webnovel

PENDAR CINTA DI TEPI SUNGAI ELBE (3)

Nina hanya duduk termangu di ruang tengah setelah Ayu pergi. Mendung menyapa hati Nina. Dia akhirnya harus menyerah dengan keteguhan hati dan kewarasannya. Nina menangis, seakan belum mengikhlaskan semua yang terjadi. Cerita Ayu tentang kisah cinta Lintang pada Kartika yang membuat Nina sedih. Laki-laki itu menikahinya hanya karena dirinya mirip dengan kekasihnya yang sudah meninggal. Dia diperalat oleh orang-orang disekitarnya agar mau menikah dengan Lintang. Nina merasa menjadi manusia terbodoh di atas muka bumi. Perasaannya dimanipulasi. Nina mengucap istighfar dalam hatinya agar mendapatkan ketenangan.

Gawainya tiba-tiba berbunyi. Nama Handika tertera di situ. Tumben laki-laki itu menelepon. Nina menyeka airmata dan ingusnya. Dia mencoba untuk tenang saat menerima telepon Handika. Dia pastikan suaranya terdengar baik-baik saja.

"Nina, aku dengar kabar kau ke Jerman?" tanya Handika setelah basa basi menanyakan kabar. Suara Handika terdengar sedih di seberang sana.

"Iya Dik, mungkin aku akan berhenti kuliah sementara waktu dan mencoba untuk meneruskan kuliah di sini," terang Nina.

Suara nafas Handika terdengar berat di telinga Nina.

"Ada yang ingin ku sampaikan kepadamu. Daripada aku tak bisa tenang menjalani hidup di sini. Aku benar-benar gundah saat mendengar kau menikah dan saat ini malah ke luar negeri,"

"Kau ingin cerita apa, sampaikan saja, aku akan mendengarkanmu," ucap Nina.

Saat Nina menerima telepon dari Handika. Lintang mengucap salam dan masuk ke dalam rumah. Melihat istrinya sedang sibuk menerima telepon, dia tak ingin mengganggu. Lintang mendengarkan dengan seksama suara laki-laki yang sedang menelepon Nina. Pacar Nina? Lintang langsung buruk sangka.

"Nina, kamu masih ingat anak laki-laki yang pernah kau tolong saat jatuh terpeleset di sungai dekat rumahmu, dan hampir mati tenggelam?" tanya Handika.

Nina langsung ingat kejadian itu. Apa yang sebenarnya menjadi rahasia Handika. Tidakkah yang tenggelam itu adalah Lintang, suaminya? Pikiran Nina berkelindan penuh tanya.

"Na, itu aku. Sejak saat itu aku selalu berharap suatu saat bisa membalas budi baikmu padaku. Tapi kiranya terlambat sudah. Kenapa kau harus menikah dengan laki-laki lain dan pergi jauh dariku?" terang Handika yang menyebabkan otak Nina seakan diterjang badai. Nina bingung. Bagaimana bisa ada dua laki-laki yang menyatakan diri sebagai anak laki-laki yang dia tolong di masa lalu. Handika? ataukah Lintang? Siapa di antara mereka yang berbohong? Nina tak lagi mendengarkan semua perkataan Handika. Dia langsung menutup telepon dan berlari masuk ke kamar Lintang. Dia membuka pintu dan berdiri tepat di depan Lintang yang sedang ganti baju. Nina berpikir pasti Lintang yang berbohong. Bisa jadi kumbang badak dalam kotak kaca itu sudah di rencanakan oleh Ayu dan Lintang sebelumnya. Karena hanya Ayu saja yang tahu cerita tentang anak laki-laki yang tenggelam dan kumbang badak.

"Kau pembohong. Kau sudah membohongiku tentang kumbang badak dan kenangan anak laki-laki yang tenggelam itu," cerca Nina pada Lintang.

Nina mendengus kesal dengan isak tangis yang pecah kembali. Lintang terbengong, lalu dia mulai sadar apa maksud dari omelan Nina dan mengapa Nina begitu marah padanya.

