif sekuat baq berjuang demi menjaga keimanan dan kesalehan hati Terus berusaha hidup dengan lafaz shalawat dan tabuh genderang takbir langit” *** Begitulah serat cinta lampiran sebait puisi Effendik yang iya tulis rapi bak catatan buki diari. Sore menjelang magrib dengan segelas kopi dan sebungkus rokok di atas meja berteman sunyi sebuah gang desa bernama Mojokembang. Sebuah desa pinggiran kota Jombang. Ini ikhwal sebuah cerita dan album masa lalu Bagus Effendik. Seorang lelaki muda yang sedang mencari jati diri. Benturan demi benturan kenyataan pahit terus ia lalui. Kehidupan sederhana dari orang tua yang sederhana membuat ia harus selalu berjibakuh dan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Bagus Effendik yang sering dipanggil dengan sebutan Cacak Endik. Adalah pemuda biasa dari kebanyakan pemuda kampung lainnya. Namun di balik penampilannya yang biasa saja terselip kalam-kalam illahi yang indah yang selalu tergetar di mulut dan hatinya. Jalan takdir yang ia miliki membuatnya selalu resah dengan keadaan yang diterimanya. Iya selalu bertanya dalam hati apa itu cinta sebenarnya dalam arti mana harus ku kerahui cinta apakah dalam arti kiasan atau secara hakikatnya

Cacak_Endik_6581 · Histoire
Pas assez d’évaluations
55 Chs

Dermaga Lampung

Byur, byur,

Debur ombak terhempas dari tengah laut menghantam karang tepian pantai di samping dermaga. Kala itu siang setengah tujuh aku berdiri menatap luas samudera bagai tanpa tepi.

Nun jauh di sana di tengah samudera tiang kapal hanya ujung terlihat seakan di telan lautan. Pandanganku beralih pada camar bergerombol bernyanyi riang. Apakah mereka sempat terpikir tentang bisunya hati dan kebekuan akan rasa kalah dan terus kalah.

Mataku kembali menyeka beberapa kapal nelayan yang masih bersandar di tepian dermaga. Dengan ikatan simpul tali tambang mereka begitu riang walau pekerjaan tak bisa di anggap remeh begitu keras bagi yang belum pernah melakukannya. Adakah hatiku kali ini bersua bahagia seperti mereka.

Berdiriku di tepian dermaga dengan ransel kugendong di punggung. Sebuah ransel warna hitam kesayangan. Teman setia walau sejauh mana kaki berpijak di tanah perantauan.

Angin laut mulai kencang menyapaku. Membelai rambut panjang sebahu mengibaskannya perlahan kanan dan kiri. Sengaja tak ku ikat aku ingin membebaskan rasa lelah di ujung-ujungnya sebab sering sekali ku ikat setiap waktu.

Kemarin aku melihat dengan mata kepala sendiri kekasihku ya sebut saja begitu walau tanpa pernyataan dan perjanjian. Walau tanpa kata sebuah ikatan dan tanpa kata penerimaan atau penolakan. Sebulan yang lalu iya berkata, "Tetaplah disini sebagai kekasih hingga akhir waktu. Walau kau dan aku tak pernah saling menyatakan, tetapi kita terikat oleh rasa batin yang terpaut biarlah berjalan begitu."

Dan kemarin aku menyaksikan kau Dewi berkerudung ayu. Memakai baju adat lampung duduk manis di atas singgasana perkawinan atau yang akrab di sebut pelaminan namun bukan aku di sampingmu dan aku memutuskan menjauh pergi. Aku memutuskan kembali berlayar menyeberangi selat untuk kembali ke tanah kelahiran.

Apa dayaku hanya seorang perantau tak berkejelasan akan masa depan. Apa dayaku saat sang bapak dari pihakmu menerima sebuah lamaran pemuda santri penghafal kalam Allah.

Tentu sebanding denganmu dan cita-cita bapakmu. Dan aku yang hanya pria jalanan dan hanya mengerti mencari makan. Dan aku harus mengalah serta mundur perlahan bahkan harus menjauh, kalau bisa teramat jauh dari tanah kelahiranmu.

Aku dan dermaga Bakauheni dan laut beserta ombaknya dan burung camar yang bersua riang dengan sekawan dan angin laut apa bila bertiup. Mengaturkan salam terakhir perpisahan dan terima kasih telah sempat memberi lembaran manis semanis madu di kala malam itu. Di saat kau dan aku dan malam badai angin serta hujan di dalam gudang beras milik Bapakmu.

Aku pulang kembali aku pulang menatap biru lautan dan hendak berlayar menyeberangi selat Banten untuk terakhir kalinya mungkin tak akan kembali selamanya.

Selamat berbahagia Dewi, selamat mengarungi biduk kapal rumah tanggamu bersama dia yang terpilih dari seribu dan memenangkan hati bapakmu.

