Kepanikan begitu terasa, sosok pria berlari di koridor rumah sakit setelah bertanya kepada resepsionis di mana ruangan sang buah hati, Andrew yang langsung menuju tempat itu setelah mendapatkan informasi pun menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sebelum menemukan kamar rawat inap yang ingin dituju.
Pintu dengan kaca tembus pandang seukuran kepala pun terlihat, ia menatap ke dalam sejenak, dan samar-samar mendengar suara tangis anak perempuannya.
"Pokoknya aku gak mau yang lain kecuali papaku!" Siera menjerit, gadis kecil berusia sepuluh tahun itu menghentak-hentakkan kaki dan tangan di atas ranjang.
Menekan knop pintu, Andrew lantas masuk dan membuat Siera terhenyak.
"Papa!" Seru si kecil dengan air mata yang masih tergenang, tetapi raut wajah berubah semringah.
Melihat rentangan tangan sang anak, Andrew pun berlari kecil dan menghampiri sambil merengkuh Siera. Mendapati gadis kecilnya membalas pelukan sama kencang dan menenggelamkan kepala di dada. Infus yang mendiami tangan kecil itu bahkan sampai bergoyang di tiang, mata Andrew yang emerald memperhatikan sejenak, tidak ingin terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
Di belakang punggung si lelaki, Selena yang adalah ibu dari Siera pun hanya bisa memandangi interaksi ayah dan anak itu. Tidak bisa dipungkiri bagaimana perasaan putri kecilnya terhadap Andrew, yang selalu bangga dan menganggap lelaki itu adalah sosok papa paling sempurna. Memang bagi seorang putri, ayah adalah cinta pertama.
Namun, tidak seperti wanita lain yang akan bahagia terhadap hubungan ayah dan anak ini, Selena tidak merasakan hal demikian, ia malah begitu resah.
"Sudah, jangan menangis lagi, Siera. Papa akan selalu berada di sini, mengerti. Sekarang sebaiknya kau beristirahat."
Mendengar suara Andrew, Selena tersadar dari monolognya. Mata abu menatap sang pria yang sedang memberian ciuman pengantar tidur setelah Siera memejamkan mata dan akhirnya mau beristirahat setelah menangis nyaris setengah hari sejak masuk ke rumah sakit ini.
Hela napas gusar terdengar, Andrew menolehan kepala dan menatap mata Selena.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," bisik wanita itu, kemudian keluar dari ruangan agar tidur sang putri tidak terganggu.
Mengerutkan alis karena menatap punggung Selena yang sekarang menghilang di balik pintu, Andrew pun memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Beberapa saat ia terdiam, kemudian memutuskan untuk mendudukkan diri di samping wanita berambut cokelat ikat pendek itu.
"Siera sampai sehisteris itu, Selena. Apa yang terjadi? Apa ini semua karena kau akan...." perkataan Andrew langsung terhenti ketika melihat wanita itu menajamkan pandangan dengan sorot marah.
"Aku bilang, aku tak ingin berbicara denganmu. Apa kau tidak paham?" tanya Selena, mengembuskan napas dan memejamkan mata, kemudian setelah berusaha menenangkan diri, ia kembali berbicara dengan intonasi rendah. "Siera adalah gadis kecil berusia sepuluh tahun, dia tidak mengerti bahwa dunia ini begitu kejam."
Terhenyak, Andrew merasakan panas di kepala dan amarahnya mendadak naik, jika ini bukan rumah sakit, ia pasti akan menyangkal ucapan Selena.
"Apa yang kau maksud ia tidak mengerti, padahal Siera telah mengalami semua ini selama lima tahun?"
Menggigit bibir, Selena benci sorot emerald yang menggambarkan rasa sakit dan penderitaan. Ia mendengkus, seolah Selena lah yang menjadi akar permasalahan ini. Padahal jelas tidak, ia sudah bertahan selama bertahun-tahun dalam ikatan pernikahan, tetapi kemudian Selena sadar bahwa tidak ada yang bisa dipertahankan lagi, selain cinta murni putrinya.
"Hakim telah memutuskan hak asuh Siera jatuh kepadaku sebelum ia bisa memutuskannya sendiri, Andrew. Kau boleh menemui Siera, tetapi bukan untuk mencampuri hidupku lagi."
Wanita itu berdiri, merapikan rok selutut yang agak kusut di bagian paha dan bokong karena duduk, dan memutuskan pergi sejenak dari laki-laki berambut kelam yang masih menjatuhkan pandangan kepada dirinya. Walau Selena bukan seorang cenayang, ia tahu emerald lelaki itu terus mencoba membolongi dada.
