webnovel

Perjalanan Cinta Riza

Riza dengan sabar menunggu kalimat yang akan diucapkan sahabatnya. "Aku suka kamu, Za" Semburat merah jambu kembali menghiasi pipi Riza, ia terkejut dan tak kuasa menahan glenyer yang tiba-tiba muncul di hatinya saat Akmal mengungkapkan perasaannya. "Aku tahu ini tak boleh karena kita tidak diperbolehkan untuk berpacaran. Tapi aku tak kuasa lagi untuk menyimpan rasa ini. Rasa yang tiba-tiba datang sejak pertama kali kita bertemu." Akmal tersenyum getir "Kamu tidak harus menjawabnya, Za. Aku hanya ingin kamu tahu isi hatiku. Jika kamu mempunyai rasa yang sama terhadapku maka berjanjilah untuk menjaga hatimu hingga kelak aku meminangmu" Riza menundukkan wajahnya semakin dalam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika dalam posisi seperti ini. Bagaimana ia harus bersikap?. Hatinya terus berdzikir karena jantungnya seperti hendak meloncat-loncat. Akmal melirik Riza yang masih menundukkan kepalanya, gadis itu menatap ujung sepatu flatnya lurus-lurus. Dirinya tahu posisi mereka sedang sulit karena harus menahan gejolak, Allah memberikannya anugrah dengan mengirimkan rasa suka dihatinya. Tetapi mereka harus mampu meredamnya dengan menghindari pacaran dan bermunajat hanya pada Nya hingga suatu saat munajatnya itu akan didengar oleh Allah dan memberikan jalan yang mudah untuk mereka bersatu dalam ikatan pernikahan.

Mairva_Khairani · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
28 Chs

Kecelakaan dan Sahabat Lama

Bismillah..

"Brakkkk!!!!"

"Aaaaaaakh!!!!"

Dalam hitungan detik semua mata orang-orang di tengah keramaian itu langsung tertuju ke arah suara.

Hati Riza merasa tidak enak, suara jeritan tadi seperti tidak asing di telinganya. Benar saja, saat Riza menengokkan kepalanya ke belakang untuk mencari tahu suara siapa tadi ternyata mas Zaenal yang sebelumnya berjalan di belakangnya sudah tidak ada.

Beberapa langkah di belakangnya sudah banyak orang yang berkerumun. Riza berlari ke arah kerumunan itu.

"Astaghfirullah!!. Mba Ratiiih!!." Teriak Riza, dilihatnya mas Zaenal akan berdiri.

"Hen, tunggu di sini. Saya ambil mobil dulu. Laila kamu ke tempat ibu biar siap-siap". Mas Zaenal berkata cepat, kemudian memandang Riza. "Temani Dian di sini!". Perintahnya dan langsung bergegas ke tempat ia memarkirkan mobil. Riza mengangguk, mendadak lututnya lemas melihat beberapa luka berdarah di kaki, tangan, dan wajah mba Ratih.

Kerumunan orang-orang itu sudah berangsur-angsur terurai. Menyisakan beberapa orang yang masih berempati dan ada satu lagi laki-laki dengan wajah cemas dan tegang berada di antara mereka.

Beberapa saat kemudian mobil mas Zaenal yang sudah ada bu Yani dan mba Laila didalamnya telah siap, dengan cepat beberapa orang membopong mba Ratih yang tak sadarkan diri ke dalam mobil. Bu Yani terus saja merapalkan dzikir di dalam mobil yang kini menuju ke rumah sakit terdekat. Diikuti satu mobil lagi di belakangnya.

Setibanya mereka di rumah sakit, para perawat yang sedang berjaga dengan sigap membawa brankar untuk membawa mba Ratih ke dalam IGD, setibanya mereka di rumah sakit. Seorang perawat mendatangi mereka, meminta salah satu keluarganya untuk mengikutinya menyelesaikan administrasi.

Bu Yani dan mas Zaenal mengikuti perawat itu yang ternyata diikuti oleh laki-laki yang dari tadi bermuka tegang. Keempat gadis-gadis itu saling menautkan tangannya di bangku panjang yang tersedia di dekat IGD. Mata mereka memerah karena menangis terus dari sejak di alun-alun kota tadi, mulut mereka tak berhenti berdoa agar teman kostnya bisa melewati masa kritisnya.

