webnovel

Episode 2 : Hujan Menyelamatkanku.

Beberapa tahun sebelumnya.

Hujan turun dengan cukup deras. "Ahhh !" seorang gadis kecil berambut coklat tergelincir dan jatuh, genangan air kini membasahi pakaiannya yang tadinya bersih. Koper yang dia bawa juga ikut basah karenanya. Dia sudah lemas tak berdaya, yang bisa dia lakukan hanyalah menatap refleksi wajah sedihnya pada genangan air yang ada di hadapannya.

Tak lama, seorang gadis kecil lainnya membawa payung datang menghampirnya.

"Kau masih di sini rupanya, sampah !" ucap gadis berpayung sembari menatap gadis yang dia panggil sampah itu dengan tatapan merendahkan.

Gadis itu hanya terdiam tak berdaya, dia sudah tak punya kekuatan untuk melawan perkataan kakak sepupunya itu. Dia hanya mencoba bangun secara perlahan dengan sisa tenaga yang dia miliki, karena meski hujan masih membasahi tubuhnya dengan deras, namun, dia tetap tak ingin terlihat rendah di mata kakak sepupunya yang dia benci itu.

Kakak sepupunya, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan itu adalah sebuah liontin giok. Saat melihat liontin giok itu, gadis berambut coklat itu sontak terkejut dan tak percaya, dia lalu menatap kakak tirinya itu dengan tatapan tajam dan dendam.

"Kau !"

"Benar, itu aku yang mencuri liontin kakek dan menuduhmu agar kau diusir dari rumah," ucap sepupunya tersenyum licik.

Gadis berambut coklat itu menggeramkan tangannya kuat karena marah.

"Akan kuberitahu ini ke Kakek !"

"Silahkan, tapi itu hanya akan sia-sia. Apa kaupikir, kakek akan percaya dengan omongan dari orang sepertimu? Apa kaupikir, seluruh keluarga Fu, mau mempercayai ucapan sampah sepertimu?" ucap kakak sepupunya tersenyum menang.

Benar juga, tak peduli apapun yang aku katakan, tak peduli yang kulakukan benar atau salah, kakek sejak awal, tak pernah berada di pihakku. Selamanya, tatapan rendah kakek padaku takkan pernah berubah. Aku lupa, aku tak lagi mengharapkan apapun dari keluarga ini.

"Karena ini perpisahan dengan adik sepupuku, akan kuberitahu satu lagi rahasia padamu. Ini tentang ibumu," ucap kakak sepupunya masih tersenyum senang.

"Ibuku…."

Satu tahun lalu, ibuku diusir dari rumah keluarga Fu karena dituduh menggelapkan dana milik perusahaan Fu, bahkan mereka sampai repot-repot menyiapkan bukti palsu hanya untuk menjebak ibuku, padahal, perusahaan itu dikembangkan oleh keringat ibuku hingga bisa jadi sebesar sekarang.

Gadis berambut coklat itu menatap kakak sepupunya dengan dingin dan tajam lalu berkata, "Cepat, tak usah basa-basi lagi, beritahu aku tentang ibuku."

"Baiklah, aku juga tidak ingin berlama-lama dengan sampah sepertimu, maka akan kupercepat," ucapnya seolah peduli, "Apa kau tahu, kenapa semua bukti penggelapan itu tertuju pada Ibumu? Itu karena … ibukulah yang melakukannya. Dia dan para dewan direksi, setuju untuk menendang Ibumu dari perusahaan, itu semua demi mengambil alih perusahaan."

Jadi itu benar, ibuku pernah bilang. Kalau tante Yuni adalah pelakunya. Awalnya, aku tak percaya kalau tante Yuni pelakunya, karena di rumah keluarga Fu, selain ibuku, hanya bibi Zhang dan dialah yang memperlakukanku sebagai manusia, membawakanku makan, merawatku saat sakit, bermain bersamaku. Dialah yang menjadi ibuku ketika Ibu kandungku pergi bekerja ... teryata....

"Kau begitu bodoh ya, Fu Nian. Alasan kenapa ibuku mau dekat-dekat dengan sampah sepertimu, tentu saja … untuk memeras ibumu," ucap kakak sepupunya memandang Nian dengan senyuman licik.

Jadi begitu … waktu itu, Ibu berkata yang sesungguhnya, kalau tante Yuni menggunakanku untuk memerasnya dan Ibu bahkan memintaku menjauhinya, tapi … aku tak percaya pada perkataan ibuku, dan aku selalu menganggap kalau ini adalah perbuatan orang lain dikeluarga Fu, ternyata … musuh sebenarnya berada lebih dekat dari yang kukira.

