webnovel

Bab 2

Hari itu, Alif merasa lebih berat melangkah ke klinik Dr. Amira. Meskipun rasa harapan masih menggelora setelah sesi sebelumnya, bayang-bayang Alfa kembali mengintai di benaknya. Dia berusaha mengabaikannya, tetapi seperti jejak tak terlihat, kehadiran Alfa selalu meninggalkan bekas di dalam dirinya. Saat dia melangkah masuk ke ruang tunggu, Alif merasakan tekanan di dadanya, seolah beban yang dia pikul semakin berat.

Ruangan tunggu klinik itu tenang, tetapi bagi Alif, keheningan itu menjadi semakin mengganggu. Beberapa pasien duduk di kursi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alif mengambil tempat di sudut ruangan, jauh dari yang lain. Dia merasa seolah semua orang bisa melihat betapa rapuhnya dirinya, betapa dalamnya kegelapan yang menyelimutinya.

"Alif?" Suara lembut Dr. Amira kembali memanggilnya. Alif menegakkan punggungnya dan berdiri, berusaha menampilkan wajah tenang meski hatinya berdebar.

Sesi ini dimulai dengan keheningan yang biasa. Dr. Amira duduk di depan Alif, matanya penuh empati. "Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita kemarin. Apa yang terjadi sejak saat itu?"

Alif menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Setelah sesi kemarin, aku merasa lebih waspada terhadap kehadiran Alfa. Kadang-kadang, aku bisa merasakan dia sedang bersiap untuk muncul. Itu membuatku takut."

Dr. Amira mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. "Ketakutan adalah reaksi yang normal, terutama ketika kita menghadapi bagian dari diri kita yang tidak kita pahami. Tapi, mari kita coba untuk tidak melihat Alfa sebagai musuhmu. Bisa jadi, dia adalah bagian dari dirimu yang perlu dipahami."

"Bagaimana bisa dia menjadi bagian dari diriku?" Alif bertanya, suaranya hampir bergetar. "Dia tidak seperti aku. Dia lebih kuat dan lebih berbahaya."

"Tapi dia juga melindungimu," jawab Dr. Amira. "Seringkali, kepribadian lain muncul untuk membantu kita menghadapi situasi yang kita anggap terlalu sulit. Mari kita coba menggali lebih dalam. Kapan pertama kali kamu merasakan kehadirannya?"

Alif teringat kembali ke masa kecilnya. "Aku masih ingat saat aku berusia sembilan tahun. Saat itu, aku sedang bermain di taman dengan teman-temanku. Kami sedang berpetualang, dan tiba-tiba seorang anak laki-laki yang lebih besar datang dan mulai mengganggu kami. Aku merasa sangat ketakutan. Tiba-tiba, aku merasa berubah. Aku mulai berteriak dan menantangnya. Aku tidak tahu dari mana keberanian itu berasal."

"Jadi, saat situasi itu muncul, Alfa muncul untuk melindungimu?" tanya Dr. Amira.

"Sepertinya begitu," jawab Alif. "Setelah itu, aku menyadari bahwa aku bisa beralih menjadi Alfa ketika aku merasa terancam. Dia memberi aku kekuatan, tapi juga membuatku merasa terputus dari diri sendiri."

"Penting untuk memahami bahwa perasaan itu muncul sebagai respons terhadap pengalaman traumatis. Kita semua memiliki cara untuk menghadapi rasa sakit," jelas Dr. Amira. "Mungkin kita perlu memahami lebih dalam tentang Alfa. Coba pikirkan, apa yang dia inginkan dari dirimu?"

Alif terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. "Aku rasa… dia ingin aku menjadi kuat. Dia ingin aku tidak merasa lemah, tidak merasa takut."

"Jadi, dia melindungimu dari rasa takut itu. Tetapi kita perlu memastikan bahwa kamu tidak kehilangan dirimu di tengah semua ini. Apa yang kamu inginkan, Alif?" Dr. Amira menatapnya dengan penuh perhatian.