Aku kalah hari ini tepat di tepi dermaga, tapi ah sudahlah bukankah aku selalu kalah. Tapi ah sudahlah aku selalu menikmati madu tapi tak pernah sampai memakan inti sari. Aku selalu menikmati nikmat mereka tapi tak pernah memiliki.

Pohon kelapa berjajar di tepian tempatku berdiri memanjang lurus sealur jalur pantai. Mereka layu seakan mewakili rasa hati ku. Pasir pantai berjuta butir kadang tersapu ombak dari tengah samudera. Seakan mereka pasrah selayaknya hatiku ini, selayaknya kakiku ini hanya mengikuti langkah entah kemana lagi tapak terpaut, entah kemana lagi berpijak aku tak mengerti, dan aku detik ini hanya ingin pulang.

Aku rindu akan bau harum kampung halaman nun jauh di ujung lautan dari tempatku berdiri. Bahkan apabila aku menyeberangi selat di hadapanku sampai di daratan ujung satunya. Kampung halaman masih terlalu jauh ke arah timur dari sana.

Ah rasa lelah ini kembali datang, kembali merayu-rayu menggerogoti menimbulkan rasa selalu ingin menyerah dan tak melanjutkan kembali perjalanan perantauan.

Ah rasa penat dan peluh ini kembali datang mengajak bercanda untuk segera menyeberang dan menghardikku agar aku tak lagi menoleh sisi belakang.

Kutarik nafas agak dalam, kubiarkan beberapa saat udara laut yang terhirup tersimpan di dalam rongga dada. Setelah semakin muak ingin muntah ku lepaskan perlahan melalui rongga hidung demi sebuah rasa mengurangi dahaga pengap dalam aliran otak.

Ton..., ton...,

Suara itu kembali terdengar suara khas cerobong asab dari kapal Very sebagai tanda ia akan segera berlayar.

Ku mantapkan hati ku bulatkan tekat ku ayunkan langkah menghampiri sang raja selat kapal Very.

Dan aku akan pulang, terima kasih atas semuanya kota Bandar Lampung. Kenanganmu tak akan ku lupakan sampai akhir hayatku kelak. Suatu hari nanti apabila ada suatu kesempatan akan kuceritakan ulang, akan ku tulis ulang.

Hingga pada saatnya nanti seorang anak kecil manis di pangkuanku berkata, "Kakek ceritakan sebuah kisah tentang laut dan kapal."

Kini aku beralih dari berdiri di tepi dermaga, berubah tempat berdiri di tepian lambung kapal namun tetap menatap laut yang sama, ombak yang sama, burung camar yang sama serta langit yang sama.

Dewi terima kasih telah memberiku arti dari manisnya rasa mahkota seorang gadis tanpa ada rasa terpaksa walau tiada cinta disana. Setidaknya benar pula akhirnya kata-katamu, lebih baik aku menyesal telah merenggutnya demi untuk menolong nyawamu dari pada aku tak mengambilnya namun akhirnya kau tak tertolong lagi tentu rasanya begitu pahit.

Dewi aku pulang ku titipkan sebuah benih di dalam rahim aku tak akan meminta bakal benih yang ku tabur. Entah jadi atau tidak waktu itu aku tak sengaja menanamnya, karena aku jua di jangkiti pikiran kalut dan takut akan sebuah kehilangan.

Dewi selamat jalan sayang semoga kau benar-benar bahagia dengan pangeran yang sekarang mungkin telah bercanda denganmu. Yang semalam mungkin telah menikmati lekuk-pelekuk keindahan yang pernah kau suguhkan.

Dewi aku pulang demi sebuah kata akan kekalahan dan yah siapa yang memenangkan pertarungan aku jua tak tahu. Siapa yang kalah dan dikalahkan itu tentu aku. Biarlah aku berlayar sampai entah tujuan akhir berlabuh di tempat yang mana di hati yang mana aku tak memahami.

Ku raih sebatang rokok ya tinggal sebatang di saku jaket warna merah yang selalu aku pakai. Lihatlah di satu bagian jaket masih ada noda putih bercap bagaikan gambar sebuah pulau dari inti sari malam itu.

Sengaja tak aku cuci agar saat aku melihatnya masih terkenang geliat manja dirimu di atas karung-karung beras yang ku tata rapi sebagai alasnya.

Sengaja tak ku hilangkan bekasnya karena di sana masih ada bekas cinta yang tak pernah ada pernyataan kau cinta aku atau aku cinta kau mengalir begitu saja.

Ya sudahlah aku pulang di bawa kapal Very ke ujung dermaga selanjutnya. Ku tatap pulau Sumatera terakhir kalinya di ujung geladak kapal Very. Seraya berucap, "Assalamualaikum Ibu Bidan Dewi dan Terima kasih."

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Cacak_Endik_6581creators' thoughts