Setengah jam kemudian bu Yani, mas Zaenal dan laki-laki yang ternyata adalah penabrak mba Ratih mendekati mereka. Bu Yani terlihat cemas karena diberitahu jika harus dilakukan pemeriksaan mendalam jika Ratih tetap tak sadarkan diri.

"Eng..ma..maafkan saya,bu. Tadi saya kurang fokus karena tergesa-gesa hendak menjemput orang tua saya di bandara. Saya akan bertanggungjawab untuk semuanya hingga mba..."

"Ratih"

"Emm... Hingga mba Ratih sembuh"

"Apapun alasanmu seharusnya kamu tetap berhati-hati, apalagi dikeramaian seperti tadi !!"

"Ii..iya, maaf. Itu memang salah saya"

"Ya memang salah kamu. Sudah tahu jalan ramai begitu, ini malah ngebut!!"

Suara mas Zaenal meninggi, ia akan menarik kerah leher baju laki-laki yang ada di antara mereka, dari tadi ia nampak tenang tetapi ternyata kekesalannya yang ditahannya ditumpahkan pada penabrak mba Ratih itu. Beruntung bu Yani memegang lengan mas Zaenal kuat-kuat, dari gerakan tubuhnya beliau meminta mas Zaenal untuk tenang.

"Sudah..sudah..jangan ribut lagi !!. Kita bertengkar di sini juga Ratih tetap belum sadar dan ada di dalam sana. Sekarang sebaiknya kita semua berdoa agar Ratih cepat sadar!". Bu Yani berkata tegas.

Laki-laki itu menunduk dan beberapa kali menggumamkan kata maaf. Wajahnya memelas tetapi hampir semua yang di sana merasa kesal. Karena ulahnyalah, mba Ratih celaka dan tak sadarkan diri hingga sekarang

"Saya telpon orang tua Ratih dulu" Ujar bu Yani. Beliau menelpon orang tua mba Ratih yang berada di Jakarta dengan kalimat hati-hati agar orang tua mba Ratih tidak panik.

"Ibu sebaiknya kita pulang sebagian untuk mengambil baju ganti Ratih dan membawa perlengkapan lainnya, nanti kita bergantian saja berjaganya".

"Iya,nak. Siapa yang akan ikut ibu pulang ke rumah dulu?"

Tidak ada yang menyahut, semua gadis itu malah menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Saya mau menunggu Ratih,bu" mba Dian membuka suaranya, yang lainnya mengangguk setuju

"Jangan begitu, kita ambil baju Ratih dulu terus kita jaga bergiliran" Jelas mas Zaenal menimpali.

"Biar saya yang berjaga di sini" Laki-laki tadi bersuara. Butuh beberapa menit untuk mendapatkan sepakat, siapa yang ikut pulang dahulu dan mengambil perlengkapan di kostan. Akhirnya Laila dan Heni yang menyerah dan akan menyiapkan perlengkapan mba Ratih dari kostan.

"Sebaiknya kamu ikut pulang, dek. Besok kamu sekolah dan sebentar lagi mau ujian. Heni saja yang tinggal di sini sama mba".

"Iya, za. Besok setelah pulang sekolah baru ke sini lagi sama Laila". Mba Heni menguatkan kalimat mba Dian.

Akhirnya Riza mengangguk. Mereka pulang ke kostan berempat. Adzan ashar berkumandang saat mereka sampai di rumah bu Yani. Setelah membersihkan diri dan sholat ashar mereka berdua menyiapkan pakaian ganti dan perlengkapan mba ratih.

"Baju ganti Ratih dan sudah disiapkan, Za?"