"Aku ingin merasa utuh lagi. Aku ingin kembali menjadi diri sendiri, bukan seseorang yang terus-menerus berjuang dengan kehadiran orang lain di dalam diriku," jawab Alif, matanya mulai berkaca-kaca.

Dr. Amira tersenyum lembut. "Itu adalah tujuan yang baik. Mari kita mulai dengan latihan sederhana. Aku ingin kamu mencoba berbicara dengan Alfa. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Dia adalah bagian dari dirimu, dan memahami dia adalah langkah pertama untuk mengenal dirimu sendiri."

"Berbicara dengan Alfa?" Alif merasa sedikit tidak nyaman. "Tapi… aku tidak yakin aku bisa melakukannya."

"Percayalah, Alif. Ini adalah bagian dari proses penyembuhan. Kita akan mencoba menciptakan ruang di mana kamu bisa berbicara dengan dia. Apa pun yang kamu rasakan adalah sah," Dr. Amira berkata dengan tegas. "Cobalah. Pikirkan tentang apa yang ingin kamu katakan padanya."

Alif menutup matanya, berusaha menenangkan pikirannya. Dia mencoba membayangkan Alfa, sosok kuat yang sering mengisi ruang dalam dirinya. Dengan setiap tarikan napas, dia merasakan ketegangan yang mengalir, mencoba menjembatani dirinya dan Alfa.

"Alfa," panggilnya dalam hati. "Aku tahu kamu di sana. Aku butuh kamu untuk mendengarkan. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, terjebak antara diriku dan dirimu."

Seperti petir di siang bolong, suara Alfa mengisi pikirannya. "Kamu lemah, Alif. Kamu tidak bisa melindungi diri sendiri. Aku yang menjaga kamu."

"Aku tahu, tetapi ini bukan cara untuk hidup. Aku ingin kita bisa bersatu. Aku ingin tahu siapa kita sebenarnya," balas Alif, merasa sedikit lebih berani.

"Kamu tidak perlu tahu siapa kita. Yang penting adalah kekuatan. Dan aku di sini untuk melindungi kamu," jawab Alfa, suaranya tegas dan penuh percaya diri.

"Melindungi aku dari apa?" Alif bertanya, merasa semakin frustrasi.

"Dari rasa sakit. Dari semua orang yang ingin melihat kamu jatuh. Kita tidak bisa membiarkan mereka menang," kata Alfa.

Alif merasakan hatinya bergetar. "Tapi, aku juga ingin hidup. Aku tidak ingin terus bersembunyi di balik kekuatanmu. Aku ingin menjadi utuh, menjalani hidup tanpa merasa terancam."

"Utuh?" Alfa tertawa, suara itu mengisi ruang kosong dalam pikiran Alif. "Kamu pikir itu mudah? Kita adalah dua sisi dari koin yang sama. Kamu tidak bisa mengabaikan aku dan berharap segalanya akan baik-baik saja."

Alif terdiam, merasakan keraguan mengisi ruang pikirannya. "Tapi jika kita terus terpisah, bagaimana kita bisa menemukan kebahagiaan? Bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan penuh?"

"Aku tidak menjamin kebahagiaan. Yang aku jamin adalah kekuatan untuk bertahan. Selama kamu bersama aku, kamu tidak akan pernah merasa lemah," Alfa menjawab, suaranya terdengar semakin jauh.

Dr. Amira memperhatikan dengan seksama, mencatat setiap kata yang diucapkan Alif. "Bagaimana rasanya berbicara dengan Alfa?" tanyanya setelah Alif selesai.

"Itu menakutkan," Alif mengakui. "Dia sangat kuat, dan aku merasa kecil di depannya. Tetapi di sisi lain, aku merasa ada bagian dari diriku yang ingin mendengar dia."

