Aku mau mengaku dosa: Grover kutinggalkan begitu kami
sampai di terminal bus.
Iya, iya, aku tahu. Itu keterlaluan. Tapi Grover membuatku
senewen sih, menatapku seolah-olah aku ini sudah mati,
sambil menggumam "Kenapa ini selalu terjadi?" dan
"Kenapa harus selalu di kelas enam?"
Setiap kali dia gundah, kandung kemihnya kumat, jadi aku
tak heran bahwa begitu kami turun dari bus, dia memintaku
berjanji menunggunya, lalu langsung ke kamar kecil. Alih-
alih menunggu, aku mengambil koper, menyelinap ke luar,
dan naik taksi pertama ke dalam kota.
"Persimpangan East 104th dan First," kataku kepada sopir.
Aku mau bercerita sedikit tentang ibuku, sebelum kau
bertemu dengannya.
Namanya Sally Jackson, dan dia orang paling baik sedunia.
Ini membuktikan teoriku bahwa orang yang paling baik
biasanya bernasib paling jelek. Orangtuanya mati karena
kecelakaan pesawat terbang sewaktu dia berumur lima
tahun. Dia dibesarkan oleh seorang paman yang tidak terlalu
peduli kepadanya. Dia bercita-cita menjadi novelis, jadi
semasa SMA dia bekerja dan menabung gajinya, supaya bisa
kuliah di tempat yang menawarkan jurusan penulisan kreatif
yang bagus. Lalu, pamannya terkena kanker. Jadi, dia harus
berhenti bersekolah pada kelas tiga SMA, untuk merawat
pamannya itu. Setelah pamannya meninggal, dia tak punya
uang, keluarga, ataupun ijazah.
Satu-satunya nasib baik yang pernah dialaminya adalah
bertemu dengan ayahku.
Aku tak punya kenangan apa-apa soal ayahku, kecuali
semacam pendar hangat, dan mungkin kenangan samar
tentang senyumnya. Ibuku tak suka membicarakan ayahku
karena itu membuatnya sedih. Dia tak punya foto ayahku.
Ayah dan ibuku tak pernah menikah. Menurut cerita ibuku,
ayahku kaya dan orang penting, dan hubungan mereka
dirahasiakan. Lalu suatu hari, ayahku berlayar melintasi
Samudra Atlantik untuk perjalanan penting, dan tak pernah
pulang.
"Hilang di laut," kata ibuku. Bukan mati. Hilang di laut.
Ibuku bekerja serabutan, kuliah malam untuk memperoleh
ijazah SMA, dan membesarkan aku sendirian. Dia tak pernah
mengeluh atau marah. Sekali pun tak pernah. Tapi, aku tahu
aku bukan anak yang mudah ditangani.
Akhirnya, dia menikah dengan Gabe Ugliano. Lelaki itu
bersikap baik selama tiga puluh detik pertama kami
mengenalnya, lalu menunjukkan belangnya sebagai orang
berengsek tingkat dunia. Sewaktu aku masih kecil, kujuluki
dia Gabe si Bau. Sori, tapi itu benar lho. Bau badannya
seperti pizza bawang putih berjamur yang dibungkus celana
olahraga.
Kami berdua membuat hidup ibuku cukup sulit. Perlakuan
Gabe si Bau padanya, hubungan antara kami berdua …
contohnya, lihat apa yang terjadi sewaktu aku pulang.
Aku masuk ke apartemen kecil kami, berharap ibuku sudah
pulang bekerja. Ternyata, Gabe si Bau sedang di ruang
tamu, bermain poker bersama sobat-sobatnya. Televisi riuh
menayangkan saluran olahraga ESPN. Keripik dan kaleng bir
berserakan di karpet.
Hampir tanpa mengangkat kepala, dia berkata di sela-sela
cerutunya, "Kau pulang ya."
"Mana ibuku?"
"Kerja," katanya. "Punya uang, nggak?"
Hanya itu. Tanpa Selamat datang. Senang ketemu lagi.
Bagaimana hidupmu selama enam bulan terakhir?
