webnovel

Bab 5

Waktu terasa berjalan lebih lambat untuk Alif sejak pertemuan terakhir dengan Dr. Amira. Meskipun dia merasa lega setelah membuka luka lama tentang Tino, ada bagian lain dalam dirinya yang mulai merasakan gejolak baru. Seperti air yang tampak tenang di permukaan, tetapi menyimpan arus kuat di bawahnya, Alif tahu bahwa ia hanya menyentuh sebagian kecil dari perjalanan menuju penyembuhan.

Malam-malam tanpa tidur kembali menghantui. Suara-suara yang ia pikir telah diredam oleh sesi terapi, kini muncul kembali, kali ini lebih keras dan lebih mengganggu. Bukan hanya Alfa yang bicara. Ada suara lain yang datang dengan nada yang berbeda, lebih gelap, lebih marah.

Alif bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju cermin, bayangan dirinya tampak asing. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya, berharap jawabannya muncul dari cermin yang seolah menyembunyikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Lalu, tiba-tiba, suara itu muncul—tetapi bukan Alfa.

"Kamu tahu siapa aku." Suara itu dingin, tajam, dan penuh kebencian.

Alif terhuyung, memegangi tepi meja. "Siapa ini? Apa maksudmu?"

Suara itu tertawa, rendah dan menyakitkan. "Aku bagian dari dirimu yang tak pernah kau ingin akui. Aku adalah luka yang lebih dalam dari sekadar rasa bersalah. Aku adalah kemarahan yang kau simpan rapat-rapat, kebencian yang kau arahkan pada dirimu sendiri."

Alif menggeleng, mencoba menahan arus perasaan yang mulai membanjirinya. "Tidak... ini tidak mungkin. Aku sudah belajar mengatasi ini dengan Alfa. Aku tidak bisa menghadapi bagian lain yang lebih gelap."

Suara itu mendesak lebih dekat. "Kamu tidak bisa mengabaikanku, Alif. Semakin kamu mencoba melupakanku, semakin kuat aku menjadi. Aku adalah bagian dari dirimu, sama seperti Alfa. Kamu tidak bisa lari dariku."

Alif jatuh terduduk, keringat dingin membasahi dahinya. Pikirannya berputar, berusaha keras memahami situasi ini. Jika Alfa adalah pelindung yang menjaga rasa sakitnya tetap terkendali, maka siapa sosok ini?

"Aku namanya Zeta," jawab suara itu tanpa diminta, seolah membaca pikirannya. "Aku adalah amarahmu, ketakutanmu, kebencianmu yang tak pernah kau ungkapkan. Alfa mencoba menyembunyikan aku darimu, tapi sekarang waktunya tiba. Kau harus menghadapi aku."

Alif memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Dia merasa terjebak dalam permainan yang tak pernah ia siapkan. Pertanyaan besar bergema di benaknya: Apakah dirinya siap untuk menghadapi sisi tergelap dari jiwanya?

---

Keesokan harinya, Alif memutuskan untuk kembali ke klinik Dr. Amira. Setelah berminggu-minggu merasa sedikit lega dengan keberadaan Alfa, ia kini harus kembali dengan cerita baru—cerita yang lebih menakutkan dari yang pernah ia bayangkan.

Dr. Amira memperhatikan perubahan pada Alif saat ia masuk ke ruang terapi. Matanya tampak lelah, dan bahunya tampak terbebani lebih dari sebelumnya. "Alif, ada apa? Apa yang terjadi?" tanyanya lembut, namun penuh perhatian.

Alif menatap lurus ke depan, tidak berani menatap mata Dr. Amira. "Ada sesuatu yang lebih dari Alfa. Ada sosok lain... dia menyebut dirinya Zeta."

Dr. Amira mengangkat alisnya sedikit. "Zeta?"