"Bagus. Itu adalah langkah awal yang baik. Sekarang, kita perlu mencari cara untuk memadukan kekuatan Alfa dengan keinginanmu untuk menjadi utuh. Mari kita coba cara lain untuk berkomunikasi dengan Alfa," Dr. Amira menyarankan.

Setelah sesi itu, Alif meninggalkan klinik dengan perasaan campur aduk. Dia merasa sedikit lebih paham tentang Alfa, tetapi juga semakin bingung. Dia tidak yakin bisa berbicara dengan kepribadian lain di dalam dirinya. Namun, dia tahu bahwa Dr. Amira benar—dia perlu melakukannya untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan.

Selama beberapa hari ke depan, Alif berusaha merenungkan semua yang telah dibicarakan di klinik. Dia mencoba menulis di jurnalnya setiap malam, berusaha mengekspresikan perasaannya dan berkomunikasi dengan Alfa. Meskipun terasa konyol, dia berharap bisa memahami bagian dari dirinya yang selama ini terasa terpisah.

Ketika malam tiba, Alif duduk di kamarnya, menyalakan lampu belajar dan membuka jurnalnya. Dia menulis:

"Alfa, aku ingin memahami dirimu. Apa yang membuatmu muncul? Apa yang ingin kau capai dalam hidupku? Aku ingin berbicara dan mendengar jawabanmu."

Dia merasa aneh melakukan ini, tetapi sekaligus menyenangkan. Menyadari bahwa dia mencoba membuka komunikasi dengan bagian dari dirinya sendiri. Tak lama setelah itu, dia menutup jurnalnya dan berbaring di tempat tidur, berharap malam ini bisa lebih tenang.

Namun, saat dia mulai terlelap, dia terbangun oleh suara yang menggaung dalam pikirannya.

"Alif," suara Alfa terdengar jelas. "Kenapa kamu tidak memanggilku lebih awal? Aku sudah menunggu."

"Menunggu? Apa maksudmu?" Alif bertanya, bingung dan ketakutan.

"Menunggu kamu untuk menyadari bahwa kita bisa menjadi satu," jawab Alfa, suaranya lebih tenang sekarang daripada sebelumnya. "Kamu tidak perlu merasa terjebak lagi. Kamu bisa mengandalkanku. Kita bisa melakukan ini bersama-sama."

Alif merasakan jantungnya berdegup kencang. "Bersama-sama? Bagaimana kita bisa bersatu jika kamu selalu mengendalikan diriku? Kamu membuatku merasa terasing dari diriku sendiri."

Alfa tertawa pelan. "Aku tidak mengendalikan. Aku hanya memberi kamu kekuatan. Ingat saat kita menghadapi anak laki-laki yang mengganggu di taman? Tanpa aku, kamu pasti sudah kalah. Aku tidak ingin melihatmu lemah."

"Ketika kamu muncul, aku tidak merasa kuat. Aku merasa bingung dan ketakutan," kata Alif, suaranya hampir berbisik. "Aku ingin hidup dengan utuh. Bukan hanya menjadi bagian dari diriku yang kuat, tetapi juga diriku yang lembut dan rapuh."

"Lembut dan rapuh? Itu bukan cara untuk bertahan. Dunia ini keras, Alif. Kamu perlu belajar untuk melindungi dirimu sendiri," Alfa menjawab, suara itu terasa semakin dominan.

"Melindungi diriku sendiri bukan berarti menjadi orang lain. Aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri," Alif menegaskan, berusaha untuk tidak terjebak dalam kebingungan.

"Dengar, kita bisa saling melengkapi. Aku tidak ingin mengambil alih hidupmu. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak akan terluka lagi. Bagaimana kalau kita coba?" Alfa menawarkan.

"Coba apa?" Alif bertanya, skeptis.