Gabe tambah gembrot. Dia mirip beruang laut tanpa
gading yang memakai baju loak. Di kepalanya cuma ada tiga
helai rambut, disisir menutupi kepalanya yang botak, seolah-
olah itu bikin dia ganteng atau apa.
Dia mengelola Toko Besar Elektronik di Queens, tetapi dia
di rumah hampir sepanjang waktu. Aku tak tahu kenapa dia
belum dipecat sejak dulu. Dia terus saja diberi gaji,
menghabiskan uang itu untuk membeli cerutu yang bikin aku
mual, dan tentu saja untuk membeli bir. Selalu bir. Setiap
kali aku di rumah, dia mengharapkan aku menyediakan uang
taruhannya. Dia menyebutnya sebagai "rahasia cowok" di
antara kami. Maksudnya, kalau aku berani mengadu pada
ibuku, aku akan dihajar.
"Aku nggak punya uang," kataku kepadanya.
Dia mengangkat sebelah alisnya yang berminyak.
Gabe bisa mengendus uang seperti anjing pelacak,
kemampuan yang mengherankan, karena bau badannya
sendiri mestinya menutupi bau hal lainnya.
"Kau naik taksi dari stasiun bus," katanya. "Bayarnya
mungkin pakai dua puluh dolar. Pasti ada kembalian enam
atau tujuh dolar. Kalau mau tinggal di bawah atap ini, kau
harus ikut menanggung biaya hidup. Benar, nggak, Eddie?"
Eddie, pengawas gedung apartemen ini, memandangku
dengan sedikit simpati. "Sudahlah, Gabe," katanya. "Anak ini
baru sampai."
"Benar, nggak?" ulang Gabe.
Eddie merengut kepada mangkuk berisi pretzel. Kedua
lelaki lainnya kentut serentak.
"Iya deh," kataku. Aku merogoh segumpal dolar dari
kantongku dan melemparkan uang itu ke atas meja. "Mudah-
mudahan kau kalah."
"Rapormu sudah sampai, Sok Pintar!" serunya
mengikutiku. "Nggak usah sombong begitu!"
Aku membanting pintu kamarku, yang sebenarnya bukan
kamarku. Pada bulan-bulan sekolah, kamar itu menjadi
"ruang kerja" Gabe. Dia tidak mengerjakan apa-apa di sini,
selain membaca majalah mobil tua, tetapi dia senang
menjejalkan barang-barangku ke dalam lemari,
meninggalkan sepatu bot berlumpur di ambang jendela, dan
berupaya keras menjadikan tempat itu berbau seperti cerutu
dan bir basi dan kolonyenya yang busuk.
Kujatuhkan koper di atas tempat tidur. Rumahku istanaku.
Bau Gabe hampir lebih buruk daripada mimpi buruk
tentang Bu Dodds, atau bunyi gunting si nenek buah yang
memutus benang.
Tapi, begitu aku teringat hal itu, kakiku terasa lemas. Aku
ingat tampang panik Grover bagaimana dia memaksaku
berjanji bahwa aku tak akan pulang tanpa dia. Rasa dingin
tiba-tiba melanda tubuhku. Aku merasa seolah-olah
seseorang atau sesuatu sedang mencariku saat ini, mungkin
tergopoh-gopoh menaiki tangga, sementara cakarnya yang
panjang dan mengerikan itu tumbuh.
Lalu, terdengar suara ibuku. "Percy?"
Dia membuka pintu kamar, dan rasa takutku meleleh.
Ibuku bisa membuatku merasa lebih baik, hanya dengan
memasuki ruangan. Matanya berbinar dan berubah-ubah
warna dalam cahaya. Senyumnya sehangat selimut. Ada
beberapa helai uban di antara rambutnya yang cokelat
panjang, tetapi aku tak pernah menganggapnya tua. Saat
dia memandangku, rasanya seperti dia melihat semua hal
baik pada diriku, dan tak melihat satu pun yang buruk. Aku
tak pernah mendengarnya membentak atau mengucapkan
hal jahat kepada siapa pun, bahkan tidak padaku atau Gabe
sekalipun.
"Oh, Percy." Dia memelukku erat-erat. "Ibu hampir tak
percaya. Kau sudah bertambah besar sejak Natal!"
