webnovel

Pernikahan yang Ku Sesali

Lydia Minora Tan adalah seorang wanita muda cantik dan sukses, di usia 25 tahun dia sudah mendapat berbagai gelar mentereng seperti B.A, MBA, PhD. Diusia 16 tahun dia sudah lulus SMA karena 2 kali ikut program kelas akselerasi di SMP dan SMA. Sebagai anak orang terkaya di daerah Jogja, dia juga mewarisi banyak perusahaan dari ayahnya. Prestasi cemerlang di pendidikan berbanding terbalik dengan kehidupan percintaannya. Lydia sama sekali belum pernah pacaran. Sebagai penganut kristiani yang sangat ketat dan taat, keluarganya tidak memperbolehkan ia berpacaran karena takut terjerumus ke dalam dosa. Lydia yang baru berusia 25 tahun sudah menjabat sebagai direktur utama di salah satu anak perusahaan milik keluarganya. Sebagai keluarga kaya dan terhormat, Hariyanto Tan, ayah Lidya, sangat menjaga citra keluarganya. Sehingga diusia 25 tahun, merupakan usia wajib sudah menikah bagi wanita di keluarga Tan. Begitupun dengan Lydia, dia pun diharuskan menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya apabila ingin mendapat jatah warisan keluarga. Sebagai anak satu-satunya di keluarga Hariyanto Tan, mau tidak mau mengikuti perintah ayahnya untuk menikah dengan Ardi, anak angkat dari William Wongso. Walaupun Ardi hanya anak angkat, tetapi William sangat sayang kepada Ardi, itu dikarenakan Ardi adalah anak dari adik perempuan Wiliam yang meninggal bersama suami dan anak bungsunya karena pesawat yang ditumpangi mengalami kecelakaan. Selain itu William yang juga ditinggal meninggal oleh istri dan anak perempuan semata wayangnya akibat tersapu tsunami saat liburan di Puket tahun 2004 membuat Ardi menjadi satu-satunya ahli waris William apabila dia meninggal. Namun Ardi yang dari luar terlihat sempurna sebagai seorang dokter yang baik dan penuh perhatian rupanya aslinya adalah seorang playboy kelas kakap dan egois. Setelah 2 tahun menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita, sifat Ardi yang sebenarnya mulai muncul Apakah yang akan dilakukan Lydia? Apakah akan mempertahankan pernikahannya demi nama baik keluarga atau bercerai dengan Ardi?

Aprock410 · Urbain
Pas assez d’évaluations
14 Chs

Banyak kesamaan

"Kamu mau minum apa? Mau minum sampanye? Aku mintakan ya?" tawar Ardi padaku.

"Boleh Ko" jawabku menerima tawarannya

"Pelayan, tolong tuangkan Sampanye ke gelas nona cantik disampingku ini!" Perintah Ardi kepada pelayan yang berdiri memegang botol sampanye dom pérignon plénitude 3 brut 1969 dibelakangnya.

"Baik Tuan muda" jawab pelayan muda itu dengan cekatan menuangkan sampanye Dom Pérignon Plénitude tahun 1969 ke gelasku.

"Kamu sudah berapa lama sampai Jakarta?"

"Tadi pagi Ko naik pesawat jam 10"

"Sendiri atau sama papa mama?

"Sama papa mama" jawabku.

"Koko sendiri bagaimana? Kan Koko juga sekolah di Jogja" tanyaku kepada Ardi

"Iya, aku sudah di Jakarta sejak Rabu siang kemarin setelah menghadap ke dosen pembimbing masalah jadwal maju tesisku" ujarnya sembari meneguk segelas sampanye ditangannya.

"Jadi Koko tinggal dimana selama di Jakarta?" tanyaku penasaran ke Ardi.

"Di apartemen, kebetulan Atie ada Apartemen di Kuningan yang ditinggali kalau Atie sedang ada urusan ke Jakarta" ujar Ardi sembari menaruh gelasnya yang sudah kosong ke meja makan.

"Oo.. I see"jawabku sembari meminum sampanye digelasku.

"Kamu berarti tadi berangkat dari kediaman Pondok Indah dari jam berapa?" tanya Ardi melanjutkan pembicaraan

"Jam 4 Ko.. Macet banget.. Hampir 2 jam suntuk di Jalan.. Enakan di Jogja." keluhku mengenai kemacetan di Jakarta.

