16 Tahun kemudian...
Di dapur sederhana berwarna putih seorang gadis berambut hitam sebahu , berkulit sawo matang, sedang membuat sarapan. Masih pukul 05:00 dini hari, gadis itu menyiapkan sarapan untuk dua orang.
"Pagi Lunar." Salam pagi dari Pak Narendra Windiarto untuk putrinya.
"Pagi ayah. Aku sudah selesai masak, ayah makan duluan saja." Gadis bernama Lunar itu melepas celemek yang ia kenakan dan menggantungnya di gantungan dekat dapur.
"Aku akan memakai seragam, setelah itu sarapan." Lunar masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
Pak Narendra duduk di kursi sambil menunggu putrinya berganti baju. Melihat masakan yang dimasak oleh putrinya tampak lezat.
Lunar keluar dari kamarnya dengan mengenakan seragam SMA. "Ayah kenapa gak makan dulu?" Tanya Lunar.
"Bagaimana bisa ayah makan dulu sedangkan gadis cantik di rumah ini saja belum makan?" Ujar ayahnya dan tersenyum. Lunar terdiam sejenak, merasa risih saat di bilang cantik oleh ayahnya.
"Ayah. Jangan memanggilku cantik. Aku mau tampan seperti ayah." Canda Lunar setengah serius sambil bersikap seperti seorang guru.
"Heh? Kenapa malah ingin tampan? Tampan itu untuk laki-laki." Pak Narendra bingung dengan ucapan anaknya.
Lunar mengambil kursi dan duduk bersebrangan dengan ayahnya.
"Karena menjadi laki-laki itu enak dan gak ribet." Jawab Lunar. "Gak perlu banyak buang waktu untuk berias. Cukup pakai bedak atau bahkan tidak perlu." Lunar terus mengoceh tentang kelebihan penampilan fisik laki-laki.
"Selain itu laki-laki tidak perlu menguncir rambutnya karena rambutnya selalu pendek. Bahkan kalo di botakin gak akan ada yang protes."
Lunar mengikat rambutnya kebelakang, agak tidak menggangu saat ia makan. "Ugh!! Padahal rambutku cuma sebahu tapi risih nya minta ampun. Rasanya aku ingin botakin rambutku saja." Ujar Lunar sambil mengibas-ibaskan rambutnya yang tidak ikut terkuncir.
Pak Narendra menjitak kepala Lunar sedikit keras. "Aduh!! Anak perempuan masa sikapnya kayak gitu."
"Ahh!! Persetan dengan komentar tetangga. Aku mau botakin rambutku saja!!" Ujar Lunar dengan kesal.
"Kalo kamu botakin, aku akan mengurungmu di kamar."
"Kurung saja. Emang ini pertama kalinya aku kabur?" Lunar menjulurkan lidahnya, meledek bahwa ayahnya tidak bisa mengurungnya dalam waktu lama. Karena sudah beberapa kali ia kabur dari rumah dan bikin panik ayahnya. Padahal ia hanya pergi ke pinggir kali cuma buat mancing di tengah malam.
Pak Narendra menghela napas panjang, pusing memikirkan tingkah unik putrinya yang tomboy itu.
"Lain kali kalo mau keluar, izin dari ayah dulu. Jangan bikin ayah panik karena kamu hilang."
"Kalo izin namanya bukan kabur, Yah." Pak Narendra kembali menjitak putrinya yang unik itu.
"Sudahlah, ayo makan. Sayang kan kalau masakan yang kamu masak dimakan saat sudah dingin." Pak Narendra mengambil sendok yang tertata rapi di atas meja makan. Memakan sesuap dan memuji masakan putrinya.
"Masakanmu enak sekali, Lunar. Aku bertanya-tanya bakat memasakmu ini dari siapa ya." Ujar Pak Narendra.
"Apakah dari ibu? Apa ibu pintar memasak?" Tanya Lunar.
"Tidak. Ibumu tidak berbakat dalam memasak. Kalau saja ibumu masih hidup, mungkin ia akan memintamu untuk mengajarinya." Canda Pak Narendra.
"Bilang saja kalau ayah mau memuji diri sendiri bahwa kemampuan memasakku turunan dari ayah." Ledek Lunar. Ayahnya tertawa terbahak-bahak, melihat putrinya menyindir dirinya.
"Ahaha.. Hah... Ngomong-ngomong apa kamu gak sabar untuk ke sekolah? Padahal gerbang sekolah di tutup jam 07:00 pagi. Apa karena ini hari pertamamu di SMA." Ucap Pak Narendra, mengalihkan pembicaraan. Lunar cemberut. Ayahnya selalu saja mengalihkan pembicaraan saat ia meledek ayahnya.