Seragam Sweet on America-nya yang berwarna merah-
putih-biru menguarkan bau hal-hal terbaik di dunia: cokelat,
permen hitam licorice akar manis, dan semua hal lain yang
dijualnya di toko permen di Grand Central. Dia
membawakanku sekantong besar "sampel gratis", seperti
yang selalu dilakukannya saat aku di rumah.
Kami duduk berdua di pinggir tempat tidur. Sementara aku
mengunyah permen masam rasa blueberry, dia membelai
rambutku dan ingin tahu segala hal yang tidak kuceritakan
dalam surat-suratku. Dia tak menyinggung-nyinggung soal
aku dikeluarkan. Dia tampak tak peduli soal itu. Tapi,
apakah aku baik-baik saja? Apakah anak kesayangannya tak
apa-apa?
Aku bilang, dia membuatku gerah dengan perhatiannya,
dan memintanya jangan dekat-dekat, tetapi dalam hati aku
benar-benar senang bertemu dengannya.
Dari kamar sebelah, Gabe berteriak, "Hei, Sally, buatkan
saus kacang!"
Aku mengertakkan gigi.
Ibuku perempuan paling baik di dunia. Semestinya dia
menikah dengan miliarder, bukan orang berengsek seperti
Gabe.
Demi dia, aku berusaha bersikap ceria atas hari-hari
terakhirku di Akademi Yancy. Kubilang aku tak terlalu
kecewa soal dikeluarkan. Kali ini aku berhasil bertahan
hampir sepanjang tahun. Aku mendapat beberapa teman
baru. Nilaiku cukup bagus dalam bahasa Latin. Dan
sejujurnya, perkelahian-perkelahian itu tidak seburuk yang
diceritakan kepala sekolah. Aku suka Akademi Yancy.
Sungguh. Aku menggambarkan tahun ajaran itu begitu
menyenangkan, aku sendiri hampir percaya. Tenggorokanku
terasa tersumbat, saat aku memikirkan Grover dan Pak
Brunner. Bahkan Nancy Bobofit tiba-tiba terasa tidak terlalu
menyebalkan.
Hingga perjalanan ke museum itu ….
"Apa?" tanya ibuku. Matanya menyentak-nyentak
nuraniku, berusaha mengorek semua rahasia. "Ada yang
membuatmu takut?"
"Nggak, Bu."
Aku merasa tak enak berbohong. Aku ingin bercerita
kepada ibuku soal Bu Dodds dan tiga nenek dengan benang,
tetapi kupikir cerita itu akan terdengar konyol.
Dia mengerucutkan bibirnya. Dia tahu aku belum
menceritakan semua, tetapi dia tidak mendesak.
"Ibu punya kejutan untukmu," katanya. "Kita akan ke
pantai."
Mataku melebar. "Montauk?"
"Tiga malam pondok yang sama."
"Kapan?"
Dia tersenyum. "Setelah Ibu ganti pakaian."
Aku tak percaya. Aku dan ibuku sudah dua musim panas
tidak ke Montauk, karena kata Gabe, uangnya tidak cukup.
Gabe muncul di pintu dan menggeram, "Saus kacang,
Sally. Kau nggak dengar, ya?"
Aku ingin menonjoknya, tetapi aku bertemu mata dengan
ibuku dan aku mengerti bahwa dia menawariku perjanjian:
bersikaplah baik kepada Gabe sebentar saja. Cuma sampai
ibuku siap berangkat ke Montauk. Setelah itu, kami bisa
pergi dari sini.
"Sebentar lagi kubuatkan, Sayang," katanya kepada Gabe.
"Kami cuma membicarakan perjalanan itu."
Mata Gabe menyipit. "Perjalanan itu? Maksudmu, kau
serius soal itu?"
"Sudah kuduga," gerutuku. "Dia tak memperbolehkan kita
pergi."
"Tentu saja boleh," kata ibuku tenang. "Ayah tirimu hanya
khawatir soal uang. Itu saja. Lagi pula," tambahnya, "Gabriel
nggak akan cuma punya saus kacang. Ibu akan
membuatkannya saus tujuh lapis cukup banyak untuk
persediaan akhir pekan. Lalu, guacamole. Krim masam.
