webnovel

Penjara Cinta Sang Presdir

[TAMAT] 21+ Harap bijak dalam membaca Vol 1* Haruna Azhar, gadis berusia tiga puluh tahun yang telah dikurung oleh seorang Presdir muda yang arogant. Saat pertama kali Haruna bertemu dengan sang Presdir, Haruna telah menyinggung perasaannya. Rupanya itu adalah awal penderitaan yang akan Haruna hadapi. Demi melindungi keluarganya, Haruna rela menjadi jaminan dan tinggal di rumah sang Presdir. Perlahan-lahan, sang Presdir mulai tertarik dan jatuh cinta. Apa Haruna bisa jatuh cinta pada Presdir? Di saat hatinya terus menerus terluka dan disakiti sang Presdir. Mungkinkah cinta dapat tumbuh di hatinya? Vol 2* vol2* Syahera telah membuka hatinya untuk Rendi. Namun, gadis itu tetap menolak ketika diajak menikah. Apa alasannya bisa diterima oleh Rendi? Di saat hubungannya dengan Rendi bermasalah, cinta pertamanya kembali hadir. Kenandra yang kehilangan ingatan, kembali dengan kenangan yang telah pulih. Ia kembali mengejar cinta Syahera. Siapa yang akan dipilih oleh Syasya untuk menjadi pendamping hidup? Simak ceritanya lengkapnya, masih di sini. Follow Instagram penulis @seka.r214 Facebook Sekar Laveina

Sekar_Laveina_6611 · Urbain
Pas assez d’évaluations
392 Chs

Bersandiwara

Sore hari, Haruna sudah mandi serta berdandan rapi. Ia ingin mencoba saran yang Sinta berikan. Jika hari ini ia berhasil, maka ia akan berusaha keras merayu Tristan agar bisa melepaskannya kembali ke rumah Kamal.

"Non, apa Non membutuhkan sesuatu?" tanya Yuli.

"Tidak ada, terima kasih," jawab Haruna.

Pelayan itu memperhatikan Haruna dari bawah sampai ke atas. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilan Haruna. Pelayan itu tanpa sadar bergumam sambil tersenyum.

"Wah, cantik sekali. Pantas saja, Tuan Tristan tergila-gila," gumamnya.

"Benarkah?" tanya Haruna dengan senyum malu-malu yang menghias bibir merahnya. Ia memoleskan bedak di wajahnya sedikit. Ia juga memakai lipstik yang diberikan Sinta padanya. Haruna tidak membawa apapun dari rumahnya karena Tristan tidak mengizinkannya. 

Semua kebutuhan Haruna sudah disiapkan dalam kamar oleh Tristan, tetapi Tristan tidak menyiapkan kosmetik. Jadi Haruna meminjam kosmetik dari Sinta. Sebenarnya Sinta memberikan itu padanya, tetapi Haruna tidak mau menerimanya. Bukan bermaksud sombong atau menyinggung. Kosmetik itu bukan merek kosmetik yang biasa Haruna pakai. Kulit wajah Haruna sedikit sensitif, ia akan mengalami alergi jika memakainya terlalu serin. Untuk malam ini saja ia memakainya, ia akan mencoba merayu Tristan untuk mengajaknya keluar membeli kosmetik.

***

Tristan mendapat telepon dari pengawal yang menjaga gerbang rumah Tristan. Pengawal itu melaporkan kalau haruna sudah dua kali mondar mandir di halaman rumah. Tristan yang harusnya pergi menghadiri acara makan malam perusahaan, tiba-tiba berubah pikiran dan menyuruh sopir untuk putar arah.

"Tidak usah ke hotel grand, pulang saja," suruh Tristan.

"Baik, Tuan. Lalu, Tuan Levi bagaimana?" tanya sopir.

"Biar saya yang mengirim pesan," jawab Tristan.

Sopir pun tidak lagi bertanya. Ia melaju secepat mungkin karena Tristan ingin cepat sampai di rumah. Tristan curiga kalau Haruna berencana melarikan diri. Sepanjang perjalanan, ia merasa gelisah. Apalagi tadi pagi Haruna sempat berbicara dengan kakaknya di telepon. Tristan takut kalau Chris akan membawa Haruna pergi darinya. Meskipun ia belum yakin dengan perasaannya pada Haruna. Namun, perasaan takut kehilangan itu tergambar jelas di wajahnya.

Waktu lima belas menit perjalanan itu terasa sangat lama bagi Tristan. Sejak ada Haruna di rumahnya, ia jarang sekali keluyuran setelah pulang bekerja. Tentunya sebuah kedamaian juga bagi Levi karena ia bisa segera pulang dan beristirahat. Tristan pun demikian, biasanya ia merasa jenuh jika di rumah sore-sore. Namun, kehadiran Haruna membuat waktu di rumah terasa cepat berlalu. 

DI kamar, Haruna sudah mendengar suara mobil Tristan. 

"Saatnya pertunjukan. Bu Sin, siap jadi artis?" tanya Haruna sambil tersenyum lebar.

"Siap," jawab Sinta sambil mengangkat jempolnya.

Tap! Tap! Tap!

Terdengar langkah cepat seseorang yang sedang menaiki anak tangga. Haruna yakin, itu pasti Tristan. Ia menghirup napas dalam sebelum mulai bersandiwara bersama Sinta.

