webnovel

Part-Time Husband

"Aku tidak memintamu jadi suami ideal atau ayah yang sempurna. Aku hanya memintamu jadi suami paruh waktu. Kamu boleh pergi ke mana saja, boleh melakukan apa saja, dan boleh bersama siapa saja. Namun, ketika kamu pulang, kamu adalah suamiku. Milikku."

Gusti_Riant · Urbain
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Bab 4: Hanya Pelarian

Malam rasanya begitu panjang. Aku tak bisa memejamkan mata walau hanya sebentar. Setiap menutup mata, bayang-bayang Tiara seolah membara dalam gelap. Bayang-bayang indah sekaligus menyakitkan yang ingin selalu kumiliki.

Aku masih tidak habis pikir apa yang telah dilakukannya. Kalau aku tidak mendengar langsung dari mulutnya, aku pasti tidak akan percaya. Dan sampai saat ini pun aku masih belum dan tidak ingin mempercayainya.

Aku duduk di meja belajar, mulai membaca log book kegiatan beberapa hari ini tentang klon, tanah, dan iklim terhadap kebun karet, demi melupakan rasa sakit ini. Namun, konsentrasiku selalu terpecah saat otakku bekerja sendiri untuk mengingatnya.

Akhirnya, aku menyerah. Aku menyandarkan tubuh pada sandaran kursi, lalu mengembuskan napas perlahan. Kuambil rokok di tas selempang, lalu menyulutnya. Menikmati perlahan saat nikotin memasuki kelenjar adrenalin dan merasakan sentakan energi di dalam darah dan jantungku.

Aku kembali mereka ulang semua kejadian. Mungkinkah Tiara melakukan semua itu? Aku sangat mengenalnya selama ini, tapi sepertinya belum cukup untuk mengetahui semua tentangnya. Padahal, hampir separuh hidupku selalu kuhabiskan bersamanya.

Aku terus menatap langit-langit kamar sambil membayangkan waktu-waktu yang telah kami lalui bersama. Indah dan menyenangkan. Penuh canda, tawa, kebersamaan dan saling memiliki.

Begitulah hidup, tak ada yang akan berjalan mulus selamanya. Ada saatnya, pertemuan akan mengantarkan pada kata pisah. Sebuah kebahagiaan selalu diiringi dengan air mata. Itu sudah pernah terjadi dalam hidupku, dan kali ini terulang lagi.

Aku terus terus mengingat kenangan-kenangan kami selama ini. Sementara, semburat jingga mulai mengintip di balik bukit. Menyinari pucuk-pucuk daun Karet yang dilapisi embun. Aku bangkit dari tempat tidur dengan wajah lesu, mengambil handuk di belakang pintu dan berjalan ke kamar mandi.

Ketika selesai mandi, kulihat Kakek sedang bersiap-siap ke kebun untuk menyadap getah. Waktu yang teoat menyadap karet memang pagi hari, antara pukul lima dan enam, karena pada jam itu tekanan turgor berada pada titik tertinggi. Aku meminta izin ke Kakek untuk kembali ke kota. Kakek mengizinkan tanpa bertanya apa yang terjadi, meski ia tahu aku sedang ada masalah dengan Tiara. Setelah itu, aku ke rumah Pak Arga agar mengantarku ke kota kabupaten.

Aku sedang membereskan semua barang-barang ketika Tiara melangkah masuk kamar. Aku berusaha mengabaikannya dan melanjutkan pekerjaan.

"Kau mau ke mana pagi-pagi sekali?" Tiara berjalan mendekat dengan wajah bingung. Ia meletakkan semangkuk oatmeal cokelat pisang dan susu rendah lemak di meja nakas. Sarapan favoritku.

"Ada beberapa hal yang harus kukerjakan." Aku memasukkan pakaianku secara sembarangan ke dalam ransel, lalu mengemas beberapa peralatan penelitianku, seperti hand spayer, gelar ukur, oven, kamera, dan bahan-bahan kimia.

Tiara hanya memandangku tanpa ekspresi selama beberapa saat. "Apa kau mau kembali ke Pekanbaru? Bukankah jadwalmu di sini selama seminggu. Ini baru hari keenam."

Aku memutar wajah ke arahnya. "Apa pedulimu aku mau pergi ke mana. Berhentilah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Aku hanya butuh sendiri untuk saat ini."

Tiara kaget mendengar perkataanku yang seperti itu. "Kau tidak mungkin meninggalkanku sendiri di sini 'kan? Kita datangnya bareng dan kembali pun harus bareng." Tiara berjalan mendekat. "Aku tahu, kau marah dan kecewa, tapi jangan bersikap seperti ini."