Semuanya."
Gabe melunak sedikit. "Jadi, uang untuk perjalananmu ini
… diambil dari anggaran pakaianmu kan?"
"Iya, Sayang," kata ibuku.
"Dan kau tak akan membawa mobilku ke mana-mana,
selain ke sana lalu pulang lagi."
"Kami akan sangat berhati-hati."
Gabe menggaruk dagunya yang berlipat. "Barangkali kalau
kau bisa cepat membuat saus tujuh lapis itu …. Dan kalau
anak itu minta maaf karena mengganggu permainan
pokerku."
Mungkin kalau kau kutendang di tempat lemahmu, pikirku.
Akan membuatmu bernyanyi sopran selama seminggu.
Tapi mata ibuku memperingatkanku agar tak membuat
Gabe marah.
Kenapa ibuku bertahan dengan lelaki ini? Aku ingin
menjerit. Mengapa ibuku peduli apa pendapatnya?
"Maaf," gumamku. "Aku benar-benar menyesal,
mengganggu permainan pokermu yang sangat penting.
Silakan kembali bermain."
Mata Gabe menipis. Otaknya yang mungil barangkali
berusaha mendeteksi sarkasme dalam pernyataanku.
"Yah, terserah deh," katanya memutuskan.
Dia kembali ke permainannya. "Terima kasih, Percy," kata
ibuku. "Begitu sampai di Montauk, kita bisa mengobrol lebih
banyak soal ... apa pun yang lupa kauceritakan, oke?"
Sesaat kupikir kulihat kecemasan dalam matanya rasa
takut seperti yang kulihat dalam Grover pada perjalanan bus
seolah-olah ibuku juga merasakan udara dingin yang aneh.
Tetapi lalu dia tersenyum kembali, dan kusimpulkan aku
pasti keliru. Dia mengacak rambutku dan keluar untuk
membuatkan saus tujuh lapis untuk Gabe.
***
Sejam kemudian, kami siap berangkat.
Gabe berhenti bermain poker sebentar, cukup lama untuk
melihatku menyeret tas-tas ibuku ke dalam mobil. Dia terus
berkeluh-kesah soal kehilangan masakan ibuku dan lebih
penting lagi, Camaro '78-nya selama satu akhir pekan
penuh.
"Jangan sampai tergores sedikit pun, anak genius," dia
mengingatkanku saat aku menaikkan tas terakhir. "Satu
gores pun."
Padahal kan bukan aku yang bakal menyetir. Umurku kan
baru dua belas tahun. Tapi itu tak ada bedanya buat Gabe.
Andai seekor burung camar buang air di atas cat mobilnya,
dia pasti bisa mencari cara untuk menyalahkanku.
Saat melihatnya tersaruk-saruk kembali ke arah gedung
apartemen, aku merasa sangat marah, sehingga melakukan
sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Saat Gabe sampai ke
pintu, aku meniru gerakan tangan yang kulihat dibuat Grover
di atas bus. Gerakan itu semacam gerakan menolak bala.
Tangan membentuk cakar di atas jantung, lalu bergerak
mendorong ke arah Gabe. Pintu kawat terbanting tertutup
begitu keras, sehingga memukul pantatnya dan
membuatnya terpelanting ke atas tangga, seolah-olah dia
ditembakkan dari meriam. Mungkin sebenarnya itu cuma
angin, atau kecelakaan aneh akibat engsel, tapi aku tidak
tinggal cukup lama untuk mengetahuinya.
Aku masuk ke Camaro dan menyuruh ibuku menginjak
gas.
Pondok sewaan kami terletak di pesisir selatan, jauh di
ujung Long Island. Pondok itu berbentuk kotak kecil warna
pastel yang bertirai luntur, setengah melesak di bukit pasir.
Selalu ada pasir di dalam seprai dan laba-laba di dalam
lemari. Hampir sepanjang waktu, lautnya terlalu dingin
untuk direnangi.
Aku mencintai tempat itu.