"Terima kasih, Bu Sin, tapi kosmetik ini tidak cocok dengan kulit saya," ucap Haruna sambil melirik sekilas ke arah pintu.

Tristan berdiri di depan pintu dan mendengar obrolan Sinta dan Haruna.

"Tapi, tadi, Non bilang. Itu, Non tidak punya perlengkapan make-up," ucap Sinta.

Mereka berdua sengaja mengobrol dengan suara yang sedikit keras agar didengar oleh Tristan. Ya, mereka berhasil. Tristan memang mendengarkan mereka. Ia berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia tersenyum mendengar Haruna mau mengobrol dengan gembira bersama Sinta. Selama Haruna dikurung, ia tidak  terlihat mau berbicara pada siapapun di rumah Tristan. Sepertinya, Tristan pikir Haruna sudah mulai terbiasa tinggal di rumahnya dan mulai betah.

"Iya, itu karena si brengsek, majikan Ibu. Dia tidak mengizinkan saya membawa apapun dari rumah. Andai saja saya bisa keluar, satu jam saja. Saya mau pergi beli kosmetik," ucap haruna dengan nada sedikit sedih, berpura-pura sedih tentunya.

Brakk!

Tristan segera membuka pintu dengan kasar, saat mendengar haruna ingin keluar dari rumah. Memikirkan Haruna keluar rumah, Tristan tentu saja khawatir. Ia yakin Haruna akan melarikan diri jika keluar dari pengawasannya.

"Aku akan menyuruh orang membelikannya untukmu. Jadi, jangan pernah berpikir untuk keluar dari rumah ini," ucap Tristan dengan pandangan lurus ke dalam manik mata Haruna. Pandangannya turun dari mata ke dagu dan pipi Haruna yang memerah.

"Ada apa dengan wajahmu?" Tristan menghampiri haruna dan memegang kedua pipi Haruna dengan khawatir.

"Jadi, bisa dikatakan ini berhasil. Baiklah, mari kita lanjut film rayuan maut ala Haruna," batin Haruna bergumam senang. Sepertinya rencana Haruna merayu Tristan, berhasil.       

   

"Memangnya kamu pikir kenapa? Aku mencoba kosmetik punya Bu Sin, ternyata aku tidak cocok memakainya. Kulitku alergi, makanya merah-merah seperti ini," ucap Haruna dengan ketus. Kali ini Haruna tidak mengatakan dengan emosi, tapi lebih ke arah merajuk.

Tristan tersenyum geli melihat tingkah Haruna yang terlihat kesal, tetapi juga terlihat lucu. Ia mengacak rambut Haruna karena tidak tahan melihat betapa menggemaskannya Haruna saat ini.

"Apa sih, jangan pegang-pegang! Keluar sana!" Haruna memutar tubuh Tristan dan mendorongnya keluar dari kamar. Haruna menjulurkan lidahnya, mengejek Tristan sebelum menutup pintu.

Tristan tertawa lebar sampai menutup mulutnya. Baru kali ini Tristan melihat tingkah imut Haruna. Ia pun pergi dari sana dengan bahagia. Hanya melihat Haruna tidak mengacuhkannya saja sudah membuat Tristan sangat bahagia. 

"Saman, sini!" panggil Tristan kepada sopirnya.

"Iya, Tuan," ucap Saman sambil membungkuk lalu menghampiri Tristan.

"Tolong belikan kosmetik satu set lengkap," perintah Tristan sambil menyerahkan kartu kredit tanpa limit.

Saman menerima kartu itu, tetapi dia kebingungan harus membeli yang seperti apa. Dengan ragu dan takut, Saman pun bertanya.

"Anu, Tuan, merek apa yang harus saya beli?" 

"Beli yang kualitasnya nomor satu, paling mahal, dan paling banyak dipakai oleh gadis-gadis kalangan atas," jawab Tristan.

Saman mengangguk lalu pergi. Saman tidak tahu merek seperti apa yang banyak dipakai kalangan atas, tetapi Saman akan membeli yang paling mahal sesuai perintah Tristan. Ia pergi ke pusat perbelanjaan terbesar di kota itu hanya untuk membeli kosmetik. Ia tidak yakin kalau Haruna akan cocok memakai kosmetik seperti yang Tristan inginkan.

"Hah, Tuan kalau mau membelikan apa-apa seharusnya bertanya dulu sama yang mau dibelikan. Kalau tidak cocok, bagaimana? Apa orang kaya memang semua seperti itu," gumam Saman sambil melangkah menuju mobil yang terparkir rapi di garasi. 

Tristan masuk ke kamarnya setelah Saman pergi meninggalkan garasi. Ia mengulas senyum simpul sambil menatap selimut dan sprei di ranjang yang sudah diganti oleh pelayannya. Tristan membaringkan tubuhnya terlentang di tengah ranjang. Ia merasa bersalah mengingat apa yang dilakukannya pada Haruna tadi pagi. Ranjang itu menjadi saksi betapa kasarnya ia memperlakukan Haruna. Tristan memejamkan matanya. Rasa bersalah itu sungguh membuat kepalanya terasa pusing, jadi Tristan mencoba untuk tidur sejenak sebelum jam makan malam tiba.