webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
89 Chs

Bab 14. Turun Gunung

Setelah itu Dato Hongli segera mengerahkan kekuatan raga dan dan sukmanya. Satu lengkingan setinggi langit menggelegar bersamaan dengan dorongan tangannya ke depan, menyentuh dada La Mudu.

Sebuah energi yang sangat kuat pun dialami oleh La Mudu menjadikannya berteriak melengking setinggi langit seolah angkasa dibuat bergetar dan menjadikan tubuhnya pun ikut yang bergetar dengan kuatnya. Ia sedang menerima pengaliran energi besar dari Ilmu Jurus Tapak Dewa.

Pelan tapi pasti, tubuh Dato Hongli dan La Mudu diselumuti cahaya putih menyilaukan mata yang terus berputar dengan cepat sehingga membentuk sebuah bola cahaya yang besar, dan dari bola cahaya itu tiba-tiba terdengar sebuah dentuman yang amat besar, dan dari dentuman itu dua tubuh yang masih diliputi cahaya terpisah dan terpental di ruang angkasa, lalu dari tubuh keduanya pun tiba-tiba melesat ke angkasa.

Dato Hongli sesaat kemudian mampu menenangkan tubuhnya di angkasa dengan posisi tetap berkonsentrasi sembari meletakkan satu tangannya secara vertikal di depan dada. Sementara tubuh La Mudu masih terus berputar masih dalam kondisi diliputi cahaya putih kemilau, berputar dengan amat cepat. Dan dari putaran itu melahirkan ribuan cahaya berupa tapak tangan raksasa yang juga beredar mengelilingi tubuh La Mudu dengan putaran yang berlawanan arah.

Lalu tiba-tiba tubuh La Mudu kemudian melesat ke bawah sembari mengarahkan kedua tapak tangannya ke bawah yang diikuti oleh seribu tangan raksasa berupa cahaya putih kemilau. Saat kedua tapak tangannya menghantam bumi, maka…

Buumm…!!

Sebuah dentuman yang amat keras terjadi bersama bergetarnya permukaan bumi yang menimbulkan asap menutupi rimba di sekitar itu.

Sesaat kemudian, ketika asap telah perlahan-lahan lenyap, maka tampaklah oleh La Mudu sendiri lobang berupa tapak raksasa bertebaran di mana-mana dengan tanah yang hangus menghitam. Sang pendekar menjadi terheran-heran sendiri.

“Kautelah menyerap Ilmu Tapak Api Seribu Dewa dengan baik, Cucuku.”

Ucapan dari gurunya, Dato Hongli, itu sontak membuatnya La Mudu menoleh. Sang guru saat itu sedang duduk di atas sebuah onggokan batu besar yang tak jauh darinya sambil tersenyum gembira.

"Bagaimana perasaanmu, Mudu?"

La Mudu menggerak-gerakkan tubuhnya dan berkata, "Rasa-rasanya aku baru mengalami sebuah mimpi yang sangat dahsyat, Ato. Sekarang menyisakan jiwa dan ragaku demikian enteng, pandangan dan pendengaranku demikian tajam. Oh...terasa sangat luar biasa...!”"

Sekali lagi Dato Hongli tersenyum. "Sekarang kamu telah menjadi seorang pendekar agung yang sempurna. Tapak Seribu Dewa telah bersemayam dalam jiwa dan ragamu, Mudu.”

"Terima kasih, Ato. Atas asuhan dan bimbinganmu dan, kini aku telah menjadi seorang manusia seutuhnya." La Mudu bertabik dan memeluk tubuh sang guru. Air matanya tiba-tiba mengalir keluar dari kedua sudut matanya lalu membasahi punggung pakaian sang guru.

"Mudu, kau...?"

"Biarkan mada membasahi jubahmu dengan air mataku untuk yang terakhir kalinya, Ato. Air mata yang mada sendiri baru melihatnya."

Dato Hongli mengelus-elus lembut punggung dengan kepala sang murid yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu. Air mata dia sendiri pun ikut menetes.

Namun seolah-olah tersadar, sang mantan jenderal perang Kekaisaran Dinasti ming itu dengan cepat ia menghapus air matanya, lalu kemudian memisahkan tubuh La Mudu dari tubuhnya.

"Iya, aku mengerti, Mudu. Sekarang waktunya kamu harus meninggalkan tempat ini. Kauharus menuju ke tempat asalmu yang sesungguhnya. Tempat di mana bangsamu tengah menantikan kedermawanan hatimu."