Kami selalu ke sana sejak aku masih bayi. Ibuku sudah
sering ke sana sebelum itu. Dia tak pernah benar-benar
mengatakannya, tapi aku tahu kenapa pantai itu istimewa
baginya. Di sanalah dia bertemu dengan ayahku.
Semakin dekat kami ke Montauk, dia seolah-olah semakin
muda, tahun-tahun penuh kecemasan dan kerja keras pupus
dari wajahnya. Matanya berubah menjadi sewarna laut.
Kami sampai saat matahari terbenam, lalu membuka
semua jendela pondok, dan membersihkan pondok itu,
sesuatu yang rutin kami kerjakan. Kami berjalan-jalan di
pantai, memberi makan keripik jagung warna biru kepada
burung camar, dan mengunyah permen jelly bean warna
biru, gula-gula saltwater taffy warna biru, dan semua sampel
gratis lain yang dibawa ibuku dari tempat kerja.
Mungkin sebaiknya kujelaskan soal makanan biru itu.
Jadi, begini. Gabe pernah berkata kepada ibuku, bahwa
makanan berwarna biru itu tak ada. Mereka bertengkar,
yang waktu itu sepertinya cuma cekcok kecil. Namun, sejak
saat itu, ibuku sengaja makan makanan biru. Dia membuat
kue ulang tahun warna biru. Dia mencampur minuman
smoothie dengan blueberry. Dia membeli keripik tortilla
jagung warna biru dan membawa pulang permen warna biru
dari toko. Ini termasuk mempertahankan nama gadisnya,
Jackson, dan tidak menyebut dirinya Ny. Ugliano adalah
bukti bahwa dia tidak sepenuhnya diperdaya Gabe. Dia
memiliki sikap pemberontak, seperti aku.
Saat hari sudah gelap, kami membuat api unggun. Kami
memanggang sosis dan marshmallow. Ibuku bercerita
tentang masa kecilnya, sebelum orangtuanya meninggal
dalam kecelakaan pesawat. Dia bercerita tentang buku-buku
yang ingin ditulisnya suatu hari nanti, setelah dia punya
cukup uang untuk berhenti bekerja di toko permen.
Akhirnya, aku memberanikan diri menanyakan sesuatu
yang selalu kupikirkan setiap kali kami datang ke Montauk
ayahku. Mata Ibu langsung berkaca-kaca. Kupikir, dia akan
menceritakan hal-hal yang sama seperti biasa, tetapi aku tak
pernah bosan mendengarnya.
"Dia baik hati, Percy," katanya. "Jangkung, tampan, dan
berkuasa. Tapi juga lembut. Kau mewarisi rambut hitamnya,
dan mata hijaunya."
Ibu merogoh permen jelly biru dari kantong permennya.
"Andai saja dia bisa melihatmu, Percy. Dia tentu sangat
bangga."
Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa berkata seperti
itu. Apa hebatnya aku? Anak yang hiperaktif, mengidap
disleksia, mendapat rapor D+, dikeluarkan dari sekolah
keenam kalinya dalam enam tahun.
"Berapa umurku waktu itu?" tanyaku. "Maksudku … waktu
dia pergi?"
Ibuku menatap lidah-lidah api. "Dia hanya bersama Ibu
selama satu musim panas, Percy. Tepat di pantai ini. Pondok
ini."
"Tapi … dia kenal aku sewaktu aku bayi."
"Tidak, Sayang. Dia tahu Ibu hamil, tapi dia tak pernah
melihatmu. Dia harus pergi sebelum kau lahir."
Aku berusaha mencocokkan itu dengan kenyataan bahwa
aku rasanya ingat ... sesuatu tentang ayahku. Pendar
hangat. Senyum.
Selama ini aku berasumsi bahwa dia kenal aku sewaktu
aku bayi. Ibuku memang tak pernah berkata begitu, tetapi
tetap saja aku merasa itu pasti benar. Sekarang, diberi tahu
bahwa dia bahkan tak pernah melihatku ….
Aku marah pada ayahku. Mungkin itu bodoh, tapi aku
sebal padanya karena berlayar ke samudra, karena dia tak
punya nyali untuk menikahi ibuku. Dia meninggalkan kami,
dan sekarang kami terpaksa menerima Gabe si Bau.
