Arvind beserta keluarganya sudah berada di rumah ayahnya, Antony Wilson. Mereka sekarang tengah berkumpul di ruang tengah. Terpancar kebahagiaan di wajah Antony ketika melihat anak, menantu serta cucu-cucunya berkumpul.
"Papa senang melihat kalian semuanya berkumpul disini. Semoga seperti ini selamanya. Papa ingin kalian saling menjaga," ucap Antony.
"Dasar tua bangka bodoh. Kalau bukan mengharapkan hartamu, mana mungkin aku dan anak-anakku berada di rumah ini," batin Agatha.
"Darel," panggil Antony saat melihat cucu bungsunya yang duduk di samping ibunya.
Darek pun melihat sang kakek. "Ya, Kek." Darel menjawabnya dengan lembut.
"Kemarilah dan duduk di dekat Kakek," pinta Antony.
Darel melirik melihat ayahnya dan kemudian sang ayah mengangguk, lalu kemudian Darel pun pindah duduk di samping kakeknya.
Detik kemudian, Antony menarik lembut tangan Darel untuk menuju kamarnya.
"Ikut Kakek ke kamar. Ada yang ingin Kakek bicarakan padamu, Darel" Antony berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan anggota keluarganya. Serta diikuti oleh Darel di belakang.
Antony menghentikan langkahnya sejenak dan membalikkan badannya menatap anak, menantu dan cucu-cucunya yang sedang duduk di ruang tengah.
"Jangan ada di antara kalian yang berani menguping pembicaraanku dengan Darel. Kalau kalian semua sampai mengetahui apa yang kami bicarakan, aku pastikan kalian tidak akan mendapatkan sepeser pun atas kekayaan yang kumiliki." Antony berbicara sembari mengancam.
Setelah itu, Antony pun kembali melangkah menuju kamarnya
"Sialan!! Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan situa bangka itu pada anak tidak tahu diri itu," batin Agatha.
"Hei, kau Adelina. Sebenarnya apa yang sudah kau ajarkan pada putra bodohmu itu, hah?! Kenapa Papa begitu perhatian padanya? Padahal Papa memiliki banyak cucu, tapi kenapa Papa hanya perhatian pada Darel saja? Papa pilih kasih!" bentak Agatha.
Para putra-putra dari Arvind dan Adelina tersulut emosi. Mereka mengepal tangan mereka. Adelina selaku ibu menyadari bahwa putra-putra sedang berada dalam suhu yang panas, lalu Adelina menggenggam tangan putra sulungnya untuk memberikan ketenangan.
"Jangan terpancing emosi, sayang." Adelina berbicara berbisik.
"Bibi salah. Kakek tidak pernah pilih kasih pada semua cucu-cucunya. Selama ini Kakek selalu memberikan kasih sayang dan perhatian yang adil kepada kita semua, termasuk kepada ketujuh putra bibi," jawab Rendra, putra bungsu dari Sandy Wilson.
"Kau jangan ikut campur. Bibi hanya bicara pada bibimu, Adelina!" bentak Agatha.
"Aku tidak bermaksud ikut campur, Bi! Tapi aku hanya mengingatkan saja kalau kakek tidak pernah pilih kasih pada cucu-cucu nya," jawab Rendra lagi
"Kau berani melawanku, hah!" bentak Agatha.
"Maaf Bi. Bibi tidak perlu membentak adikku. Apa yang dikatakan oleh adikku itu ada benarnya? Jadi bibi tidak perlu marah-marah begitu," tutur Steven Wilson.
"Aku heran pada kalian semua. Kenapa kalian semua tenang-tenang saja? Bagaimana jika kakek kalian memberikan semua hartanya pada anak sialan itu? Apa kalian tidak akan cemburu atau iri, hah?!" tanya Agatha yang sengaja memancing keributan.
"Kalaupun kakek melakukan hal itu. Aku secara pribadi ikhlas dan tidak akan pernah sedikit pun merasa cemburu bahkan iri sekalipun pada Darel. Bagaimana pun juga Darel itu adikku? Dia paling kecil dikeluarga ini. Dan aku yakin kakek punya seribu alasan melakukan hal itu," sahut Erick Wilson.
Sandy Wilson dan Salma Wilson tersenyum bangga mendengar penuturan putra ketiganya itu.
"Kami hidup bukan untuk mencari kemewahan, tapi kebahagiaan. Apa gunanya memiliki kemewahan yang melimpah, tapi hidup tidak bahagia!" seru Naufal Jecolyn putra sulung dari Evita Jecolyn dan Daksa Jecolyn.
Saat mereka tengah bersitegang, terdengar suara yang membuat mereka semua terkejut.
"Aku masih hidup, tapi kalian sudah mempermasalahkan masalah harta," ucap Antony.
Antony menduduki dirinya di sofa dan Darel duduk di samping Kakak kesayangannya yaitu Davian. Kemudian Davian berbisik pada Darel.
"Kakek bicara apa pada Darel?"
"Ti-tidak terlalu penting, Kak. Kakek hanya bilang kalau kakek merindukan kita," jawab Darel berbohong.
"Maaf Tuan besar, Tuan, Nyonya. Makan malamnya sudah siap!" seru salah pelayan yang datang menghampiri mereka.
Mereka semua pun menuju meja makan untuk melakukan kegiatan makan malam bersama.
Suasana makan malam sangat hening tanpa ada suara, lalu tiba-tiba Darel memecahkan keheningan.
"Maaf aku mau ke kamar mandi sebentar," ucap Darel. Darel pun beranjak dari duduknya, lalu pergi meninggalkan meja makan.
