webnovel

TERJERAT

Prasetyo terlihat asyik berbincang-bincang malam itu dengan temannya para ojek online yang mangkal di depan sebuah warung ayam goreng. Laki-laki manis, berkulit putih, berdarah Jawa Tengah itu memiliki gaya bicara yang lemah lembut. Sesekali terlihat tersenyum lebar. Derai tawa sesekali terdengar nyaring ketika seorang dari mereka membuat candaan. Sesekali mereka juga terlihat serius. Di saat tidak ada orderan biasanya mereka memang mangkal di depan warung milik Pak Paidi di bilangan jalan Wilis kota M.

"Kalian ada tahu kabar beberapa hari ini ada ditemukan mayat laki-laki telanjang yang ditemukan di beberapa sudut kota?" tanya seseorang yang berambut keriting dan kumisnya tebal menggumpal di bawah hidungnya.

Semua orang tiba-tiba senyap ingin mendengar cerita si Kumis.

"Aku dapat kabar yang tersiar katanya tak ada bekas kekerasan apalagi bekas sidik jari di badan si mayat. Tapi baju-bajunya tegeletak begitu saja di sebelah korban. Hmm...bener-bener misterius," terang si Kumis dengan wajah serius.

Semua orang yang hadir terlihat serius dan penasaran mendengar cerita si Kumis.

"Dimana kejadiannya, saya kok tak tahu kabar apa-apa?" tanya seorang laki-laki yang berbadan gemuk.

"Owh itu kah, kalau tak salah yang ada di Singosari itu ya kejadiannya?" ucap seorang laki-laki yang berkalung masker kain di lehernya.

Sisanya masih dengan wajah serius mendengarkan kelanjutan cerita.

"Benar, yang itu. Serius, iparku polisi bagian kriminal yang menangani kasus ini. Kelihatannya mereka tidak mendapatkan titik terang sama sekali. Makanya mereka mau pakai jasa orang pintar untuk mencari titik terang. Tapi lagi-lagi hal aneh mulai terjadi saat si dukun datang di tempat kejadian perkara. Si Dukun tiba-tiba langsung lari terbirit-birit saat mulai ritual," lanjut si Kumis. "Hiiy benar-benar misterius. Jadi lebih baik hindari jalan sekitaran situ, kalau tak mau kehilanga nyawa," ucap si Kumis sambil bergidik.

Gawai Prasetyo berdering, dia mendapat order jemputan di sekitaran Singosari. Wah, Lewat daerah yang di ceritakan sama si Kumis! Batin Prasetyo.

Hatinya langsung berdetak cepat. Bayang-bayang istri dan anaknya yang membutuhkan uang belanja untuk esok mulai terbayang. Mumpung ada orderan agar dapat uang malam ini. Demi anak istri dan dapur yang berasap. Prasetyo akhirnya mengiyakan dan segera pamit pada teman-temannya.

"Nang endi kowe Pras?" tanya si Kumis

"Daerah B, Singosari," ucap Prasetyo santai.

Wajah kawan-kawannya langsung berubah serius.

"Lha itu kan TKP pembunuhan itu, yakin kamu mau jemput orang kesana?" ucap si Gemuk lalu menyeruput kopi hitamnya.

"Lha bagaimana lagi Mas. Kami butuh uang buat besok," ucap Prasetyo sambil memasang helmnya lalu mulai menyalakan sepeda motornya.