***
Pernikahan mereka memang telah berakhir lima tahun lalu, ketika usia Siera masih sangat kecil, baru saja di ulang tahun kelima. Buah hai mereka dahulu sama sekali tidak mengerti, tentu saja, tetapi tidak untuk sekarang ini, Siera semakin memahami hubungan orang tuanya yang berbeda dan tidak seperti orang tua teman-teman di sekolahnya.
Keinginan gadis kecil itu hanya satu, melihat mereka bersama-sama, saling membagi kebahagian dan canda tawa. Namun, Siera tidak mendapat karena dirinya hanya bisa berada di rumah Selena yang terkadang dikunjungi Andrew saat wanita itu tengah bekerja.
Sebagai ibu, Selena memang membiarkan Andrew untuk kadang-kadang datang, ia tidak ingin egois memiliki dan memonopoli Siera agar tidak berinteraksi dengan mantan suaminya. Namun, ternyata bagi Siera hal demikian tidaklah cukup, malah sekarang si gadis kecil terang-terangan menginginkan Andrew untuk tinggal bersama mereka.
Berada di kafe rumah sakit, Selena memesan kopi untuk menenangkan syarat otaknya. Menyandarkan tubuh dan mendongakkan kepala, untuk sejenak ia hanya ingin sendiri dan terlepas dari Andrew yang selalu muncul kembali di kehidupan yang sudah pelik ini. Selena merasa, ia sangat ingin pergi sejauh mungkin dan membawa Siera bersama agar tidak perlu lagi melihat mantan sang mantan suami, tetapi tentu si gadis kecil tidak akan setuju.
Getaran ponsel yang berada di atas meja mengalihkan atensi Selena sejenak, nama di layar membuatnya tersenyum.
"Halo, Karin. Ah, iya. Maaf aku baru mengabarimu tadi, Siera terus menangis hingga berjam-jam dan aku benar-benar khawatir. Tenang saja, dia sudah lebih baik."
Senyuman tipis terukir kembali, ketika Selena tidak bisa meyakinkan kekasih dari kakaknya itu untuk jangan terlalu khawatir. Dan tentu saja, Karin memutuskan untuk menjenguk gadis kecilnya sore nanti bersama Lucas.
Berucap terima kasih, Selena lantas mematikan ponsel. Mata yang abu sekarang terfokus ke cairan pekat di atas meja, ketika jari menyentuh gagang cangkir kopi, atensi teralihkan kepada sebuah cincin bertakhta permata di jari manis Selena.
Tangannya kembali melepaskan gagang cangkir, dan ia menatap cincin lebih dekat dan dengan ragu-ragu ngeluarkan benda yang melingkari jari masnisnya. Memandangi sejenak, kemudian memutuskan untuk menyimpan benda tersebut di kantung kecil yang ada di dalam tas.
Selena kembali ke ruangan rawat inap dan menatap Andrew yang masih berdiri dan bersadar dengan tangan bersidekap tepat di samping pintu ruangan sang putri. Alis cokelat agak pirang lantas mengerut, mengira Andrew telah pulang karena pasti cukup sibuk dengan pekerjaan. Mereka saling memandang satu sama lain sejenak, sebelum Selena yang terlebih dahulu untuk memutuskan kontak mata.
Masuk ke ruangan, senyuman langsung terukir ketika menatap Siera yang tertidur dengan memeluk boneka kelinci pemberian Andrew. Telapak tangan terulur, mengusap kepala berambut ikal gelap dengan perlahan. Ia tahu, sekali lagi laki-laki yang terdiam tidak jauh dari belakang punggungnya tengah memperhatikan interaksi Selena dengan sang putri. Beberapa saat berlalu, Andrew mendekat dan berdiri di sisi tempat tidur yang lain.
"Tidakkah kau pikir dia memerlukan keberadaan kita di sisinya? Kenapa tidak mengabulkan keinginan Siera, Selena?"
Menatap dingin jari tangannya yang memainkan rambut sepunggung Siera, kemudian Selena menghela napas lelah.
"Itu keinginan siapa, Andrew? Siera atau kau?"
Rahang sang pria mengeras, Andrew mengepalkan telapak tangan, kemudian mengembuskan napas untuk mendinginkan kepala.