Nian hanya terdiam dan tertunduk mendengar semua itu, tak ada yang bisa dia lakukan selain menyesal di dalam diam. Dia benar-benar merasa menyesal tak percaya dengan perkataan ibunya saat itu, air matanya, mulai jatuh secara perlahan, beruntung, hujan membantunya menyamarkan air matanya itu. Seandainya aku percaya dengan perkataan Ibu waktu itu, mungkin kami akan tetap bersama sampai sekarang.

Kakak sepupunya hanya tersenyum melihat Nian semakin jatuh ke dalam keputusasaan. "Pada akhirnya, pecundang tetaplah pecundang, kau tak ada bedanya dengan Ibu dan ayahmu yang sampah itu."

Saat kakak sepupunya berkata seperti itu, Nian langsung dikontrol oleh emosi, dia langsung menatap tajam dan marah kepada Kakak sepupunya dan berniat menamparnya. Namun, tamparannya itu dihentikan oleh seorang anak laki-laki berpayung yang tiba-tiba muncul dari belakangnya.

"Nian, bagaimana kau bisa menjadi wanita kasar !?" ucap anak laki-laki itu.

Nian sangat terkejut melihat anak laki-laki yang ada di depannya itu membela kakak sepupunya, karena bagaimanapun, anak laki-laki yang sedang marah kepada Nian saat ini adalah teman masa kecil Nian. "Ivan… kau… "

"Nian, kau terlalu sering membuli orang lain, aku sudah dengar dari kakak sepupumu ini, kalau kau adalah gadis yang kasar dan suka mencuri, dan ternyata setelah kupastikan sendiri, itu semua benar."

Ada apa ini? Kenapa Ivan membela Oliv? Ivan yang selalu baik padaku, selalu ada untukku, kenapa tiba-tiba berubah? Saat itu juga, Nian sadar akan kondisi Ivan selama ini.

Jadi begitu ya, ini semua rencana Oliv, dialah yang menghasut Ivan dari awal, dialah yang menyiapkan semua scene ini hanya untuk membuktikan diriku adalah wanita jahat di depan Ivan. Nian menggeramkan giginya karena dia tak bisa berbuat apa-apa untuk menjelaskan situasi ini kepada Ivan, karena dia tahu kalau itu hanya akan jadi sia-sia.

"Sepupumu berniat membantumu, tapi kau malah ingin menamparnya, mungkin … kau memang pantas untuk jauhi oleh orang lain."

Mendengar kata-kata dingin Ivan itu, membuat hati Nian terasa hancur, dia tak menyangka, anak laki-laki yang selalu tersenyum padanya, selalu mengikutinya kemanapun dia pergi, hari ini mengatakan sesuatu sekejam itu padanya.

Nian mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh keluar, namun pada akhirnya, rasa sakit yang menusuk hatinya tak bisa dibendung lagi. Air hujan yang turun deras, masih menyembunyikan air matanya itu, Nian hanya mencoba untuk tersenyum, dia tak ingin terlihat sedih di depan Ivan.

"Mulai saat ini, kita tak ada hubungan lagi, aku juga tak ingin melihatmu lagi," ucap Ivan sembari melemparkan payung yang dia bawa ke kaki Nian, "Anggap payung itu sebagai kebaikan terakhir dariku, ingatlah untuk menjadi orang baik."

Ivan lalu masuk ke dalam payung Oliv, mengenggam tangan Oliv sembari membawanya pergi. Nian hanya bisa melihat mereka berdua berjalan bersama dengan masih tersenyum. Mungkin, inilah takdirku, aku juga berharap, kalau Ivan bisa mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Selamat tinggal, Ivan.

Nian lalu berjalan pergi, meninggalkan bekas senyumannya, dan juga kebaikan terakhir Ivan tergeletak di tanah. Dia hanya terus berjalan menerobos derasnya hujan yang membasahi dirinya hingga membawanya ke sebuah jembatan besar.

Dia lalu memanjat tepian jembatan merah sepi itu, dan berdiri di atasnya. Tiupan angin yang kuat, membuatnya hampir terjatuh ke dalam air ganas yang tengah mengalir di bawahnya, yang jika siapapun jatuh ke sana, sudah pasti tak akan lagi selamat.

Dia lalu bernyanyi sembari menatap derasnya air sungai.

~Terangnya langit membuatku benci

~Gelapnya malam membuatku tenang

~Cahaya bintang membawa bencana

~Hujan yang deras membawa tubuhku...

Mungkin, ini akhir cerita terbaik bagiku. Ayahku, meninggal setelah beberapa tahun aku lahir, aku masih bisa mengingat hangatnya tangan ayahku ketika menggendongku. Ibuku diusir dari rumah, dan aku yakin sekarang dia membenciku karena tak mempercayainya. Teman masa kecilku, berakhir berpihak pada musuhku. Sudah tak ada lagi di dunia ini yang mau menerimaku, setidaknya, aliran air ganas di bawah, akan dengan senang hati menerima tumbal sepertiku. Nian sudah merasa sangat putus asa, baginya, satu-satunya cara menghilangkan keputusasaan itu adalah dengan membuang nyawanya terlebih dahulu.