"Apa Ibu akan menyuruhku pergi lagi?" tanyaku
kepadanya. "Ke sekolah asrama lain?"
Dia menarik sebutir marshmallow dari api.
"Entahlah, Sayang." Suaranya berat. "Ibu rasa … Ibu rasa
kita harus melakukan sesuatu."
"Karena Ibu nggak ingin aku di dekat Ibu?" Aku menyesali
kata-kata itu begitu terucap.
Mata ibuku berlinang air mata. Dia meraih tanganku,
meremasnya erat-erat. "Oh, Percy, bukan. Ibu Ibu terpaksa,
Sayang. Demi kebaikanmu sendiri. Ibu harus menyuruhmu
pergi."
Kata-katanya mengingatkan aku pada perkataan Pak
Brunner bahwa pilihan terbaik bagiku adalah meninggalkan
Yancy.
"Karena aku nggak normal," kataku.
"Kau menyebutkan hal itu seolah-olah itu hal yang buruk,
Percy. Tapi kau tak sadar, betapa penting dirimu. Ibu
menyangka Akademi Yancy itu cukup jauh. Ibu menyangka
kau akhirnya aman."
"Aman dari apa?"
Dia memandang mataku, dan ingatan masa lalu pun
membanjir. Semua keanehan menakutkan yang pernah
terjadi padaku, yang sebagian telah kucoba kulupakan.
Sewaktu aku kelas tiga, seorang lelaki berjas hujan hitam
menguntitku di taman bermain. Ketika para guru
mengancam akan memanggil polisi, dia pergi sambil
menggeram, tetapi tak ada yang percaya saat aku berkata
bahwa di bawah topinya yang lebar, lelaki itu hanya bermata
satu, pas di tengah-tengah kepalanya.
Sebelum itu ingatan yang sangat awal. Aku masih di
prasekolah, dan seorang guru tak sengaja membaringkanku
untuk tidur siang di sebuah ranjang yang telah dimasuki
seekor ular. Ibuku menjerit ketika dia datang menjemput
dan menemukanku bermain dengan "tali" bersisik yang
lemas. Entah bagaimana, ular itu telah kucekik hingga mati
dengan tangan mungilku yang gempal.
Di setiap sekolah selalu terjadi sesuatu yang
menyeramkan, sesuatu yang tak aman, dan aku terpaksa
pindah.
Aku tahu aku semestinya bercerita kepada ibuku tentang
ketiga nenek di kios buah, dan Bu Dodds di museum seni,
tentang halusinasi anehku bahwa aku menebas guru
matematikaku menjadi debu dengan pedang. Tapi, aku tak
sanggup memberitahunya. Aku punya firasat aneh bahwa
berita itu akan mengakhiri liburan kami di Montauk, dan aku
tak ingin itu terjadi.
"Ibu berusaha agar kau sedekat mungkin dengan Ibu,"
katanya. "Mereka bilang itu tindakan yang keliru. Tapi hanya
ada satu pilihan lain, Percy ayahmu ingin mengirimmu ke
satu tempat lain. Dan Ibu … pokoknya Ibu tak sanggup
melakukannya."
"Ayahku ingin aku ke sekolah khusus?"
"Bukan sekolah," katanya lirih. "Perkemahan musim
panas."
Kepalaku berputar. Mengapa ayahku yang bahkan tidak
tinggal cukup untuk melihatku dilahirkan membicarakan
perkemahan musim panas dengan ibuku? Dan jika itu sangat
penting, mengapa ibuku tak pernah menyebut-nyebutnya
sebelum ini?
"Maaf, Percy," katanya ketika melihat tatapan mataku.
"Tapi Ibu tak bisa membicarakan itu. Ibu—Ibu tak bisa
mengirimmu ke tempat itu. Itu bisa berarti berpisah
denganmu selamanya."
"Selamanya? Tapi kalau tempat itu cuma perkemahan
musim panas …."
Dia berpaling ke api, dan aku tahu dari raut wajahnya
bahwa jika aku bertanya lagi, dia akan mulai menangis.
