"Ini sedikit merepotkan." Nino meringis, rasa sakit pada sudut bibirnya baru terasa sekarang. Perasaan menggebu-gebu ingin membunuh musuhnya sudah sirna karena memang sudah tercapai, jadilah baru sekarang ia merasakan sakitnya. Nino merasakan sesuatu bergetar di kantong jeansnya. Sebuah pesan dari Vanila yang sukses membuat senyumnya merekah. Nino membaca pesan singkat tersebut dengan hati-hati, bahkan lupa kalau ia berada di gudang yang dipenuhi bau anyir akibat perbuatannya. "Oh, dia manis sekali."
Nino meludah pada salah satu lawannya yang tergeletak tak berdaya di lantai. Nino meringis lagi kala mendapati darah yang juga melengkapi ludahnya, menjijikkan. Alhasil, Nino berlari keluar dari gudang itu lantas memasuki mobilnya yang terparkir di parkiran luas. Hanya mobilnya yang berada di sana, cukup bisa dipahami sebab gudang itu tak ada yang menjaga karena dinilai angker.
"Ah, gila." Nino melepaskan jaketnya yang dipenuhi darah dan membuangnya keluar jendela mobil begitu saja. Seusai itu, ia menelepon salah satu anak buahnya. "Kau cepat tanggap juga. Kebetulan aku sedang buru-buru. Tolong bereskan jejak yang ada di sini. Aku kirimkan lokasinya sekarang. Aku akan berikan banyak bonus kalau kau melakukannya dengan cepat."
"Saya paham. Saya akan membuat anda puas dengan hasilnya, tenang saja." Anak buah yang dikenal Nino bernama Reno itu menyahut dengan nada bicara yang dingin. "Anda bisa menikmati waktu anda."
Puas dengan jawaban tersebut, Mino memutus sambungan dan mengirimkan lokasinya yang terkini. Kemudian, Nino melajukan mobil sport kesayangannya menuju ke rumah. Lelaki itu tidak sabar menemui Vanila, gadis yang sudah ia tandai miliknya sejak awal bertemu.
Tentu tidak sulit bagi Nino untuk berkendara dengan cepat. Toh, jalanan cukup lengang karena telah tengah malam. Nino langsung memasuki rumahnya kemudian mengetuk pintu kamar Vanila begitu tiba. Nino menarik napas panjang, napasnya sedikit tidak beraturan akibat lelah dan banyak pembantai yang mengharuskannya menggunakan teknik beladirinya yang terlatih.
"Ada apa dengan--" Vanila menghentikan ucapannya, tampak khawatir sekali tatkala menemukan wajah Nino dipenuhi lebam yang mengerikan. Sudut bibir lelaki itu juga berdarah. "Kau... astaga, kau terluka."
"Tidak. Tidak apa-apa." Nino memasang senyum meyakinkan. Tanpa diduga, ia menarik tubuh mungil Vanila dalam pelukannya. "Kau harus terbiasa menghadapi aku yang begini, ya. Aku selalu tampak mengerikan, tapi tolong jangan memandangku jijik."
"Tidak akan, kok." Vanila membalas pelukan Nino dengan turut melingkarkan tangannya di perut lelaki itu. Tangannya bergerak mengusap bagian belakang tubuh Nino. "Aku juga kagum, soalnya wangimu masih sama padahal sudah malam begini. Mau kubantu mengobati, tidak?"
"Aku akan minta Bi Risa saja. Habisnya, aku tidak suka merepotkanmu," bisik Nino pelan. Suaranya terdengar parau dan malah menimbulkan kesan seksi. "Kamu bilang merindukan aku, kan? Aku sudah di sini, nih. Mau melakukan sesuatu yang menyenangkan?"
"Hmm, aku sangat rindu. Sampai tidak bisa tidur," kata Vanila dengan jujur. Ia merasa nyaman kala kepalanya bersandar di dada bidang milik Nino. "Kenapa lama sekali, sih? Aku masih belum tahu pekerjaanmu apa, jadi aku khawatir sekali. Kupikir terjadi sesuatu. Sesuatu menyenangkan macam apa?"
Vanila pikir Nino akan meminta sesuatu yang mesum, sehingga cara bicaranya terdengar sedikit takut di akhir. Namun, Nino malah bergumam, "Ayo main game. It's been a while since I have a friend to play a game. I have play station, would you play with me?"
"Oh, oke. Ayo memainkannya." Dengan gerakan pelan, Vanila melepaskan diri dan menatap Nino dengan tatapan hangat. "Aku cukup jago, lho. Jangan menangis kalau kalah, ya?"
"Aku juga jago," kata Nino dengan mantap. Sejurus kemudian, tatapannya berubah sendu. "Hei, kalau kuberitahu tentang pekerjaanku... apa kamu gak akan jijik?"
"Tidak. Dunia ini memang sudah hancur, aku percaya begitu." Vanila tersenyum miris. "Termasuk keluargaku. Memang mengerikan dan sepertinya Tuhan terlalu sering memainkan hidup manusia. Aku... ya, tidak suka itu. Aku tidak suka sistem dunia yang begini."