"Jadi…mada harus meninggalkan Ato sendirian di sini...? Tapi aku...." La Mudu seakan-akan keberatan dengan ucapan Ato-nya.

"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Anakku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini."

Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama.

Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…aku...?"

Dato Hongli mengangguk-angguk pelan. "Benar, Mudu. Para Dewa menggugahku dalam semedi dan mereka memerintahkanku untuk segera ke arah timur untuk mengambilmu dan kemudian aku mengasuh, membesarkanmu, dan mengangkatmu sebagai murid dan pewaris ilmuku.”

Wajah La Mudu langsung tertunduk. Bulir-bulir bening bergulir begitu saja lalu menetes di kedua pahanya. Ia tak mapu mengucapkan apa-apa.

“Saat itu tubuhmu tergolek di samping tubuh seorang wanita yang mendekapmu. Tubuh wanita itu sudah hangus. Ato perkirakan ia adalah jasad ibumu. Kau benar-benar titisan para dewa, Anakku. Tubuhmu utuh, sama sekali tak tersentuh api. Justru energi api terserap habis oleh tubuhmu. Dan itu kekuatan dahsyat yang tersimpan dalam tubuhmu. Karena aku mendapatkanmu di atas bekas sisa pembakaran, maka aku memberimu nama La Mudu. Ya, kau adalah titisan para Dewa, Mudu. Kauselamat secara ajaib dari pembantaian dan pembakaran yang dilakukan oleh La Afi Sangia bersama anak buahnya. Maafkan Ato, karena Ato terlambat untuk mencegah aksi pembantaian itu. Mungkin juga Sang Dewata juga menggariskan demikian. Yang tersisa ketika itu hanya kau sendiri. Kau mengenakan kalung dengan bandul keping separuh itu. Kakek berfirasat pasti ada maknanya mengapa leontin kalungmu hanya kepingan separo.”

La Mudu melihat leontin kalung di lehernya dan digenggamnya erat-erat. Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan wajahnya kencang memerah saga.

“Kemudian beberapa bulan kemudian, Ato mencoba mencari tahu, dan Ato mendengar selentingan di kalangan masyarakat desa-desa di sekitar bekas desamu, bahwa Galara Ompu Mpore dan Ina Canggo, ayah dan ibumu, mempunyai dua bayi kembar dampit. Bayi kembar laki-laki dan perempuan. Jika benar adanya kabar itu, menurut firasat Ato, kembaranmu itu masih hidup. Sebab Ato tidak melihat mayatnya saat itu jika ia sudah mati. Jadi itu tugasmu untuk mencari tahu nantinya. Kauharus mengakhiri kebiadaban Afi Sangia. Ato dengar akhir-akhir ini perbuatan sewenang-wenang La Afi Sangia bersama anak buahnya sudah semakin biadab dan merajalela."

Melihat kemarahan La Mudu mencuat di tubuh dan wajahnya, Dato Hongli menepuk-nepuk punggunya dan mewanti-wantinya agar selalu bertindak secara bijak dan menggunakan perhitungan yang matang. "Kebijakan dan perhitungan yang matang adalah kunci sebuah keberhasilan, Mudu."

Setelah semua percakapan berlangsung cukup lama, akhirnya La Mudu mengikuti kata-kata sang guru, Dato Hongli, untuk meninggalkan tempat itu. Walaupun dengan hati yang amat berat.

"Pergilah kau, Anakku. Tegakkan kepala, jangan pernah menoleh ke belakang," ucap Dato Hongli. Ia mengantarkan kepergian sang murid kesayangannya, buah hatinya, dengan perasaat berat.

Setelah itu, dengan sebuah gerakan yang ringan, tubuhnya melesat turun ke dalam mulut jurang sempit, tempat di mana selama dua puluh tiga tahun ia membesarkan dan mengasuh La Mudu. Di atas petilasannya, ia lenyapkan suka duka dunianya. Ia melanjutkan berkhalwat.

La Mudu, tidak menyahuti sepatah kata pun. Hanya menghentikan langkah sesaat, tak berpaling. "Selamat tinggal, Ato, guruku, ayah dan ibuku. Jika Sang Dewata Agung masih menghendaki, aku akan datang menjengukmu!" gumamnya. Ia pun melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan orang yang amat dia cintai seorang diri dengan langkah tegap, tanpa ia menoleh lagi.