"Maafkan aku,"hanya itu yang terucap dari bibir Lintang.

Nina berlari keluar kamar Lintang dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Nina menangis terisak sambil bersandar di pintu. Hatinya sakit, teramat sedih dan sakit.

"Haaah, aku memang bodoh. Aku yang bodoh mau percaya terhadap semua bualanmu!" teriak Nina pada Lintang. Lintang terus menggedor pintu sambil memanggil Nina, tapi Nina tak mau membuka pintu kamar. Nina terisak di atas tempat tidurnya. Dia merasa hancur, apalagi menyadari kalau dirinya saat ini hanya diperalat saja oleh orang-orang yang dia cintai. Lintang masih menggendor-gendor pintu kamar memanggil Nina, dan berkata minta maaf. Lintang minta Nina memberi kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Nina tidak peduli, dia tutupi kepalanya dengan bantal. Dia menangis sampai lelah dan tertidur.

Alarm berbunyi menunjukkan waktu sholat dhuhur waktu Dresden. Nina duduk di ranjangnya dan mencoba menenangkan diri. Tak ada lagi suara Lintang di depan pintu. Nina ingin pergi dari rumah itu. Tapi kemana dia akan pergi. Dihubunginya nomer Ayu. Dia ingin segera dijemput di Pirna. Tapi Ayu tak bisa karena sedang sibuk bekerja sambilan. Ayu menunggu Nina di pinggiran Sungai Elbe, di Brὕhl's Terrace. Nina menyanggupi. Nina memasukkan semua bajunya ke dalam koper dan membawa tas ranselnya. Sebenarnya Nina tahu yang dilakukannya tidak boleh dilakukan oleh seorang istri. Sekali melangkahkan kaki keluar rumah tanpa izin suami adalah dosa. Tapi hati Nina sudah berkecamuk demikian dahsyatnya dan dia membutuhkan ketenangan, sampai dia siap berbicara dengan Lintang. Nina keluar kamar, lengang, entah kemana Lintang pergi. Dengan mengendap-endap dia langkahkan kaki keluar rumah, dalam dinginnya udara dia seret kopernya dan mencari halte bus terdekat. Cintanya gugur sebelum berkembang, bak daun Mapple yang jatuh tertiup angin di musim gugur kala itu.

***

Dua hari Nina hanya bengong duduk di sofa apartemen Ayu di pusat kota. Dia tak tahu harus seperti apa dan bagaimana. Dia ingin pulang ke Indonesia, tapi jika masalah tak diselesaikan maka hanya akan jadi bom waktu. Dia tak ingin pulang ke Indonesia tanpa menyelesaikan masalah dengan Lintang. Apa yang akan orang tua mereka katakan jika mereka diterpa masalah di saat seharusnya mereka merasakan manisnya madu cinta. Akan jadi bahan tertawaan tetangga jika tiba-tiba Nina pulang ke Yogyakarta tanpa Lintang. Di satu sisi Nina benci pada Lintang yang sudah memanipulasi perasaannya. Nina menderaskan istighfar lalu menghela nafas panjang. Terasa berat di hati. Kepalanya pusing, dan tengkuknya terasa kaku.

Suara getar gawai di atas meja mengalihkan pikirannya. Dalam dua hari ini dia tak menerima panggilan suaminya. Bahkan sampai lima puluh kali sehari Lintang mencoba menghubunginya, tapi Nina selalu mengabaikannya. Siapa tahu Lintang akan capek sendiri dengan diamnya Nina.

"Eh tuh panggilan di angkat. Bosen aku dengar suara getar gawaimu sejak kemarin tak ada henti-hentinya," tegur Ayu sambil keluar kamar untuk berangkat kerja.