"Syukurlah." Nino menghela napas lega. "Aku pembunuh bayaran. Tadinya, kau salah satu targetku, tetapi kurasa kau menarik."
"Hah?" Vanila mengerjap, bukannya terkejut karena pekerjaan Nino. Ia malah bisa menerima itu. Yang mengejutkan karena Nino baru saja mengatakan bahwa dirinya menarik. "Apa yang menarik dariku? Sepertinya biasa saja."
"Mata yang seperti oasis." Nino menelan ludahnya sendiri seraya memandang lekat sepasang mata indah milik Vanila. "Seolah-olah menyuruhku untuk tinggal memandangmu lebih lama. Sendu, tetapi tetap indah. Aku bisa menemukan sorot penuh luka dan aku benci itu. Mengingatkanku pada diriku di masa lampau, lemah dan hanya bisa menahan sakit."
"Begitu, ya." Vanila menyengir canggung. "Aku, ya... jadi sedikit tersanjung. Yang tadi betulan puitis."
"Bakatku sebagai penulis lirik belum hilang, sih." Nino terkekeh lantas mengusap-usap pipi Vanila. Puas memandang gadis itu, ia mulai berdiri di sampingnya dan melingkarkan tangannya di pinggang gadis yang memakai piyama berwarna merah jambu tersebut. "Jadi, ayo. Temani aku bermain game."
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Nanti saja," kata Nino santai, tetapi pada akhirnya ia meringis kesakitan. "Rupanya betulan sakit. Tidak apa-apa, kok. Aku bisa tahan kalau bersamamu."
"Kamu ini, benar-benar...." Sebuah kekehan geli terdengar begitu saja. Mampu mengirimkan gejolak aneh di dada Nino yang mendengarnya. "Aku tidak tahu kenapa kau begitu romantis, walau kita baru pertama ini bertemu dan ngobrol banyak. Tapi, ya, harus kuakui. Aku senang. Bersamamu aku senang, Nino."
"Itu karena kamu indah," gumam Nino. Ia menghentikan sejenak langkahnya, menoleh pada Vanila dan memandangnya lama. Lama sekali, sampai Vanila tidak bisa menahan ekspresi malu-malu yang muncul begitu saja. "Kamu menggemaskan, sumpah. Aku tidak tahu mau menghadapi bagaimana, rasanya, ingin kulihat semua raut bahagia darimu."
***
Vanila mengusap-usap pipi Nino. Lelaki itu tertidur di sisinya setelah lelah bermain game juga mendapat sedikit pengobatan dari pelayan yang sebenarnya telah tidur. Vanila agak kasihan karena pelayan itu harus mengobati Nino dalam keadaan mengantuk, tetapi Nino nyatanya menunjukkan ekspresi biasa saja kala pelayannya yang cukup cantik mengobatinya.
Vanila terus terbayang saat di mana ia bermain game dengan Nino tadi. Momen paling indah selama hidupnya. Nino banyak tertipu dan Vanila banyak tertawa, ekspresi bingung lelaki itu betul-betul menggemaskan walaupun wajahnya tercipta begitu maskulin. Itu lucu, Vanila ingin mengulang momen itu sekarang.
"Selamat tidur." Sebagai akhir dari kegiatannya memandangi dan memuaskan diri dengan mengusap wajah Nino pelan, Vanila mengecup pipi Nino singkat. Setelahnya, Vanila ikut berbaring dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dengan Nino. "Aku boleh memelukmu, kan?"
"Kemari." Nino menarik tubuh Vanila mendekat dan memeluknya erat. Suara lelaki itu terdengar parau dan menyenangkan untuk didengarkan terus-terusan. "Aku yang akan memelukmu."
Vanila diam saja, menikmati rasa hangat yang melingkupi tubuhnya. Vanila menenggelamkan kepalanya di dada Nino, mengendus bau parfum maskulin dari lelaki yang telah mengganti bajunya menjadi piyama tersebut selama yang dia mau. Untunglah, Nino kembali tidur dengan dengkuran halus yang terdengar seksi di telinga Vanila. Hanya mereka berdua dan itu menyenangkan.
"Aku boleh menganggapmu lelaki milikku, kan? Aku sudah jatuh pada pesonamu," gumam Vanila.
Tentunya tidak mendapat balasan. Nino telah kelewat nyaman dalam tidurnya, mungkin bermimpi sesuatu yang indah sebab wajahnya tampak damai.
"Oke, aku menganggapnya iya."
Vanila mungkin sudah gila. Sejak awal ingin bunuh diri pun, gadis itu memang telah gila. Ia mendambakan kasih sayang dan saat mendapatkannya dari sosok lelaki tampan, tentu, ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Kalau perlu, ia akan melakukan segalanya agar bertahan dalam posisi paling nyaman dalam hidupnya ini. Seperti ini saja cukup, gadis itu tidak mau merasakan pusing lagi akibat makian orang tuanya atau malah tiap barang yang sengaja dilempar ke arahnya oleh ayahnya.
