webnovel

Penyihir Jenius

Melihat nyonya Genia harus mendengarkan semua curhatan nyonya Felina mengenai anak-anak laki-lakinya, Aria sebenarnya hampir kasihan dan ingin menolongnya. Tapi masalahnya… Situasinya sendiri juga tidak terlalu berbeda.

Karena entah kenapa, perempuan yang memakai parfum beraroma jeruk itu terus saja menempelinya. "Wah, jadi kau adalah penjual obat ya? Dan kau juga baru sampai di sini kemarin? Memangnya kau berasal dari mana?" Kata Elena yang sudah melemparkan tujuh pertanyaan pada Aria.

"...Namanya kota Mileo." Balas Aria seadanya. "Itu adalah kota yang kecil, jadi anda mungkin tidak pernah mendengarnya."

"Kenapa? Tentu saja Aku tahu kota itu." Balas Elena. "Aku kenal seseorang di sana, jadi kadang Aku juga suka berkunjung ke sana. Bukankah di sana terkenal dengan permennya?"

"Hm… Saya rasa?"

"Kau tidak perlu bicara seformal itu padaku, kau tahu. Kelihatannya kita juga seumuran." Balas Elena kemudian. "Kau bisa memanggilku Elena saja." Tambahnya.

Tapi karena perempuan di depannya malah terlihat diam dengan kikuk, Elena pun tekekeh pelan dan kembali bicara. "Terus, setelah ini memangnya kau mau ke mana? Jangan bilang kau akan tinggal di kota ini?"

"Eh, ah, rencananya saya akan pergi ke ibukota."

"..." Tapi sembari terdiam, Elena malah kelihatan melebarkan senyumnya dengan mencurigakan, dan agak menakutkan. Bahkan Aria juga jadi agak kikuk melihatnya. "No-Nona Elena?"

Berusaha mengatur isi hatinya, Elena pun berusaha menurunkan lekukan bibirnya sejenak. "Ah, bukan apa-apa. Lalu apa kau sudah punya rencana apa yang akan kau lakukan setelah sampai di sana?"

"...Saya masih memikirkannya." Jawab Aria yang terpaksa berbohong.

"Kalau begitu--"

"Elena!" Panggil nyonya Felina kemudian. "Apa kau sudah selesai pilih bajunya? Ayo kita kembali sekarang." Katanya.

Elena sedikit menyayangkan panggilan itu. Tapi karena dia juga punya urusan lain, dia pun menurut dan memandang ke arah Aria untuk yang terakhir kalinya. "Sayang sekali ya, sepertinya Aku harus pergi sekarang." Katanya.

"Iya. Saya sangat senang bertemu dengan anda." Balas Aria sambil membungkuk pelan.

Elena sempat terdiam lagi, tapi kemudian dia membalas. "Aku juga sebenarnya tinggal di ibukota, kau tahu. Walaupun rencananya Aku baru akan kembali minggu depan." Katanya lagi sembari merogoh sesuatu dari gaunnya.

Dan ternyata Elena mengeluarkan sebuah emblem kayu dengan pahatan bunga mawar di depannya. Aria tidak mengenali logo itu, tapi dia tahu kalau itu adalah emblem yang biasanya hanya dimiliki oleh keluarga bangsawan kelas atas. Sama seperti yang dimiliki Rei.

"Jadi kalau kau belum punya rencana atau butuh sesuatu, datang saja ke kediamanku." Lanjut Elena sambil memberikan emblem itu pada Aria. "Bagaimanapun tempatku selalu terbuka untuk penyihir sepertimu."

"..." Aria sudah menduga kalau Elena pasti juga menyadarinya. Tapi karena kaget dengan hal-hal lain, dia malah terdiam sehingga Elena sendiri yang harus menarik tangan Aria untuk memberikan emblem itu.

"Kalau begitu sampai ketemu lagi." Kata Elena sambil mulai melambai pergi. "Semoga saja tidak terlalu lama."

Dan akhirnya kedua penyihir itu pun berpisah.

Tapi selagi Aria masih memandangi emblem di tangannya, ternyata nyonya Genia sudah menghampirinya lagi. "Dia pasti lumayan menyukaimu kalau dia sampai memberikan itu." Katanya.

Menoleh, Aria pun bertanya. "Nona Elena sebenarnya siapa?"

"Yah, kudengar dia punya julukan yang agak banyak." Balas nyonya Genia yang agak mendesah pelan. "Tapi kalau mau pilih satu, mungkin penyihir paling jenius di kerajaan?"

"Penyihir… Paling jenius?" Ulang Aria dengan mulut terbuka. Dia memang sudah merasa kalau Elena punya aura sihir yang khusus. Tapi kalau disebut 'paling', apa itu artinya perempuan itu lebih hebat daripada Rei?

"Apa kau tahu Luxen?" Kata nyonya Genia lagi. "Dia adalah anggota termuda di sana. Bahkan kabarnya dia juga akan naik tingkat jadi anggota eksekutif."

Tapi saat menyadari Aria masih saja memasang wajah kaget, nyonya Genia malah jadi merasa aneh juga sudah menjawab semua itu. Sehingga akhirnya dia cuma mengangkat bahunya dan berjalan pergi. "Yah, kalau kau penasaran tanya saja sama Rei."