***
Malam itu aku bermimpi jelas sekali.
Badai melanda pantai. Dua ekor hewan yang cantik,
seekor kuda putih dan seekor elang emas, sedang berusaha
saling membunuh di tepi ombak. Si elang menukik dan
menyabet moncong kuda itu dengan cakarnya yang besar. Si
kuda mengangkat kaki dan menendang sayap si elang.
Sementara mereka bertempur, tanah menggemuruh. Ada
suara monster terkekeh di suatu tempat di bawah
permukaan tanah, mendorong agar kedua hewan itu
berkelahi lebih sengit.
Aku berlari ke arah mereka. Aku tahu bahwa aku harus
mencegah mereka saling membunuh, tetapi gerakanku
lambat. Aku tahu aku akan terlambat. Kulihat elang itu
menukik, paruhnya ditujukan ke mata kuda yang
membelalak, dan aku menjerit, Jangan!
Aku tersentak bangun.
Di luar pondok, badai memang melanda, jenis badai yang
menumbangkan pohon dan meruntuhkan rumah. Di pantai
tak ada kuda atau elang, hanya kilat yang menerangi sesaat,
dan ombak setinggi enam meter yang berdebur di bukit-
bukit pasir seperti artileri.
Pada guntur berikutnya, ibuku terbangun. Dia duduk
dengan matanya terbelalak, dan berkata, "Topan."
Aku tahu itu gila. Long Island tak pernah mengalami topan
seawal ini dalam musim panas. Tetapi, samudra tampaknya
telah lupa. Mengatasi gemuruh angin, terdengar seruan di
kejauhan, bunyi marah penuh derita yang membuat bulu
kudukku berdiri.
Lalu, bunyi yang jauh lebih dekat, seperti palu pada pasir.
Suara putus asa seseorang berteriak, menggedor-gedor
pintu pondok kami.
Ibuku melompat turun dari tempat tidur, hanya berdaster,
dan membuka kunci pintu.
Grover berdiri berbingkai pintu, dengan latar hujan deras.
Tetapi dia bukan … dia bukan benar-benar Grover.
"Kucari semalaman," dengapnya. "Apa sih maumu?"
Ibuku memandangku ngeri bukan takut pada Grover,
tetapi pada alasan kedatangannya.
"Percy," katanya sambil berteriak, agar suaranya bisa
mengalahkan suara hujan. "Apa yang terjadi di sekolah? Apa
yang tidak kauceritakan kepada Ibu?"
Aku membeku, memandang Grover. Aku tak mengerti apa
yang kulihat.
"O Zeu kai alloi theoi!" serunya. "Dia tak jauh di
belakangku! Kau tidak cerita ke ibumu?"
Aku terlalu kaget sehingga tak menyadari bahwa dia baru
saja mengumpat dalam bahasa Yunani Kuno, dan aku
memahaminya dengan sempurna. Aku terlalu kaget
sehingga tak mempertanyakan bagaimana Grover bisa
sampai ke sini sendirian, tengah malam. Karena Grover tidak
bercelana dan di tempat yang semestinya ada kakinya … di
tempat yang semestinya ada kakinya ….
Ibuku menatapku tegas dan berbicara dengan nada yang
belum pernah digunakannya: "Percy. Ceritakan pada Ibu
sekarang!"
Aku terbata-bata bercerita tentang nenek-nenek di kios
buah, dan Bu Dodds. Ibuku menatapku, wajahnya pucat pasi
dalam sambaran kilat.
Dia menyambar tasnya, melemparkan jas hujan kepadaku,
dan berkata, "Masuk ke mobil. Kalian berdua. Ayo!"
Grover berlari ke Camaro tetapi dia bukan berlari betulan.
Dia berderap, menggoyang kaki belakangnya yang berbulu,
dan tiba-tiba cerita Grover tentang gangguan otot di kakinya
menjadi masuk akal bagiku. Aku mengerti bagaimana dia
bisa berlari begitu cepat dan tetap pincang saat berjalan.
Karena di tempat yang semestinya ada kaki, tak ada kaki.
Yang ada adalah kaki hewan yang berkuku belah.