"Sampun, bu"

"Punya Dian dan Heni juga"

"Ini baru mau disiapkan, bu"

"Ya sudah, nanti kalau sudah siap semua tolong di bawakan ke depan ya. Zaenal yang akan bawa baju dan perlengkapan itu ke rumah sakit. Setelah itu kalian makan dan istirahat, ibu sudah menyiapkan makanan di tempat biasah. Sekarang Ibu mau istirahat dulu ya"

"Iya,bu"

"Nggih,bu"

Setelah memasukkan baju ganti, perlengkapan sholat, dan mandi untuk mba Dian dan mba Heni mereka membawa barang-barang itu ke depan. Mas Zaenal sudah menunggu di dalam mobil yang akan membawanya ke rumah sakit

****

"Ini di makan dulu" Laki-laki yang ternyata bernama Randi itu menyodorkan makanan yang barusan ia beli di kantin rumah sakit. Wangi masakannya harum menguar memenuhi hidung ke dua gadis itu.

"Nggak usah repot-repot, kami tidak lapar" Tolak mba Dian sambil menahan rasa lapar yang mulai terasa karena ia baru ingat jika sejak joging tadi baru air mineral yang dibelikan mas Zaenallah yang baru masuk melalui kerongkongannya. Baru saja mba Dian berhenti berbicara, tiba-tiba..

"Kruyuk..kruyuk" Cacing-cacing di perut ke dua gadis itu protes meminta haknya. Mereka diam dan saling bertatapan menahan malu.

"Huh sial !" Rutuk mba Dian di dalam hati. Hampir saja tawa Randi pecah melihat ekspresi kedua gadis di depannya tapi ia menahannya.

"Ayo makanlah, nanti kalian malah sakit kalau menahan lapar begitu" Randi membujuk lagi dengan tulus. Akhirnya kedua gadis itu menerima dua box nasi tadi tanpa bisa menolaknya.

Bertepatan dengan suapan makanan terakhir, terdengar langkah tergopoh-gopoh di luar kamar. Saat ini mba Ratih sudah dipindahkan ke ruang perawatan kelas VIP yang biayanya ditanggung oleh Randi.

"Ini sepertinya kamarnya, pak.. bu.. VIP XX" Suara serak seorang laki-laki terdengar di luar karena saat ini pintu kamar agak terbuka sedikit sehingga suara dari luar akan terdengar sampai ke dalam kamar.

"Assalamualaikum" Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang ibu-ibu menghambur diikuti oleh bapak-bapak dan laki-laki seumuran Randi, tapi sejurus kemudian ibu-ibu itu terkulai lemas. Bu.Lintang yang ternyata adalah ibunya mba Ratih terkulai lemas melihat putrinya di atas brankar dengan mata terpejam dan perban di sana sini.

Ruangan menjadi tampak menegang. Semua yang di ruangan itu kecuali mba Ratih beranjak dari duduknya. Pak Rizal yang tanggap langsung memeluk tubuh bu Lintang dari belakang dan memapahnya ke sofa di ruangan itu.

Setelah ditenangkan dan diberi minuman hangat, bu Lintang terlihat lebih tenang. Beliau meminum minuman hangat yang dibawakan Randi dengan setengah berlari dari kantin.

Air mata membanjiri pipi bu Lintang, pak Rizal mencoba menenangkan istrinya dengan mengelus-ngelus punggungnya.

"Gimana kejadiannya sih ko bisa begini??" Mas Bagas, kakak nya mba Ratih mencari tahu. Mba Dian orang yang tahu benar kronologis kejadian mencoba menceritakannya sejelas-jelasnya tanpa berusaha mengurangi ataupun menambah jalan ceritanya.

"Dimana orang yang menabraknya sekarang?"

"Sa...saya, saya minta ma..." Randi terbata mengakui perbuatannya dan memcoba meminta maaf tetapi belum selesai ia mengucapkan kalimatnya, Tiba-tiba Bagas yang tadi duduk langsung berdiri menarik kerah baju Randi kemudian, "Buk !!..Buk!!" pukulan membabi buta diterima Randi tanpa perlawanan.

"Sudah!..sudah! Bagas hentikan!" Suara berat pak Rizal mencoba melerai Bagas yang akan memukul Randi lagi.

"Duduk !!"

"Tapi, pah"

"Duduk !!"

Akhirnya Bagas duduk dengan gusar, ia masih memandang tajam ke arah Randi. Suasana kamar menjadi tegang.

