webnovel

Dia Suka sama LO!

"Kevin ngajakin gue nikah."

"What?!" Vega berdiri dari posisinya dengan kedua bola mata melebar, sampai hampir keluar dari tempat, terlalu terkejut dengan apa yang didengarnya barusan.

"Terus lo terima?!" tanya Vega, masih menggunakan nada tinggi, hampir seperti berteriak.

Mila kemudian meraih tangan Vega, menarik gadis itu agar kembali duduk jongkok di depannya. "Tadi lo yang ngelarang gue teriak-teriak, sekarang lo sendiri yang berisik!" cercanya, tentu menggunakan nada pelan yang tidak akan didengar oleh orang lain selain mereka.

"Lah gimana gue nggak kaget kalau mendadak sahabat gue dilamar padahal pacar aja nggak punya, gue bahkan hampir jantungan tahu!" Vega mulai menurunkan nada bicaranya, tetapi ekspresinya sama sekali tidak biasa. Wajahnya benar-benar mirip seperti netijen kalau sedang julid.

"Yaudah, terus lo jawab apa atas ajakan Kak Kevin? Lo pasti tolak, 'kan?"

Mila bangkit dari posisi terbaringnya, kemudian mengendikkan bahu dengan badan yang bersandar pada sofa. "Nggak ada alasan gue buat nolak."

"Kenapa nggak ada? Memang lo juga cinta sama Kak Kevin? Nggak usah jauh-jauh cinta deh, lo suka sama dia? Sayang juga?" Sebanyak apapun pertanyaan yang dilontarkan oleh Vega, Mila sama sekali tidak bisa menjawabnya.

Sampai saat ini, Mila tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Sejak awal dia bersedia untuk menikah dengan pria itu hanya untuk mendapatkan uang demi membiayai operasi jantung ibunya. Namun, Mila pun tidak bisa menceritakan yang sebenarnya pada Vega.

"Gue nggak tahu, Vega, tapi soal menikah sama Kevin, gue udah buat keputusan untuk nerima dia."

"Ya, tapi apa alasannya? Lo suka enggak, sayang enggak, cinta juga enggak. Tapi kenapa lo mau nikah sama dia?"

Ya, karena Kevin sudah bantu bayar biaya rumah sakit nyokap! Rasanya, ingin sekali Mila meneriakkan kalimat itu di depan wajah sahabatnya, tetapi Mila tidak memiliki cukup nyali untuk mengingkari janjinya dengan Kevin.

Bagaimanapun uang delapan ratus lima puluh juta yang sudah Kevin keluarkan itu bukan uang yang sedikit, Mila tidak bisa main-main dengan perjanjian pernikahan kontrak yang mereka buat.

Terlebih lagi, kedua orang tua Kevin pun sangat menginginkan pernikahan ini, menyambutnya dengan sangat hangat untuk menjadi bagian dari anggota keluarga mereka. Jadi, mana mungkin Mila membatalkan semuanya secara sepihak hanya dengan alasan tidak cinta?

"Mila! Gue lagi bicara ya sama lo!" Sentakan dari Vega barusan menyadarkan Mila dari lamunan.

Gadis itu kemudian menghela napas berat, dengan terpaksa dia harus berbohong agar Vega tidak curiga padanya. "Siapa bilang gue nggak cinta sama Kevin?"

"Jadi, lo cinta sama dia?"

"Mungkin nggak se-ekstrim cinta ya, tapi gue memang tertarik sama Kevin. Dan juga, kalaupun gue harus nikah, nggak ada cowok lain di dunia ini yang lamarannya bakal gue terima selain Kevin."

Itu adalah jawaban paling masuk akal yang bisa Mila lontarkan saat ini, mengikuti perkataan Kevin padanya tadi pagi, tentang kesediaan pria itu yang lebih memilih untuk menikah dengannya daripada dengan Luna.

"Gue masih nggak habis pikir sama jalan pikiran lo, semudah itu mutusin nikah sama orang? Sama Kak Kevin lagi."

"Memang kenapa sama Kevin? Ada masalah yang buat gue harus nolak ajakan nikah dia?" tanya Mila, kalau kali ini dia harus tahu bagaimana pendapat Vega. Siapa tahu saja ada alasan yang membuatnya tidak boleh menerima lamaran pria itu.

Mungkin Kevin mengidap penyakit menular, gigolo, pedofil atau jenis penyakit lain yang berbahaya? Dengan alasan itu, Mila mungkin bisa membatalkan rencana pernikahan mereka.

"Sebenarnya nggak ada yang salah sama Kak Kevin. Toh Kak Kevin itu baik, lumayan cakep, kaya, punya pekerjaan bagus juga. Terlebih lagi dia memang suka sama lo dari SMA. Jadi, kalau kalian mau nikah sih, sebenarnya gue setuju aja, gue akan dukung keputusan lo 100%. Cuma ya itu, gue kaget aja karena ada sahabat gue yang bakal nikah secepat ini. Secara dari kita bertiga 'kan, lo yang umurnya paling muda, dua tahun di bawah gue sama Paul. Eh, tapi lo duluan yang nikah," cerocos Vega, mengungkapkan pendapatnya panjang lebar, tetapi sekali lagi ada yang mengganjal di telinga Mila. Masih dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.

"Lo sekali lagi bilang kalau Kevin itu suka sama gue dari SMA? Itu apa maksudnya?"