Prasetyo melaju menembus dinginnya malam ke wilayah Singosari. Dinginnya malam di kota M membuat tulang Prasetyo sedikit ngilu karena dinginnya menembus jaket yang berlogo ojek online yang terkenal di negeri +62. Prasetyo mulai masuk jalanan kampung yang beraspal dengan rumah warga yang padat di kanan kiri. Semakin masuk ke dalam, rumah sudah mulai jarang-jarang. Jalanan mulai berbatu-batu besar tapi masih bisa dilewati dengan aman. Ada sebuah warung di ujung kampung, di persimpangan jalan. Warung itu terlihat ramai orang. Wah di ujung kampung yang sepi ada warung yang ramai seperti ini, pikir Prasetyo. Ada sekitar empat mobil dan dua sepeda motor yang terparkir rapi di depan warung yang terlihat terang benderang. Suara musik dangdut terdengar sampai pinggir jalan. Prasetyo memarkir sepeda motornya di sebelah mobil berwarna hitam. Belum sempat Prasetyo menelepon klien, seorang gadis cantik berbaju kaos sepak bola warna merah dengan celana jins ketat datang sambil melambaikan tangannya. Gadis berambut pendek di bawah telinga itu menenteng jaket dan tas ransel kecilnya, berjalan menuju Prasetyo dengan senyum termanisnya. Sungguh, jika tidak ingat ada yang menunggu di rumah, Prasetyo pasti akan tergoda dengan si Gadis Berkaos Olah raga. Kulitnya putih bak pualam, giginya rapi putih dengan rambut terurai di semir cokelat. Bibirnya berwarna merah muda ranum dengan make up minimalis ala Korea dengan eyeliner menajamkan matanya.

"Saya yang pesan ojol Mas, antar ke jalan Sulfat ya," pinta si Gadis berbaju sepak bola.

Prasetyo yang tak sempat membuka helm pun menganggukkan kepalanya lalu mulai menyalakan sepeda motornya. Dia berikan sebuah helm kepada si Gadis. Mereka menembus lengangnya jalanan kampung menuju jalan raya yang ramai. Melaju di tengah keramaian lalu lintas di kota M membutuhkan kesabaran, apalagi ketika berhenti di tiap pojok lampu lalu lintas. Si Gadis hanya diam saja membonceng di belakang, tak bersuara, tapi terasa tangan si Gadis sedang memegang erat pada jaketnya di pinggang. Sekitar beberapa menit sampailah mereka di depan sebuah rumah yang besar di pinggiran jalan Sulfat yang lengang. Rumah bercat krem dengan lampu gantung besar menerangi teras. Gadis itu pun turun lalu memberikan helm milik Prasetyo. Masih dengan senyum menawannya, si Gadis membayar jasa Prasetyo.

"Terima kasih ya Mas. Sampai jumpa lagi," ucap si Gadis sambil melambaikan tangan lalu masuk melewati pagar rumah. Prasetyo pun memutar balik kendaraannya lalu melaju kembali dalam gelap malam menuju pangkalan ojol.

"Pras, wajahmu kenapa kok kelihatan pucat akhir-akhir ini?" tanya Pak Paidi sambil membawakan kopi hitam buat Prasetyo.

"Tak apa-apa Pak, mungkin kurang istirahat saja," ucap Prasetyo datar.

"Jangan narik terlalu keras, kasian yang di rumah kalau saja nanti kamu malah jatuh sakit, gak bisa kerja," nasehat Pak Paidi.

"Inggih Pak," jawab Prasetyo santun.

Sambil menyeruput kopinya yang suam-suam kuku, pikiran Prasetyo ingat Lastri istrinya di rumah. Perempuan sederhana itu menjadi istrinya sejak 8 tahun yang lalu. Dikarunia dua orang anak yang lucu-lucu, menggenapi kebahagiaan hidup mereka.

"Mas, saya baru dapat ini dari kajian sama Ustdzah Tri di Masjid Kampung Kidul. Kita dawamkan baca ini ya tiap pagi sore," pinta Lastri sambil memberikan sebuah buku saku kecil kepadanya. Prasetyo membaca sampul buku itu, "Dzikir Pagi Sore Sesuai Tuntunan Nabi". Dibukanya halaman demi halaman buku saku itu dan dibacanya. Oh, ternyata fungsi zikir itu untuk penjagaan dan perlindungan sesuai dengan tuntunan Nabi agar terhindar dari gangguan setan, sihir dan hal-hal buruk lainnya. Prasetyo membaca isinya dan melafalkannya walau terasa sulit bagi lisannya untuk membaca tulisan-tulisan Arab itu.