"Sebaiknya kita berdoa, agar Ratih cepat sadar bukan malah ribut di ruangan ini !". Pak Rizal mengingatkan Bagas dengan tegas. Randi tertunduk lesu, hari ini beberapa kali orang-orang hendak memukulinya sejak kejadian di alun-alun kota tadi. Beruntung beberapa kali juga masih ada yang berkepala dingin dan berusaha mencegahnya meskipun kali ini luput, akhirnya ia terkena pukulan juga.

"Maafkan Bagas, nak. Ia hanya tidak rela adiknya celaka" Pak Rizal meminta maaf untuk Bagas. Betapa mulia hatinya, beliau meminta maaf kepada orang yang membuat anaknya celaka.

"Saya yang harusnya meminta maaf, pak, bu, dan mas bagas. Saya benar-benar khilaf. Tadi saya terburu-buru mau jemput orang tua saya di bandara karena saya bangun kesiangan" Randi memberikan alasannya.

"Lain kali kamu harus lebih berhati-hati lagi. Mudah-mudahan Ratih tidak apa-apa" Harap pak Rizal, beliau tidak tahu jika kecelakaan itu akan mengubah hidup mba Ratih di kemudian hari.

"Terus bagaimana dengan orang tua kamu?"

"Tadi setelah kejadian saya telpon kakak di rumahnya untuk menggantikan saya menjemput papa sama mama, dan sekarang mereka sedang menuju kemari"

"Assalamualaikum" Kepala mas Zaenal tersembul dari balik pintu kemudian masuk membawakan perlengkapan Ratih dan kedua gadis yang sekarang sedang duduk di sebelah bu Lintang. Ia menyalami kedua orang tua dan kakak mba Ratih.

"Terimakasih atas bantuan dan kebaikannya maaf kami sudah merepotkan, nak Zaenal" Bu Lintang berterimakasih, "Sampaikan salam juga untuk bu Yani" Mas Zaenal mengangguk hormat.

Randi beranjak berdiri ke arah pintu setelah menutup telpon yang tadi diterimanya. Ia membukakan pintu orang yang memberi salam dari luar yang ternyata adalah orang tua Randi. Sesampainya di dalam,

"Lho ko ada kamu, Zal?"

"Fikri?!"

Kedua laki-laki itu berjabat tangan dan berpelukan, tak menyangka jika mereka yang bersahabat saat di bangku kuliah itu akan kembali bertemu di situasi seperti ini. Bu Lintang dan Bu Reni berpelukan, terakhir mereka bertemu adalah saat pernikahan pak Rizal dan bu Lintang. Mereka tidak bertemu-temu lagi karena pak Rizal dan Bu Lintang pindah ke Jakarta untuk mengurus perusahaan ayah pak Rizal saat itu dan mereka hilang kontak.

Berkali-kali pak Fikri dan bu Reni menyatakan penyesalannya dan meminta maaf karena kecerobohan Randi membuat Ratih celaka. Pak Rizal yang memang orang baik, sejak tadi bersikap tenang mencoba memasrahkan kejadian ini kepada Allah dan berprasangka baik kepada Nya.

Tangan mba Ratih yang ada di genggaman bu Lintang bergerak-gerak. Bu lintang yang merasakan gerakan halus di tangannya langsung meyakinkan dirinya dan melihat tangan yang ada di genggamannya.

"Pah..pah.."

"Alhamdulillah" Mereka yang ada di ruangan itu merapalkan hamdalah ketika melihat Ratih mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian Randi segera memanggil perawat dari mix yang tersambung dengan ruang perawat di bagian depan.

Malam itu mba Dian dan Heni tidak jadi menginap karena sudah ada keluarga Ratih dan Randi di sana. Mereka akhirnya pulang bersama dengan mas Zaenal.

****

Assalamualaikum..

Hai readers, terimakasih sudah terus membaca.

Jangan lupa subscribe dan beri vote nya ya, agar author lebih semangat lagi menulis ceritanya.

Terus ikuti kisah Perjalanan Cinta Riza yang setiap hari semakin seru dan bikin penasaran ya ...(^v^)