"Pulang sana, kamu punya rumah, punya suami, urusi rumah tanggamu. Di sini kamu hanya akan menambahi bebanku,"

Nina melempar Ayu dengan bantal, tapi kali ini Ayu bisa menangkapnya. "Bukannya kamu yang membikin aku seperti ini. Kakak jahat. Egois!" teriak Nina pada Ayu yang malah membuat panas hatinya berkobar kembali. Ayu pun ngeloyor pergi keluar apartemen tanpa membalas teriakan Nina. Dia tahu dia bersalah, tapi Ayu melakukannya semata demi menjaga nama baik keluarga Mertodimejo agar tetap bisa melaksanakan wasiat kakeknya.Ayu tak bisa, Nina harus menggantikan. Hanya saja Nina belum paham tentang hal ini. Ayu menarik nafas panjang, berjalan keluar gedung untuk pergi bekerja menghidupi dirinya sendiri.

Gawai Nina bergetar kembali. Dia mengambil gawai dan mematikannya. Tapi sebelum dimatikan, sebuah pesan masuk dari Lintang. Sebuah foto dikirim melalui aplikasi. Nina mengunduh foto itu yang ternyata foto Lintang yang mewek seperti anak kucing dengan telinga dan mata yang berkedip-kedip. Nina tersenyum. Sebuah pesan muncul. "Pulanglah. Anak kucingmu kelaparan minta makan," . Nina tersenyum geli. Lalu dia sadar akan senyum dan perasaannya atas pesan yang dikirim oleh Lintang. Senyum Nina menghilang, lalu dimatikannya gawainya, dan dilemparkannya begitu saja ke pojok sofa. Nina diam sebentar memandangi gawainya. Diambilnya gawainya lalu di nyalakannya kembali. Dia mengirim sebuah pesan kepada Lintang. "Baiklah, aku siap mendengar alasanmu. Kita bertemu di Brὕhl's Terrace jam 9 ini,". Nina menghela nafas. Dia siap bertemu kembali dengan Lintang. Apakah berakhir dengan damai ataukah perpisahan, Nina tak bisa menentukan, karena tergantung hasil pembicaraannya nanti.

Nina berdiri di Brὕhl's Terrace menunggu Lintang datang. Dia memandang ke arah Sungai Elbe yang mengalir tenang bak seorang ibu yang sedang menina bobokan perahu-perahu yang ada dalam pelukannya.

"Nina," panggil sebuah suara dari arah belakang.

Nina menoleh. Sosok Lintang berdiri sambil tersenyum kepadanya. Nina membuang muka dan pandangannya kembali ke arah sungai. Lintang pun berdiri di sampingnya sambil memandang ke arah sungai. Keheningan menyela di antara mereka. Tak ada yang memulai untuk berbicara.

"Aku..." ucap mereka bersama. Mereka pun tertawa kecil mencairkan suasana kaku yang terjadi.

"Kau duluan," ucap Lintang

"Aku minta maaf. Aku terlalu terbawa emosi. Seharusnya aku mendengarkan alasanmu melakukan semua ini," ucap Nina.

Lintang menatap Nina.

"Aku juga minta maaf. Pada awalnya aku memang tidak setuju dengan semua perjodohan yang dilakukan oleh keluarga kita. Makanya Ayu dan aku merencanakan semuanya. Kartika adalah masa laluku. Saat aku melihat fotomu yang dikirim oleh Ayu, aku pikir aku ingin menikahimu karena kau mirip Kartika. Tapi setelah semua ini aku berpikir aku mencintaimu karena kau adalah istriku, sebagai Nina seutuhnya. Sejak kau kuambil dari orang tuamu, berarti sudah menjadi tanggung jawabku untuk menanggung semua tentang dirimu. Maafkan aku!" terang Lintang.

Nina memandang Lintang lalu tersenyum. Lintang pun demikian.

"Apakah kau memaafkan aku?" tanya Lintang.

Nina menanggukkan kepala. Lintang pun spontan langsung memeluk Nina. Nina pun terkejut.

"Lintang...eh lintang. Malu ah dilihatin orang tuh," ucap Nina masih dalam pelukan Lintang. Senyum Lintang merekah, pelukannya makin dieratkan pada istrinya tak peduli orang disekelilingnya menatap mereka.