"Kita hafalin sama-sama ya Mas, setidaknya kita harus mulai berubah dan mengikuti jalan hidup ala kanjeng Nabi sedikit demi sedikit," ujar Lastri sambil mengulas senyum manisnya. Perempuan yang menjadi tambatan hatinya itu sudah sebulan ini rajin ikut kajian di Masjid Kampung Kidul. Beberapa kali Lastri mengajaknya untuk sekedar mendengarkan tausyiah, tapi Prasetyo tak punya waktu memenuhi keinginan istrinya itu. Dia disibukkan dengan mencari nafkah di jalanan tiap hari.

Hampir enam hari tiap malam dan jam yang sama, Prasetyo selalu mendapatkan orderan dari Si Gadis untuk menjemputnya di warung dan pulang ke jalan Sulfat seperti biasa. Tak ada obrolan yang berarti, bahkan Prasetyo sendiri tak tahu nama si Gadis. Sampai pada malam ke tujuh, Prasetyo duduk termangu di depan warung Pak Paidi. Dia menunggu orderan dari si Gadis, tapi kok tumben jam sekian tak ada informasi yang masuk. Jam sudah menunjukkan jam 12 malam tiba-tiba Prasetyo mendapatkan orderan dari si Gadis untuk menjemput lagi di warung. Prasetyo pun berangkat dengan semangat. Hampir setiap malam bertemu dengan si Gadis, Prasetyo merasa ada yang aneh jika tak ada order darinya. Setiap kali angin malam semilir berdua berkendaraan, bau udara malam seakan berbaur dengan bau parfum yang harum khas si Gadis. Baunya lembut seperti bau bunga mawar, tapi tak murni mawar. Entah tiba-tiba Prasetyo merindukan bau itu. Seakan sudah hafal baunya, dan memenuhi ruang pernafasannya.

Prasetyo sampai di depan warung di ujung kampung yang terlihat ramai tiap malam. Tak kurang dari empat mobil dan beberapa sepeda motor terparkir di depan warung yang bercat warna hijau muda itu. Warungnya lumayan besar dan terlihat selalu ramai orang. Prasetyo memang tak pernah masuk ke dalam warung, dia selalu menunggu si Gadis di luar. Seorang perempuan cantik berkaos merah muda ketat dengan rok hitam selutut terlihat keluar dari warung. Bukan si Gadis, pikir Prasetyo. Wajah perempuan itu terlihat cemas.

"Mas, minta tolong bantu saya memapah si Putri, dia tadi pingsan ini badannya masih lemes katanya," ujar si perempuan berkaos merah muda. Prasetyo pun membuka helmnya lalu mengikuti si perempuan dari belakang lalu masuk ke dalam warung yang hingar bingar. Prasetyo melihat beberapa orang sedang menikmati malam bersama para ladies, dan ada yang asyik menyanyi karaokean.

Prasetyo mengikuti langkah perempuan berkaos merah muda masuk ke sebuah kamar yang sederhana dan hanya ada sebuah tempat tidur dan meja kecil di pojok kamar. Prasetyo melihat si Gadis yang ternyata bernama Putri itu sedang terbaring lemah di atas tempat tidur. Prasetyo membantu memapah si Putri keluar warung menuju sepeda motornya.

"Kamu yakin kuat hanya bersepeda motor Mbak?" tanya Prasetyo agak tak yakin dengan kondisi si Gadis yang bisa kapan saja terkulai lalu jatuh dari sepeda motor. Bau mawar menguat ketika tubuh si Gadis dipapah Prasetyo.

"Hemm, aku kuat kok Mas, bisa. Antar aku ke dekat jembatan sulfat ya mas, ada rumah saudara di situ, aku tak mau pulang ke rumah," terang si Gadis.

"Baiklah," ucap Prasetyo lalu menyalakan sepeda motor. Mereka berdua berkendaraan menembus jalan raya menuju ke tempat yang diinginkan si Gadis.