Dia pun hendak menjatuhkan dirinya, namun….

"Bukankah bunuh diri begitu saja … itu sedikit, membosankan?" ucap seseorang tiba-tiba datang entah dari mana.

Nian yang hendak meloncat itu langsung menghentikan niatnya ketika melihat seorang berjubah dan mengenakan topeng yang hanya memperlihatkan bibirnya saja, tiba-tiba muncul dan duduk dengan santai di sampingnya.

"Ka—Kau, siapa!?" tanya Nian.

"Aku adalah malaikat maut."

"Benarkah?"

"Tidak, aku hanya manusia biasa yang numpang lewat."

Nian merasa kesal karena orang itu mengajaknya bercanda ketika dalam kondisi hidup dan matinya ini. Dia lalu mengabaikan orang itu dan langsung berniat untuk meloncat lagi, namun…

"Gadis kecil, bagaimana kalau aku … membantumu balas dendam."

Lagi-lagi, Nian yang hendak meloncat langsung menghentikan niatnya karena diajak mengobrol. Nian lalu membalas, " Balas dendam, apa gunannya, semua yang kumiliki telah hilang diambil orang. Aku … tak memiliki apa-apa lagi."

Orang berjubah itu tersenyum dia lalu mengulurkan tangannya ke arah Nian, "Kalau milikmu diambil orang lain, kau tinggal mencurinya kembali. Ikutlah denganku, dan akan kuajarkan bagaimana caranya mendapatkan semua milikmu kembali dan juga membalaskan dendammu."

Mendengar hal itu, secercah cahaya hangat muncul di hadapannya. Setelah semua orang memperlakukannya dengan dingin hari ini, kini datang seseorang yang menawarkan kehangatan untuknya.

"Benarkah, kau bisa membantuku balas dendam dan mengambil semua yang menjadi milik orangtuaku?"

"Itu benar, aku bisa membuatmu menjadi, pencuri terhebat di dunia ini," ucap orang berjubah itu tersenyum. Pria berjubah itu lalu mengulurkan tangannya untuk menggapai Nian. Perlahan, tangan dingin Nian hendak meraih tangan pria berjubah itu, dan akhirnya … tangan mereka pun bersatu … perasaan hangat yang akrab masuk ke dalam hati Nian, membuatnya ingin menangis, namun kali ini berbeda, karena air matanya yang keluar kali ini adalah, air mata kebahagiaan.

"Tapi, kenapa kau mau membantuku?" tanya Nian penasaran.

"Anggap saja ini adalah, 'balasan untuk semangkuk mi yang enak'," jawabnya tersenyum.

Nian tak mengerti dengan jawaban pria berjubah itu, namun, dia tetap bertekad mengikutinya demi balas dendamnya.

"Ayo kita pergi dari sini," ajak pria berjubah itu.

Baru saja Nian hendak melangkah pergi, tanpa diduga, besi tempat Nian berpijak menjadi licin akibat hujan, dia pun terpeleset dan jatuh ke dalam sungai, untungnya, saat itu pria berjubah memeganginya. Pria berjubah itu hanya memegangi Nian dengan satu tangan layaknya sedang memegangi boneka kapuk.

"Bertambah satu lagi murid yang bodoh," ucap pria berjubah itu tersenyum.

Nian hanya melihat hal itu dengan takjub. Orang ini kuat. Jika mengikuti orang ini, aku yakin aku bisa mendapatkan kembali semuanya.

"Tuan, siapa namamu?" ucap Nian setengah berteriak karena suara aliran air yang deras.

Pria berjubah itu lalu tersenyum dan menjawab, "Variance."

….

Beberapa tahun telah berlalu.

Di sebuah bandara, pesawat pribadi baru saja tiba. Lalu dari dalamnya, turunlah seoarang wanita cantik mengenakan kacamata hitam dengan style pakaian yang bergaya, turun dari tangga pesawat dengan anggun diikuti seorang anak kecil berumur 5 tahun, berambut biru dengan gaya yang sama dan tentunya kacamata hitam juga.

"Aissh, sudah bertahun-tahun sejak aku kembali, tak ada yang berubah sedikitpun," ucap wanita berkacamata hitam itu.

"Kampung halaman Mami, terlihat biasa saja," ucap gadis kecil itu sembari melepas kacamatanya.

"Kau benar, meskipun begitu, tempat ini menyimpan banyak kenangan yang tak terlupakan."

Benar, sekarang aku telah kembali, dan sekaranglah saatnya membalas semua 'kebaikan' dari keluarga Fu selama ini.