Alif mengangguk. "Dia bilang dia adalah amarah dan kebencian yang selama ini aku pendam. Aku tidak tahu dari mana dia datang. Dia bilang Alfa berusaha menyembunyikannya."

Dr. Amira terdiam sesaat, merenungkan kata-kata Alif. "Ini mungkin bagian dari dirimu yang selama ini kamu hindari. Setiap orang memiliki berbagai sisi kepribadian—beberapa terlihat, beberapa lainnya terpendam lebih dalam. Alfa mungkin hadir sebagai pelindung, tetapi Zeta adalah manifestasi dari perasaan yang lebih sulit untuk dihadapi. Ini bukan hal yang buruk, Alif. Ini adalah bagian dari proses penyembuhan."

"Tapi bagaimana aku bisa menghadapi Zeta?" tanya Alif, suaranya gemetar. "Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana."

Dr. Amira tersenyum kecil, penuh empati. "Langkah pertama adalah mengakui keberadaannya, seperti yang telah kamu lakukan. Langkah berikutnya adalah belajar untuk memahami dari mana asalnya. Zeta mungkin adalah cerminan dari luka-luka terdalam yang belum kamu hadapi. Kemarahan dan kebencian sering kali muncul dari rasa takut atau rasa sakit. Kita akan menggali lebih dalam untuk menemukan akar dari perasaan-perasaan itu."

Alif merasa hatinya berdegup kencang, campuran ketakutan dan harapan mulai membanjiri dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan di ujung kegelapan.

---

Malam itu, Alif kembali duduk di depan cermin, seperti malam sebelumnya. Kali ini, ia tidak hanya berharap untuk bertemu Alfa atau Zeta. Ia tahu bahwa malam ini, ia harus menghadapi keduanya.

"Zeta," panggil Alif dengan tenang, "aku ingin bicara."

Butuh beberapa saat, tapi akhirnya Zeta muncul dalam benaknya. "Apa yang kamu inginkan?" suaranya masih dingin, tetapi ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.

"Aku ingin mengerti," jawab Alif, menatap cerminan dirinya dengan penuh kesungguhan. "Aku ingin tahu kenapa kamu begitu marah. Dari mana rasa benci ini berasal?"

Zeta terdiam sesaat, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu. "Kamu selalu mencoba untuk menjadi kuat, Alif. Kamu menahan semua rasa sakit, semua rasa bersalah, dan tidak pernah memberi dirimu ruang untuk marah. Aku muncul karena kamu butuh seseorang untuk menyuarakan perasaan itu."

Alif menatap ke dalam cermin, merasa dadanya semakin sesak. "Aku memang selalu berusaha menahan semuanya. Aku tidak pernah ingin terlihat lemah, apalagi di depan orang lain. Tapi aku tahu sekarang, menahan semuanya tidak membuatku lebih kuat. Aku hanya melukai diriku sendiri."

Zeta tidak menjawab langsung. Ada jeda panjang sebelum suaranya kembali muncul, kali ini lebih lembut. "Mungkin... mungkin aku tidak perlu marah sepanjang waktu."

Alif mengangguk, menyadari sesuatu yang penting. "Mungkin kita bisa bekerja sama, seperti yang kulakukan dengan Alfa. Aku tidak perlu menolakmu. Aku hanya perlu belajar untuk mendengarkanmu dengan cara yang lebih baik."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Alif merasa bahwa dirinya tidak lagi terpecah belah. Alfa dan Zeta, dua sisi dari jiwanya yang selama ini bersembunyi di balik topeng emosi yang rumit, kini mulai menemukan jalan menuju harmoni. Alif tahu perjalanan ini masih panjang, tapi ia merasa telah mengambil langkah besar ke arah yang benar.

Ketika Alif berbaring di tempat tidurnya malam itu, ia merasa ada simfoni yang mulai terbangun dalam dirinya—simfoni dari luka, amarah, dan kesembuhan yang mulai menemukan nadanya sendiri.

---