Tidur dengan nyaman hingga mendapati Nino tidur di sisinya merupakan momen terindah bagi Vanila. Tidak seperti kemarin, Nino juga bangun saat Vanila mulai menggeliat menjauh dari pelukannya. Vanila membuka matanya dan buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk sedang kaki dalam keadaan lurus ke depan.
"Kamu tidak bekerja?" Vanila mengalihkan pandangan pada Nino. Lelaki itu masih menutup matanya, seolah enggan bangun. "Kemarin kamu bekerja agak siang sampai tengah malam, apa hari ini tidak?"
"Tidak. Belum ada target juga," gumam Nino dengan suara paraunya, masih enggan buka mata barang sekejap. "Ayo, tidur lagi. Sini, mau aku peluk."
"Memangnya aku bakal dapat apa kalau menuruti ucapanmu?" tanya Vanila dengan nada bicara yang terdengar sedikit menggoda. Padahal jelas, tampangnya kelihatan lugu dan sama sekali tidak tampak seperti gadis penggoda.
"Aku akan membawamu berjalan-jalan dan akan membuatmu kuat. Bukan kuat dalam hal sekadar memendam rasa sakit, tetapi kekuatan fisik." Beda dari sebelumnya, kini Nino mengatakannya dengan mantap walau tetap terdengar parau. "Tertarik, kan?"
"Bagaimana, ya?" Vanila berpikir sejenak sembari memandang sebuah rak buku di sudut kamar ini. "Itu lumayan menarik."
"Just say yes, babe." Nino membuka matanya perlahan, tampak sangat seksi namun Vanila tidak menyaksikannya. Lelaki itu segera mengubah posisinya menjadi duduk lantas memeluk Vanila dari belakang sebelum gadisnya itu tersadar. "Kamu tahu, itu akan selalu menarik. Selama kamu bersama denganku, tentu saja."
"Then, okay."
"Good choice," ujar Nino, mempertahankan posisinya. Ia senang memeluk gadisnya, melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu serta menyandarkan kepalanya pada punggung Vanila. Terlalu nyaman, Nino sampai terlena, enggan untuk sekadar menegakkan kembali kepalanya. Punggung Vanila menjadi tempat ternyaman baginya bersadandar. "Aku benar-benar suka memelukmu. Kamu ini pakai apa, sih, sampai aku merasa sebegini nyamannya di dekatmu?"
"Aku pakai sabun mandi. Ah, aku lupa mereknya. Tapi, menurut ibuku, sabun itu yang terbaik. Aku menyuruh pelayan membelinya untuk stok di sini buatku," jelas Vanila, sama sekali tak menyadari jika Nino sebetulnya hanya ingin berkata manis. "Oh, atau mungkin pengaruh baju, sih. Semua piyama yang ada di rumah ini benar-benar nyaman dipakai, mungkin kamu nyaman memelukku karena piyama yang kukenakan?"
"Bukan," kata Nino, perasaannya sedikit tergelitik. Vanila memang kelewat lugu, tapi itulah daya tariknya. "Itu karena kamu adalah kamu, Sayang. Itu bagian pentingnya. Gak pakai apapun juga kamu bakal indah di mataku, sebab ini kamu."
"Kalau bukan aku, apa beda?" tanya Vanila.
"Tentu saja," jawab Nino, matanya terpejam. "Aku kurang paham perasaanku, tetapi kamu membuatku nyaman. Itu saja."
"Apa karena mataku yang seperti oasis?" tanya Vanila, kembali teringat pernyataan Nino kemarin kala menatapnya lamat-lamat. Sebetulnya, gadis itu merasa punggungnya agak sakit, tetapi menahannya karena Nino amat nyaman bersandar di sana. "Bagaimana kalau sorotnya berubah?"
"Itu hanya salah satunya," kata Nino. "Aku suka semuanya darimu."
Vanila menghela napas, perasaannya menghangat saat itu juga. Namun, rasa sakit di punggungnya membuatnya meringis tanpa sadar.
"Ada apa?" tanya Nino, peka begitu mendengar Vanila meringis.
"Punggungku... yah, agak sakit. Tapi nggak masalah. Bersandarlah sepuasmu," kata Vanila pelan.
"Harusnya kamu mengatakannya lebih awal." Nino segera menegakkan posisinya. Tatapannya menjadi sendu kala menatap punggung Vanila. "Apa... ada luka? Boleh coba kulihat?"
"Nggak perlu." Vanila menolak secepat mungkin. "Nggak ada masalah, aku cuman agak lelah."
"Baiklah." Nino menghela napas, ia tahu bahwa Vanila mungkin sungkan padanya saat ini. Ia pun enggan bertanya lebih jauh dan mengorek luka masa lalu gadisnya itu. "Omong-omong, kita akan jalan-jalan malam nanti. Bukankah kamu lapar sekarang? Akan kubuatkan sesuatu."
***