"Aku sudah menjelaskan, jangan membahas hal ini di depan Siera, Andrew. Namun, kau tidak memahaminya juga. Sebaiknya sekarang kau mengurusi pekerjaanmu, karena di sini sudah ada aku untuk menjaga Siera. Karin dan Lucas juga akan datang sore nanti."
"Ma?"
Tersentak sesaat, Selena mengalihkan atensi dan menatap Siera yang sekarang baru saja terbangun, mungkin karena obrolan mereka tadi.
Cepat-cepat Selena menyematkan senyuman dan mengelus kepala Siera kembali.
"Kenapa Mama mengusir Papa?" tanya gadis kecil itu dengan pandangan sedih, Siera telah siap untuk menangis dengan bibir yang digigit-gigit dan wajah yang perlahan berubah menjadi merah.
"Tidak, Sayang. Papamu harus segera kembali ke kantor, bukan? Dia tengah berada di tengah-tengah rapat penting, benar kan, Andrew?"
Tersenyum teramat manis, ayah dari Siera menganggukkan kepala, kemudian duduk di pinggir ranjang dan memeluk putrinya. Berbisik agar gadis kecil itu jangan memikirkan hal aneh-aneh dulu dan harus selalu beristirahat supaya lekas pulih. Diberikan sebuah kecupan di kepala, Andrew berjanji akan datang lagi esok hari.
"Tapi aku besok akan pulang, Dokter Cristie yang menjelaskan tadi pagi."
"Anak hebat, kau bisa sembuh secepat ini, kalau begitu akan kuberikan hadiah untukmu, Siera. Kau mau apa? Katakan saja."
Terdiam sejenak, Siera memikirkan sampai alisnya berkerut.
"Jangan bilang kau ingin jalan-jalan ke taman hiburan? Kau masih belum cukup umur untuk naik Dragon Fire. Mamamu pasti tidak akan mengizinkan, walau kau hanya ingin naik bianglala karena kau baru saja sehat, Siera."
Menggelengkan kepala, Siera menyantuh kedua pipi papanya dengan dua buah telapak tangan yang salah satunya tengah terpasang jarum infus. Gadis itu tersenyum, sebelum mengutarakan apa yang ia inginkan.
"Tidak, Pa. Aku tidak ingin semua itu, aku hanya ingin kalian."
Melihat papanya seperti membeku, Siera lantas menghilangkan senyumn, ia mengalihkan atensi kepada sang mama yang juga berekspresi sama.
"Kenapa? Apa Papa dan Mama tidak mau lagi bersama-sama denganku? Aku ingin seperti Lissa dan Andy, tinggal berasama mama dan papa mereka." Gadis kecil itu kembali terisak. "Dan aku tidak mau papa yang lain kecuali papaku!"
Melihat buah hatinya yang kembali histeris, Andrew langsung memeluk dan menenangkan Siera kembali. Dirinya menatap Selena dengan pandangan mencari penejelasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Melihat sang mantan isteri pasti tidak akan mau memberikan keterangan yang berarti, sekarang ia pun mengambil kesimpulan.
Jhonatan?
Kata yang terucap dari bibir dan tanpa suara tersebut bisa dibaca oleh Selena, lantas saja wanita itu membelalakkan mata karena sekarang Andrew telah menyadarinya. Tentu, mana mungkin Andrew akan menerima Selena yang telah memiliki laki-laki lain untuk dijadikan pasangan, walau mereka telah bercerai begitu lama.
Aku ingin kita bicara, mengerti!
Kembali, dengan wajah dingin, laki-laki itu berucap tanpa suara, gerakan bibir yang tersebut membuat ekspresi Selena mengeras. Tidak ada yang butuh dijelaskan bagi dirinya kepada Andrew, karena mereka telah selesai dan mereka seharusnya tidak saling campur tangan lagi tentang masalah pribadi selain tentang Siera.
Melepaskan pelukan, senyuman kembali dihadiahi Andrew kepada putri semata wayangnya.
"Tentu saja, Siera. Hanya aku yang akan menjadi papamu. Baiklah, kalau itu keinginnamu, aku dan mama akan kembali tinggal bersama."
Bola mata emerald milik Siera lantas terbalak, gadis kecil itu kembali ceria memeluk Andrew dan berterimakasih kepada mamanya juga. Sementara Selena mengerutkan alis, untuk saat ini ia akan pura-pura mengikuti dengan senyuman di bibir, bagaimanapun kesehatan Siera yang menjadi prioritas sekarang. Namun, ia tidak akan membiarkan Andrew setelah ini.
.
.
.
Bersambubg