"Aku tidak kecewa, aku hanya hancur saja. Kau bisa kembali ke kota sendiri tanpaku. Kau 'kan sudah bisa melakukan berbagai hal tanpa melibatkanku?" Aku mengangkat ransel peralatan dan ransel pakaian keluar kamar. Aku pergi bukan tanpa pertimbangan. Aku tidak mungkin tega meninggalkannya seorang diri di tempat terpencil seperti ini tanpa ada yang menjaga. Masih ada Kakek—ayah dari ibu Tiara yang akan menjaga cucunya di sini.

Tiara mengikutiku keluar kamar. Aku meletakkan ransel di ruangan tamu, lalu mengemasi beberapa jurnal penelitian yang berserakan di meja.

"Kau tidak akan kembali lagi ke sini?" tanya Tiara lagi sambil berdiri di pintu yang menghubungkan dengan ruangan keluarga. "Apa yang harus kulakukan agar kau bisa memaafkanku?" Tiara mulai menangis sambil mencengkram pergelangan tanganku. Berusaha menahanku jangan pergi.

"Berhenti menangis, tidak akan mengubah apa-apa. Mulai sekarang, biasakan dirimu tanpa ada aku di sisimu. Mungkin kita tidak akan bertemu dalam waktu yang lama."

Tiara semakin erat mencengkeram pergelangan tanganku. "Kau mau ke mana, Don? Jangan pergi dengan cara seperti ini."

"Kau yang lebih dulu meninggalkanku. Jadi, jangan salahkan aku jika aku pergi."

"Tidak bisakah kau di sini dan kita bicarakan masalah ini secara baik-baik?"

Aku menggeleng. "Aku emang harus pergi dan menyelesaikan penelitian ini secepatnya. Perusahaan ingin data risetku dikirim minggu ini, karena mereka akan membuka perkebunan baru tahun depan di sini. Jadi, ada tim yang akan melakukan riset lanjutan untuk masalah tanah, curah hujan, air, dan sebagainya," kataku berusaha mencari alasan dan mulai membawa semua peralatan ke dalam mobil.

Tiara berusaha menghalangi jalanku. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan masalah yang belum selesai seperti ini. Kau hanya mencari alasan, aku tahu itu. Aku mengenalmu sejak dulu, jadi jangan coba-coba membohongiku."

"Jangan kekanakan, berhentilah melakukan hal-hal bodoh. Kau yang memulai semua ini, bukan aku!" Aku menepis kedua tangan Tiara yang terentang. Tiba-tiba, Tiara memelukku dari belakang. Sangat erat sekali. Aku menghela napas panjang dan berusaha melepaskan lingkaran tangannya dari tubuhku. Namun, Tiara mendekapnya semakin erat.

"Berhenti bersikap murahan. Aku tidak akan luluh hanya dengan air mata dan pelukanmu. Berikan pelukanmu kepada orang yang kau rasa pantas untuk mendapatkannya. Aku yang selama ini ada untukmu, nggak pantas untuk itu."

"Hanya kau yang pantas, Don. Kau satu-satunya laki-laki yang kucintai seperti ini. Kaulah selama ini yang ada di sisiku, bukan Zian. Zian hanya status pacar, tapi nggak pernah ada untukku. Ia selalu sibuk dengan segala pekerjaannya. Kau sebagai sahabat, selalu ada untukku. Kau melebihi kekasihku sendiri."

"Kau mengatakannya di saat yang salah dan kepada orang yang salah. Berapa kali harus kuingatkan, aku tidak pernah mencintaimu sebagai seorang wanita. Aku menyayangimu hanya sebagai sahabat. Tidakkah kau mengerti juga maksud perkataanku ini?"

Tiara melepaskan pelukannya. Ekspresinya hampa, seolah baru tersadar dari mimpi buruk, dan ternyata dunia nyata lebih buruk dari mimpi itu sendiri.

Aku membalikkan tubuh dan memandang gadis berambut panjang yang terpaku menatap tanah itu. "Sekarang kau tahu, bahwa aku nggak pernah mencintaimu. Aku nggak pernah menginginkanmu jadi kekasihku. Aku bersikap perhatian hanya untuk mengisi kebosananku. Kau hanya pelarian!"

"Lalu kenapa kau bersikap seperti ini? Jika kau tak miliki rasa padaku, kenapa kau lakukan semua ini? Kenapa kau ingin pergi? Jika kau tidak mencintaiku, aku akan menerimanya. Tapi, aku bingung dengan sikapmu seperti ini!"

Aku menatap Tiara cukup lama, kemudian membalikkan tubuh tanpa menjawab pertanyaan gadis itu. Karena kalau aku menjawabnya, sudah pasti akan mengatakan yang sebenarnya, karena aku sangat mencintainya. Perasaan itu takkan hilang begitu saja, meski ia telah menghancurkan seluruh hatiku, rasa itu tetap ada tanpa berkurang sedikit pun. Hanya saja, saat ini aku butuh ketenangan. Tanpa diganggu siapapun. Aku hanya ingin mengobati lukaku sendiri. Biarkan aku pergi dulu, jika aku kembali, berarti aku sudah bisa mengatasinya.