Lima menit kemudian, Dzaky Wilson dan Aldan Wilson juga pamit mau ke kamar mandi.
"Kami juga permisi mau ke kamar mandi!" seru mereka bersamaan. Keduanya pun berlalu pergi.
Davian menatap satu persatu adik-adiknya. Dan memberikan kode pada mereka. Mereka menatap sang kakak dan mengerti akan kode yang diberikan oleh sang kakak, lalu Andre dan Vano pun pergi meninggalkan meja makan menyusul adik bungsu mereka.
Andre dan Vano sudah tiba di belakang. Vano kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuat sebuah rekaman.
Andre dan Vano melihat Darel yang keluar dari kamar mandi, dan langsung dijegat oleh Dzaky dan Aldan. Mereka berdua mendorong kuat tubuh Darel ke dinding sampai Darel meringis kesakitan.
"Aakkhh!"
"Kenapa kau harus datang lagi ke rumah ini, hah?!" bentak Dzaky.
"Sudah bagus kau dan keluargamu tidak ada di rumah ini. Sekarang kalian malah datang lagi. Dasar pengganggu!" bentak Aldan.
"Sekarang katakan pada kami. Apa yang kau bicarakan bersama kakek di kamarnya kakek?" bentak Dzaky sambil menarik kerah kemeja Darel.
"Bukan urusan kalian. Aku sudah berjanji pada kakek untuk tidak menceritakan kepada siapapun!" bentak Darel balik, lalu menepis kasar tangan Dzaky yang ada di kerah ke mejanya.
"Oooh, sudah berani sekarang ya!" ucap Aldan, lalu melayangkan pukulan ke wajah Darel.
Tapi pukulan ditahan oleh Andre. Andre dan Vano sudah berdiri di depan Darel.
"Mau menyakiti adikku, hum? Jika kau ingin menyakiti adikku. Langkahi dulu mayatku," ucap Andre dengan tatapan matanya yang tajam.
BUUAAGG!
Satu pukulan tepat mengenai wajah tampannya Aldan. Pelaku pemukulan itu adalah Andre. Sedangkan Vano bersedekap dada dan memandang remeh pada Aldan dan Dzaky.
"Masih berani kalian menyakiti adikku, hah! Apa sudah menjadi hobi kalian, ya? Apa kalian tidak punya kerjaan lain selain mengganggu adikku?" Andre berbicara dengan nada ketus serta tatapan kebenciannya.
"Adik kalian itu hanya manusia sampah. Manusia tidak tahu diri. Dia selalu mendapatkan perhatian lebih dari kakek!" bentak Dzaky.
"Kau...!!" emosi Vano yang ingin memberikan pukulan pada Dzaky tapi ditahan oleh Darel.
"Ka-kakak!" lirih Darel sambil menggelengkan kepalanya.
"Jadi kalian cemburu? Hahahaha! Kalau kalian cemburu dan merasa marah. Kenapa kalian tidak langsung protes pada kakek? Dan kenapa kalian harus marah pada Darel, adikku!" bentak Vano.
"Sudahlah, Vano. Kita kembali saja ke ruang makan. Ngapain kita lama-lama disini," ucap Andre dan mereka pun pergi meninggalkan Dzaky dan Aldan.
"Kamu tidak apa-apa, Rel?" tanya Andre.
"Aku tidak apa-apa, Kak." Darel menjawab dengan memperlihatkan senyuman manisnya
Andre, Vano, Darel, Dzaky dan Aldan telah kini telah berada di meja makan.
"Aldan. Kenapa wajahmu lebam begitu?" tanya Dirga.
"Siapa lagi pelakunya kalau bukan Andre sialan itu?" jawab Aldan dengan kasar.
"Brengsek! Kau apakan adikku, Andre? Beraninya sekali kau memukulinya, hah!" bentak Dirga.
"Selama anak seperti kalian tidak bisa menghargai orang lain, selama itulah kami akan bertindak," sahut Andre.
"Kalau kau tidak mau adik-adik babak belur ditangan kami. Katakan pada adik-adikmu itu untuk tidak menyentuh adikku, Darel!" bentak Vano pada Dirga.
"Kami tidak melakukan apapun pada Darel, Kak Dirga, Pa, Ma!" sahut Aldan dan diangguki oleh Dzaky.
"Benar Pa, Ma, Kak Dirga. Mereka hanya berbohong," tambah Dzaky.
"Kalian benar-benar keterlaluan ya. Bisa-bisa nya kalian menuduh kedua putraku menyakiti adik kalian yang tidak tahu diri itu!" bentak Agatha.
"Aku minta maaf, Agatha. Kalau memang putra-putraku bersalah, aku minta maaf. Tapi satu hal yang aku minta padamu. Tolong jangan sebut putra bungsuku sebagai anak sialan. Aku tidak pernah mengatakan hal-hal yang menjijikan pada putra-putramu, Agatha. Tapi kalau kau masih tetap mengatakan hal itu pada putra bungsuku. Jangan pernah kau marah padaku, apabila aku mengatakan hal yang sama pada putra-putramu itu!" bentak Adelina.
"Oooohh! Kau mengancamku, hah! Kau pikir aku takut padamu, Adelina. Aku mau mengatakan anak sialan pada putra bungsumu itu, itu hakku. Dan lagian ini mulut-mulutku. Kau tidak berhak mengaturku!" bentak Agatha.
BRAAKKK!
Davian tiba-tiba menggebrak meja dengan kerasnya sehingga membuat mereka semua terkejut. Tak terkecuali Agatha dan ketujuh putranya.