"Coba hidup dengan cara kita sendiri. Bukan hanya kamu atau aku, tetapi kita. Kita bisa menjadikan semua ini sebagai kekuatan. Jika kamu butuh keberanian, aku bisa membantumu. Dan jika aku membutuhkan kelembutanmu, aku akan menerimanya. Kita bisa menjadikan diri kita lebih baik," jawab Alfa.

Alif merenungkan kata-kata Alfa. Meski rasa takut masih menghantuinya, dia merasakan ketulusan dalam tawaran Alfa. Dia mengingat semua momen ketika Alfa membantunya menghadapi situasi sulit, tetapi dia juga ingat saat-saat ketika dia merasa kehilangan kendali atas hidupnya.

"Baiklah," Alif akhirnya berkata, berusaha terdengar tegas. "Jika kita melakukan ini, kita harus saling menghormati. Aku tidak ingin kamu muncul hanya saat ada masalah. Aku ingin kita bisa berkomunikasi, bukan hanya berteriak satu sama lain."

"Setuju. Aku tidak akan mengganggumu jika kamu tidak ingin," jawab Alfa, suaranya terasa lebih lembut. "Tetapi ingat, aku akan selalu ada di sini untuk melindungimu."

Malam itu, Alif merasa seperti melangkah ke sebuah babak baru dalam hidupnya. Dia tahu bahwa ini adalah perjalanan yang panjang dan sulit, tetapi setidaknya dia tidak sendirian. Dalam dirinya, dua bagian ini bisa mulai saling menghormati dan memahami.

---

Keesokan harinya, Alif kembali ke klinik Dr. Amira. Dia merasa lebih percaya diri untuk membahas kemajuan yang dia buat. Saat memasuki ruang konsultasi, Alif melihat Dr. Amira sedang mempersiapkan beberapa catatan.

"Selamat pagi, Alif! Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya, dengan senyuman ramah.

"Pagi, Dr. Amira. Aku merasa lebih baik," jawab Alif, meski sedikit gugup.

"Aku senang mendengarnya. Apa yang membuatmu merasa lebih baik?" Dr. Amira bertanya, mengangguk untuk mendorong Alif berbagi lebih banyak.

"Aku mulai mencoba berbicara dengan Alfa," kata Alif, merasakan dadanya bergetar saat mengucapkannya. "Kami mulai berkomunikasi dan berusaha untuk saling memahami."

"Bagus sekali! Itu adalah langkah penting," Dr. Amira berkata dengan antusias. "Bagaimana perasaanmu saat berbicara dengannya?"

"Awalnya, itu menakutkan. Dia sangat kuat dan kadang-kadang membuatku merasa tertekan. Tapi kemudian, kami sepakat untuk saling menghormati. Aku merasa seperti ada harapan untuk menggabungkan bagian-bagian dari diriku," Alif menjelaskan, merasakan semangatnya mulai tumbuh.

"Menemukan cara untuk berkomunikasi dengan Alfa adalah langkah awal yang sangat baik. Sekarang, kita perlu membangun komunikasi yang lebih dalam. Bagaimana jika kita melakukan latihan yang berbeda hari ini? Aku ingin kamu menulis surat kepada Alfa dan membacanya di sini," Dr. Amira menyarankan.

"Surat?" Alif merasa terkejut. "Apakah itu benar-benar perlu?"

"Ya, dengan menulis surat, kamu bisa mengekspresikan perasaanmu dengan lebih jelas. Ini juga dapat membantu Alfa memahami apa yang kamu inginkan dan butuhkan dari dia. Setelah kamu membacanya, kita bisa mendiskusikan bagaimana perasaanmu," Dr. Amira menjelaskan.

Setelah sedikit ragu, Alif setuju. Dia mengambil waktu untuk menulis surat di klinik, mencoba mengekspresikan semua yang telah dia pikirkan tentang Alfa. Saat dia menulis, kata-kata mengalir dengan mudah.

Surat untuk Alfa:

Alfa,

Aku tahu kita memiliki hubungan yang rumit. Kamu muncul ketika aku merasa terancam dan membantuku mengatasi ketakutan. Tapi aku juga merasa bingung dan terasing dari diriku sendiri.