"Yah.. Begitulah di Jakarta.. By the way.. Kamu pasti lelah sekali ya.. Maaf ya gara-gara undangan dari aku kamu terpaksa mengalami rutinitas berat ini.." ujar Ardi penuh simpati kepadaku.

"Enggak kok Ko.. Sudah biasa seperti ini, mondar mandir sana sini. Yang ga biasa cuma menghadapi kemacetan saja setelah hampir 4 bulan terbiasa menikmati suasana teduh dan nyaman tanpa di Jogja." ujarku menanggapi rasa simpatinya.

"O iya ya, kamu baru 4 bulan ya di Jogja, sebelumnya kamu di Harvard ya, ambil MBA dan PhD kan ya disana?" tanya Ardi memastikan.

"Iya Ko.." jawabku singkat.

"Berapa lama kamu tinggal di Cambridge?" tanyanya lagi.

"Lima setengah tahun Ko, 2 tahun MBA, 3.5 tahun PhD" ujarku menerangkan lama aku di sana.

"Luar biasa, jadi kamu usia 25 tahun sudah PhD ya.. Kagum saya" puji Ardi

"Apalah saya ini Ko.. Banyak yang lebi pintar dengan usia lebih muda daripada saya kok" ujarku merendah.

‐-------

Oom William berdiri, lalu mengetuk gelas sampanyenya dengan sendok kecil, berusaha membuat pehatian semua orang tertuju padanya.

"Selamat malam hadirin, terimakasih kepada para undangan sudah meluangkan waktu untuk hadir dalam acara ulangtahun anakku tersayang Ardi Julian yang 30 tahun. Merayakan hari bahagia ini mari kita mengangkat gelas bersulang untuk Ardi. Proost!!" ujar Oom William memberi kata sambutan kepada para undangan.

"Proost!!" jawab para undangan mengema di ruangan restoran yang disewa oleh Oom William sembari mengangkat gelas mereka lalu meneguknya bersama-sama.

Setelah selesai membuka acara, para hadirin dipersilahkan menikmati hidangan yang disajikan oleh para pelayanan dimeja masing-masing. Mereka menikmati makanan yang tersaji sembari berbincang-bincang santai. Ardi yang bertindak sebagai tuan rumah diacara ulangtahunnya menghampiri satu persatu tamu undangan untuk menyapa dan berbincang sejenak dengan mereka.

Melihat sikap dan perilaku Ardi yang sangat ramah dan terpelajar, membuat aku semakin terpesona. Mungkin memang pilihan yang tepat dari orangtuaku untuk menjodohkanku. Apalagi aku anak mereka satu-satunya, tidak mungkin mereka berniat mencelakakan aku, pastilah apa yang mereka lakukan semua untuk kebaikanku.

Hampir sejam sudah pesta ulangtahun itu berlangsung, berbagai hidangan silih berganti disajikan tanpa henti memanjakan lidah para tamu acara. Setelah menyapa dan mendatangi tiap-tiap tamu, Ardi kembali duduk disampingku dan bertanya padaku.

"Bagaimana makannya? Kamu suka? "tanyanya penuh perhatian.

"Suka Ko.." jawabku sembari memberi senyum termanisku.

"Syukurlah kalau kamu suka" ucapnya lagi.

"Koko sendiri tidak makan? Sejak tadi Koko hanya berputar berjalan mengitari ruangan menyapa tamu-tamu saja dan belum makan sesendok pun lho" tanyaku padanya.

"Saya nanti saja lah, ga enak kalau tidak menyapa tamu undangan, apalagi banyak tamu pejabat yang datang, dimana sopan santun saya apabila tidak menyapa mereka satu-persatu"jelasnya padaku memberi alasan.

"Iya si Ko.. Kamu benar" ucapku setuju atas kata- katanya.

"Dari berbagai hidangan yang kamu santap, mana yang paling favorit?" tanyanya padaku.

"Saya selalu suka spaghetti aglio olio, kebetulan rasa spaghetti Aglio Olio disini sesuai dengan lidah saya, bumbunya meresap dan udang yang disajikan masi fresh sehingga manisnya terasa"jawabku

"Wah makanan favorit kita sama ya, aku juga suka Spaghetti Aglio Olio. Bagaimana dengan musik? Apakah kamu suka mendengarkan musik? Kalau aku suka Bruno Mars.." tanya Ardi.