Vega mengerutkan dahi sebentar, kemudian membenarkan posisi duduknya. Kakinya diangkat ke atas sofa dengan bentuk sila, membalikkan kedua bahu Mila untuk menatapnya. "Lo ingat nggak, pas dulu SMA, lo pernah hampir nggak bisa ikut lomba dance karena sepatu lo rusak?"

Mila menekuk dahi, mencoba memutar memori di otaknya, mengingat tentang hal yang dibahas oleh Vega saat ini. "Ah, yang uangnya gue pakai buat bayar tagihan rumah sakit anak panti asuhan harapan kasih?"

"Iya, itu!"

"Terus?"

"Ingat kalau waktu itu gue mendadak beliin lo sepasang sepatu baru?"

Mila kembali mengangguk terus menyahut, "Yang katanya lo dapat tambahan uang jajan dari bokap lo itu?"

"Nah! Soal ini lo jangan marah ya, gue mau jujur sama lo sekarang. Kalau sebenarnya, sepatu itu bukan gue yang beli, tapi Kak Kevin. Dia yang nyuruh gue bilang itu dari gue, karena dia takut lo nggak nerima sepatu itu, kalau tahu itu pemberian dari dia."

Jujur, Mila benar-benar terkejut mendengar pengakuan Vega barusan. Padahal saat itu, Mila dengan bodohnya percaya bahwa Vega yang membelinya. Terlebih lagi sepatu itu harganya lumayan mahal, sekitar belasan juta, dan itu harga sembilan tahun yang lalu. Kalau sekarang, mungkin mencapai ratusan juta?

"Tapi kenapa?" Mila spontan membalas, "maksud gue, kenapa dia harus beliin gue sepatu semahal itu? Dan dia tahu dari mana kalau gue butuh sepatu waktu itu?" lanjut Mila, memberikan pertanyaan beruntun pada sahabatnya, dia membutuhkan penjelasan.

"Kalau soal sepatu waktu itu, gue juga nggak tahu. Tapi kalau soal hal lainnya setelah itu, maaf banget," Vega memberikan jeda pada perkataannya, menggigit bibir bawah gugup dan mengumpulkan keberanian untuk mengakui dosanya di masa lalu, "gue yang ngadu sama Kak Kevin, soalnya dia janji bakal menuhin kebutuhan make up gue waktu itu kalau gue bersedia jadi mata-mata dia."

Mila benar-benar speechless mendengar pengakuan Vega barusan, tidak pernah menyangka bahwa selama ini Kevin yang sudah membantunya. "Jadi, semua barang dan kebutuhan gue yang lo bantu penuhin selama ini, itu dari Kevin?"

Vega mengangguk tanpa ragu, tetapi detik kemudian menggeleng. "Nggak semuanya kok, tapi emang yang mahal-mahal itu dari Kak Kevin, kayak misal semua barang yang sering kita kasih ke panti tiap bulan, terus tas channel kita bertiga yang samaan modelnya, i-pod, terus –"

"Semua itu dari Kevin?"

Memejamkan mata sebentar, Vega mengangguk sekali lagi. "Iya."

"VEGA! Lo keterlaluan banget sih! Kan waktu itu gue terima semuanya, karena lo bilang lo dapat tambahan uang jajanlah, hadiah dari luar negeri dari orang tua lo lah, apalah. Jadi, itu semua bohong?!"

"Maaf, Mil. Gue nggak punya pilihan, Kak Kevin yang terus-terusan maksa. Lo tahu nggak waktu itu gue kayak diteror? Hampir tiap minggu, yang dia tanyain selalu tentang lo. Lo butuh apalah, lagi kena masalah apa, mau makan apa, mau beli apa, semuanya dia tanyain. Ya, gue terpaksa ngasih tahu semuanya!"

"Termasuk soal apa yang terjadi sama keluarga gue waktu itu?" Mila mendadak berubah menjadi mode serius, membuat Vega segera menggeleng cepat.

"Kalau itu enggak! Gue nggak pernah cerita soal keluarga lo ke dia. Gue cuma cerita sebatas makanan kesukaan lo, warna favorit lo, benda kesukaan lo dan juga kebiasaan lo sehari-hari. Selain itu, gue nggak pernah cerita apapun ke dia. Dan gue juga cerita yang baik-baik kok, enggak yang buruk-buruk kayak lo suka gigit tangan orang kalau lagi kesel atau suka –"

"Ya nggak usah diterusin!"

"IYA-IYA SORRY! Gue minta maaf okay? Dimaafin, 'kan?"

Vega memelas, memasang wajah muram seperti orang mau menangis, membuat Mila menjadi tidak tega sendiri kalau harus marah pada sahabatnya. Terlebih Vega sudah banyak membantunya selama ini.

"Mila, lo maafin gue 'kan? Kok diam aja sih? Marah ya?" Vega menggigit bibir bawahnya, matanya sudah berkaca-kaca, mungkin kalau berkedip sekali juga akan jatuh bulir air matanya.

Melihat itu, Mila kemudian menggeleng. "Gue nggak marah, gue cuma lagi mikir, kenapa Kevin harus ngelakuin itu? Buat apa? Sementara gue sama dia pun, kita nggak dekat!" ungkapnya, meluapkan kegelisahan dalam hatinya.

"Cuma satu alasan yang bisa menjelaskan itu semua," sahut Vega.

Dahi Mila mengerut dalam. "Apa?"

"Ya, dia suka sama lo!"

Mila menaikkan sebelah alisnya, kini satu pertanyaan kembali muncul dalam benaknya. Apa benar Kevin menyukainya?