Aku ingin kita bisa saling memahami dan bekerja sama. Aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri dalam proses ini. Aku ingin kita bisa menemukan cara untuk menjalani hidup yang utuh, bukan hanya dengan kekuatanmu, tetapi juga dengan kelemahanku.

Aku berharap kita bisa menjadikan diri kita lebih baik. Aku ingin mendengar pendapatmu tentang ini. Apa yang kamu inginkan dari kita?

Alif

Setelah menulis surat itu, Alif merasa lega. Saatnya untuk membaca surat itu di depan Dr. Amira. Suaranya bergetar saat dia membacanya, tetapi dia merasa setiap kata itu penting. Setelah selesai, dia menatap Dr. Amira, menunggu reaksi.

"Bagaimana perasaanmu setelah membacanya?" Dr. Amira bertanya, senyumnya menyoroti ekspresi Alif.

"Rasanya lebih mudah untuk mengekspresikan perasaanku dalam tulisan. Aku merasa seolah-olah aku bisa berbicara tanpa rasa takut," jawab Alif, merasakan beban di dadanya sedikit berkurang.

"Itu adalah hal yang bagus. Sekarang, mari kita diskusikan lebih lanjut. Apa yang kamu harapkan dari Alfa setelah ini?" Dr. Amira bertanya dengan lembut.

"Aku ingin dia mendengarkanku. Aku ingin dia tahu bahwa aku menghargai kekuatannya, tetapi aku juga ingin dia menghargai kelemahanku. Aku tidak ingin merasa terjebak dalam pertempuran terus-menerus," jawab Alif, merasa lebih berani dalam mengekspresikan pikirannya.

"Bagus sekali. Dan bagaimana jika kita berlatih berbicara dengan Alfa secara langsung? Mungkin kita bisa menciptakan suasana di mana kamu bisa membicarakan hal-hal yang kamu rasakan," Dr. Amira menyarankan.

Alif mengangguk, merasa lebih siap. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh tantangan, tetapi setidaknya dia tidak sendirian. Dengan Dr. Amira di sampingnya, dia merasa lebih kuat untuk menghadapi kegelapan yang selama ini menyelimutinya.

---

Saat sesi berakhir, Alif keluar dari klinik dengan langkah yang lebih ringan. Dia menyadari bahwa perjalanan menuju kesembuhan tidaklah mudah, tetapi dia tidak lagi merasa terasing. Dia merasa seolah-olah sedang menemukan jalan untuk memahami dirinya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Alif bertekad untuk terus berbicara dengan Alfa. Dia ingin memastikan bahwa mereka berdua bisa bekerja sama dan saling melengkapi, bukan hanya berjuang satu sama lain. Mungkin, di ujung perjalanan ini, dia akan menemukan cara untuk menjadi utuh, menghadapi dunia dengan keberanian dan kebijaksanaan yang baru.

Di malam hari, sebelum tidur, Alif kembali membuka jurnalnya. Dia menulis beberapa refleksi tentang sesi hari itu dan tentang harapannya untuk masa depan. Dia menulis tentang kekuatan dan kelemahan, serta bagaimana kedua bagian dari dirinya bisa hidup dalam harmoni.

Dia tahu bahwa proses ini tidak akan instan. Akan ada saat-saat sulit, dan mungkin ada kembali ke kegelapan yang menakutkan. Tetapi dia bertekad untuk terus berjuang. Untuk kali pertama dalam waktu yang lama, Alif merasa memiliki harapan.

Ketika dia menutup jurnalnya dan mematikan lampu, dia berdoa agar esok hari menjadi lebih baik. Dia bersiap untuk menjelajahi ke dalam jiwanya, berharap untuk menemukan cahaya di balik kegelapan. Dan dengan itu, dia berbaring untuk tidur, membawa harapan baru di dalam hati.

---