Selama perjalanan tak ada perbincangan, tapi Prasetyo bisa mendengar si Gadis menangis sesenggukan di belakangnya. Tiba-tiba si Gadis memeluk pinggangnya dan meletakkan kepalanya ke punggung Prasetyo. Laki-laki itu tak menolak. Setibanya di wilayah dekat jembatan Sulfat, si Gadis minta Prasetyo berhenti sebentar di pinggir jalan. Laki-laki itu menuruti permintaan si Gadis, lalu berhenti di pinggir jalan di dekat tanah kosong yang lengang. Si Gadis melepas helm lalu berjalan kea rah tanah kosong dan berjongkok di sana. Prasetyo melihat si Gadis muntah-muntah hebat. Prasetyo pun turun dari sepeda motor lalu mendekati si Gadis karena merasa kasihan, kalau saja terjadi apa-apa. Gadis itu lalu bermundur sedikit lalu terduduk. Wajahnya penuh dengan peluh bercampur air mata. Diusapnya wajahnya dengan lengan jaketnya.

"Mbak tidak apa-apa kan?" tanya Prasetyo.

"Tak apa-apa Mas," jawab si Gadis masih duduk dengan wajah yang sudah mulai cerah seakan muntah-muntah tadi mengeluarkan semua yang menjadi beban batin dan sakit di badannya.

Prasetyo berjongkok di sebelah si Gadis.

"Duduk dulu, saya masih lemes Mas," ucap si Gadis

Praetyo pun dengan sabar menunggu kondisi si Gadis pulih dan duduk di sebelahnya. TIba-tiba si Gadis menangis sesenggukan lagi yang membuat Prasetyo heran. Si Gadis meletakkan kepalanya ke pundak Prasetyo. Laki-laki itu tak menolak, dia hanya diam dan menyediakan pundaknya untuk perempuan yang sedang kesusahan. Bau harum mawar merasuk jiwa Prasetyo, dia merasa agak limbung. Si Gadis melingkarkan tangannya ke leher Prasetyo dan tiba-tiba semua menjadi menggelora. Mereka di kuasai nafsu dalam kegelapan malam di sebuah tanah kosong. Pikiran Prasetyo semakin tak karuan, dia hanya memikirkan sosok Gadis yang ada di hadapannya. Tiba-tiba sekelebat bayangan Lastri yang tersenyum padanya waktu memberikan buku zikir waktu itu, menyadarkan Prasetyo sesaat, bahwa yang dia lakukan tak patut dan tak terhormat. Astaghfirullah, au'dzubikalimatillahtammati minsyarimaa kholaq, selarik doa dia ucapkan dalam hati. Tiba-tiba saja bau mawar yang merasuk memenuhi hidungnya berubah menjadi bau anyir darah. Dilihatnya sosok yang ada di atas tubuhnya berubah menjadi makhluk yang bertaring, berbadan kurus dengan tanduk seperti kambing sedang menyeringai meneteskan air liurnya yang beleleran di atas dadanya.

"Whoooaaa,"

Prasetyo lari tunggang langgang dan hanya bercelana panjang tak sempat membawa bajunya. Sepeda motornya pun ditinggal begitu saja. Sampai dia pingsan persis di pinggir jalan raya yang ramai kendaraan. Ribut orang berhenti lalu memeriksa kondisi Prasetyo.

Dua hari Prasetyo sakit panas. Dia tak bisa bekerja. Seminggu kemudian, dia beranikan diri mencari warung tempat si Gadis Hantu itu bekerja. Sampai suatu sore menjelang magrib, dia sampai di lokasi yang seharusnya berdiri sebuah warung yang besar dan ramai. Yang dia lihat malah sebuah lahan kosong dengan police line terpasang di seputaran lahan itu. Tiba-tiba sebuah cahaya temaram makin membesar dan membayang sebuah warung bercat hijau yang sedang ramai dengan para ladies dan pengunjungnya. Prasetyo langsung membaca ta'awudz lalu dengan kaki yang gemetaran karena ketakutan, dia menyalakan sepeda motornya lalu melaju dengan kencang meninggalkan pojok kampung itu.