"Wah kok sama, Bruno mars itu musisi favoritku.. Aku sempat foto bareng dengan Bruno Mars di backstage TD Garden, Boston, saat tur the Moonshine Jungle 26 Juni tahun lalu." ujarku bersemangat saat Ardi mengobrol mengenai Bruno Mars.

"Wah.. Seru.. Kamu masi simpan fotonya?"

"Tentu.. Sebentar aku buka galeri foto"ujarku sembari mengambil iphone 5s-ku lalu membuka menu gallery, setelah beberapa saat, aku menemukan gambar aku dirangkul bruno mars di backstage lalu menunjukan kepada Ardi

"Cool" ujarnya setelah melihat fotoku.

"Lagu Bruno Mars yang paling kamu suka apa Ko?" tanyaku penasaran.

"Granade.. Kalau kamu?"

"Wah kok sama lagi. Looks like we have a lots in common Ko" tanggapku dengan rasa senang karena Ardi mempunyai banyak kesamaan dan sangat nyambung saat berkomunikasi.

"Iya ya.. Sepertinya kita harus sering meluangkan waktu bersama. Kamu kembali ke Jogja kapan? Kalau besok sabtu kita pergi nonton mau ga? Kebetulan aku belum sempat nonton film 'Dawn of the planet of the apes' " tanya Ardi mengajakku nonton bioskop berdua dengannya.

"Minggu malam kami balik ke Jogja, ayo Ko, boleh.. Ketemu dimana?" ujar aku menerima ajakannya.

"Aku jemput kamu ke rumah, jam 6 sore ya.." usul Ardi padaku.

"Kamu jemput? Ok.." Aku bertanya karena biasanya selama aku tinggal di Massachusette kalau teman ada janji nonton maka kami ketemua langsung di bioskop, sehingga ini pertama kalinya dalam hidupku dijemput oleh pria untuk nonton bersama.

Harus aku akui pilihan orangtuaku menjodohkanku dengan Ardi sepertinya sangat tepat, walau kami dijodohkan, tapi di pertemuan awal kami dan baru hitungan sebentar ini aku sudah merasa nyaman didekatnya. Tidak ada rasa canggung atau kaku seperti dipaksakan dalam interaksi kami seperti cerita-cerita novel perjodohan, ini terasa lebih alami dan tidak seperti dibuat-buat. Sepertinya aku akan memberi Ardi kesempatan untuk mendapatkan hatiku, apalagi kalau dari adat jawa, kebetulan karena dari kecil aku tinggal di Jogja, Ardi secara bibit, bebet dan bobot baik semua, sehingga tidak ada alasan untukku mencoba menjalani perjodohan yang diatur kedua pihak orangtua kami berdua.

"Kamu mau aku ambilkan minum?" tanya Ardi membangunkanku dari lamunanku.

"Boleh" jawabku yang kebetulan juga mulai haus kembali.

"Teh, kopi atau softdrink?" tanyanya menawarkan beberapa pilihan minuman padaku.

"Softdrink" kataku singkat.

"Cola, sprite atau Fanta?" tanya Ardi lagi.

"Sprite.. I dont like Cola" jawabku menerangkan.

"Nice pick.. I prefer that too" ujarnya lalu bangun dari duduknya, pergi ke meja tempat dihidangkannya softdrink lalu membawa 2 gelas berisi sprite dingin.

"Here you are" Ardi memberikan gelas berisi sprite dingin kepadaku.

"Thanks" ujarku

"By the way, kita belum bertukar no kontak dan pin bb. Boleh aku minta no kontak dan pin bbmu?"

"Sure why not" jawabku setelah selesai meminum sprite yang diberikan Ardi kepadaku dan menuliskan no telepon dan pin bbm-ku di secarik kertas lalu menyerahkan kepadanya.

Sisa malam dipesta itu kami lalui dengan canda gurau antara aku, Ardi, kedua orangtuaku serta oom William yang memperdalam keakraban antar kami berlima. Tanpa aku sadar kedua orangtuaku tersenyum bahagia karena melihat anak semata wayangnya bahagia dengan pria pilihan mereka dan tanpa ada sedikitpun ekspresi terpaksa dari wajahku.