"Gak juga sih. Aku hanya gak mau dapat bangku paling belakang pojok, atau bangku paling depan dekat guru." Lunar menghela napas kesal. Pak Narendra bisa memahami perasaan putrinya. Duduk di pojokan belakang sama sekali tidak menyenangkan, apalagi jika paling depan dekat guru. Sikapnya sangat mirip dengan dirinya semasa sekolah dulu.
"Hahaha... Sudahlah. Cepat selesaikan makanmu yang kamu masak sendiri." Pintah Pak Narendra.
"Mau balapan makan?"
"Nanti tersedak. Ayah tidak tanggung jawab, loh." Mereka bercanda dan menghabiskan sarapan mereka. Suasananya terasa hangat walau hanya berdua saja.
***
06:30 pagi...
Seorang gadis dengan kulit putih duduk di meja rias dan menyisir rambut hitamnya yang terurai indah kebawah.
"Nona. Nyonya dan Tuan Besar sudah menunggu di meja makan. Beliau meminta nona untuk segera turun." Ujar asisten rumah tangga tersebut.
Gadis itu mendecak kesal. " Iya iya. Aku akan segera turun."
"Anda sudah mengatakan itu 3 kali, nona. Tuan dan Nyonya sudah lama menunggu anda."
Gadis itu menggebrak meja riasnya. "IYA!!! AKU SEGERA KE SANA!!" Teriak gadis itu.
Ia mengambil tas sekolahnya dan hendak membuka pintu dengan keras, namun ia menahannya. Gadis itu menarik napas, meredam amarahnya. Ia membuka pintu seperti biasa.
"Aku sudah bilang, kan. Aku akan segera turun." Ia melewati art yang memintanya untuk turun dengan sombong.
Ia turun dari tangga dan berhenti sejenak di pintu putih, pintu ruang makan. Berusaha mengatur napasnya seakan-akan ia tidak sedang kesal atau marah.
Ia membuka pintu dan menyapa dengan senyum ceria orang tuanya yang sudah duduk di meja makan.
"Papa, mama!! Maaf karena membuat kalian menunggu!!" Ucap gadis itu dengan riang. Ia mencium pipi papa dan mamanya, lalu duduk di sebelah kiri Papanya.
"Kamu kenapa lama sekali? Ini kan hari pertamamu masuk SMA." Ujar Papanya.
"Aduhh... Pak Windiarto Mahendrata. Jangan gitu. Tokoh utama selalu datang diakhir." Ujar gadis itu. Ia kembali berdiri dan merangkul bahu ayahnya.
"Tidak ada yang akan peduli meski kamu bilang kamu akan menjadi tokoh utama," Ucap Sang Mama yang berada di sebelah kanan Papanya. "Ini Kenyataan. Bukan film yang dimana kamu akan dilirik oleh banyak orang, Analise."
Raut wajahnya gadis bernama Analise itu sejenak terlihat kesal saat mamanya mengucapkan itu, namun langsung ia hilangkan rasa kesalnya itu.
"Aduhh... Mama... Jangan begitu dong." Ujar Analise dengan manja.
"Sudahlah Angelina. Analise, segera duduk dan sarapan. Kita harus segera berangkat sebelum kau terlambat sekolah." Ujar Pak Windiarto.
Analise segera duduk, dan menyantap sarapannya. Suasana saat sarapan hening dan canggung, menimbulkan rasa tidak nyaman di hati Analise.
"Papa. Dimana kakak?" Tanya Analise memecah keheningan.
"Kakakmu, sudah berangkat 30 menit yang lalu. Kamu terlalu lama untuk turun." Jawab Papanya dengan nada suara yang terdengar dingin. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara sendok makan.
_Ah... Kalo saja kakak masih mau menunggu lagi. Suasana disini tidak akan terlalu hening_
Pak Windiarto berdiri, ia sudah menyelesaikan makannya.
"Ayo cepat habiskan sarapanmu Analise. Papa akan menunggu di mobil. Jangan buat Papa menunggu lama, mengerti." Ujar Pak Windiarto. Ia langsung pergi tanpa berbalik lagi. Tidak ada senyuman sama sekali saat berbicara dengan putrinya.
Mamanya menggenggam tangan Analise dan tersenyum hangat.
"Jangan khawatir. Ayahmu memang seorang profesional dalam bersikap di perusahaannya. Sikapnya akan kembali hangat saat pulang kerja, mengerti." Ucap Wanita itu dengan hangat. Analise memang tidak suka sikap orang tuanya yang tidak bisa nyambung dalam candanya. Sikapnya terlalu serius dan dingin saat matahari terbit hingga sore hari. Saat matahari terbenam ketika semuanya pulang kerja dan berkumpul, suasana menjadi hangat layaknya keluarga.
Analise mengangguk mengerti apa yang diucapkan Mamanya dan segera menghabiskan sarapannya.
Hal yang terjadi di pagi hari seperti ini sudah biasa ia alami. Karena itu ia berharap kakaknya ikut sarapan bersama, agar ia tidak merasa tertekan dalam bertindak.