webnovel

PENDAR CINTA DI TEPI SUNGAI ELBE (1)

Malam mendekap hari. Sang surya baru saja bergulir ke ufuk barat dan menghilang. Suara orang di surau sedang membaca zikir bersama setelah sholat maghrib. Seorang gadis berkacamata memakai gamis berwarna merah muda dan berkerudung abu-abu masuk ke peron stasiun kereta Balapan, Solo. Dengan menyandang ransel di punggungnya dia berjalan menuju sebuah bangku panjang yang setengah isi. Mereka juga penumpang yang akan naik kereta jurusan Solo-Yogyakarta. Seorang bapak yang berdandan necis sibuk denga gawainya. Benda yang bernama gawai memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Serasa ada yang hilang jika tak ada di tangan. Kehilangannya bisa jadi lebih dikhawatirkan dibanding anak-anak dan waktu sholat. Si Bapak Necis asyik membuka sebuah aplikasi video dengan sebuah earphone di telinga. Bisa dipastikan bapak itu asyik dengan dunianya sendiri. Di sebelahnya seorang ibu yang menyusui bayinya. Di pojok bangku seorang laki-laki yang bercelana jins belel bertopi sedang asyik merokok tanpa mempedulikan sang ibu dan bayi yang ada di dekatnya. Sang ibu sebenarnya merasa terganggu. Tapi si Perokok asyik menghembuskan asap rokoknya ke udara. Tidakkah bahaya rokok lebih besar efeknya terhadap perokok pasif. Apalagi ada bayi yang sedang menyusu di sebelahnya. Sayang sekali tak ada ruang khusus menyusui di stasiun sehingga mau tak mau si ibu harus rela kelihatan auratnya karena sedang menyusui anaknya. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan hal-hal seperti ini. Tumben hari ini tak ada asongan yang berjualan. Bangku-bangku yang berjajar di sepanjang peron juga terisi orang yang sedang duduk. Yang tak kebagian tempat duduk mereka memilih berdiri sambil bersandar di dinding atau berjongkok di sepanjang selasar.

Gadis itu memperbaiki posisi kacamatanya. Dia seharusnya lebih memikirkan dirinya sendiri. Dia dalam sebuah masalah besar. Raut wajahnya memang tampak tenang, tapi dalam hatinya kebat kebit tak karuan seperti lentera yang tertiup angin. Diambilnya sebuah buku novel dari tas ranselnya yang berisi mukena dan beberapa diktat kuliah. Aah, mengapa tadi tidak pulang ke kos-kosan dulu menaruh buku baru pulang ke Yogya. Berat, toh tak sempat juga dia belajar kalau di rumah, pikirnya sambil memandangi isi tasnya yang menggembung kebanyakan isi. Tadi siang saat bubaran kuliah, sebuah pesan WA masuk dari ibunya. "Cepat pulang Na, kakakmu minggat,". Isi pesan itu membuat hatinya cenat cenut. Duuh, bikin ulah apalagi mbak Ayu nih? Tanyanya dalam hati. Mbak Ayu sebentar lagi mau lamaran dengan sebuah keluarga yang terhormat, kawan ayahnya. Kalau dia minggat, terus apa yang akan keluarganya katakan pada sang calon mertua. Apalagi tinggal tiga hari lagi, sang calon juga akan datang dari luar negeri.

Suara denting pemberitahuan bahwa kereta akan datang sebentar lagi membuat Nina, sang gadis berkacamata itu mempersiapkan diri. Dia masukkan buku bacaannya ke dalam tas. Sebuah kereta malam datang dengan lampunya yang berpendar dari kejauhan. Semakin dekat cahayanya semakin membesar dan menyilaukan mata. Kereta itu berhenti, dan para penumpang langsung menyerbu pintu-pintu kereta yang terbuka. Perjalanan Solo-Yogyakarta hanya 40 menitan. Setidaknya Nina bisa tiduran sebentar dalam kereta. Dia duduk di dekat jendela berseberangan dengan seorang perempuan paruh baya yang menggunakan kerudung kaos warna moka dan berjaket rajut. Di pangkuannya ada sebuah tas kulit sederhana. Sepatunya juga dari kulit imitasi. Wajahnya teduh tanpa polesan sama sekali. Perempuan itu tersenyum ramah pada Nina. Ciri khas orang Indonesia yang memang ramah terhadap siapa saja walau tak kenal sekalipun. Nina pun membalas dengan senyuman dan sedikit menganggukkan kepalanya memberi hormat pada yang lebih tua. Pandangannya pun beralih ke luar melalui jendela. Semua bergerak dengan cepat seakan bangunan-bangunan dan pohon-pohon yang ada di sepanjang rel berlarian di samping kereta. Mereka seakan melakukan perlombaan, walau sebenarnya kereta itulah yang berlari dengan kencang. Bulan purnama di langit mengikutinya kemana pun juga dia bergerak. Waktu kecil Nina sering berjalan sambil memperhatikan langit dan bulan. Dia agak kesal dan heran, mengapa bulan bisa mengikuti dirinya kemana saja dia pergi. Pandangan Nina kembali kepada perempuan yang ada di hadapannya. Perempuan itu memandang Nina dengan wajah sendu. Nina baru sadar itu.

"Mbaknya ke Yogya sendirian?" tanya perempuan itu.

"Inggih bu. Mau pulang kampung," jawab Nina

"Siapa namamu cah ayu?" tanya perempuan itu lagi.

"Nina bu," balas Nina sopan.

Perempuan itu tersenyum tapi sorot matanya sendu dan air matanya tiba-tiba menitik. Nina bingung, dan bertanya dalam hati ada apa dengan ibu ini.

"Ibu sakit?" tanya Nina dengan sopan.

"Ah tidak kok cah ayu, ibu hanya ingat anak perempuan ibu yang sudah tiada. Mohon maaf, wajahnya mirip kamu," terang perempuan sendu itu yang membuat Nina jadi ikut terharu. Nina tersenyum tapi tak tahu harus bicara apa untuk memberikan rasa nyaman di hati perempuan sendu itu agar berhenti bersedih.

"Anak perempuan saya meninggal karena Leukimia setahun yang lalu, mirip kamu, wajahnya, tingginya, hanya saja dia tak berkacamata," ceritanya.

"Inggih bu, yang sabar dan ikhlaskan inggih," akhirnya terucap kalimat untuk menenangkan untuk si perempuan sendu. Senyum pun akhirnya terulas dari bibir sang perempuan sendu.

"Rumahmu dimana Nduk?" tanya si Perempuan Sendu.

"Bantul bu, Njenengan?" Nina bertanya balik.

"Dekat sama Malioboro Nduk," jawab si Perempuan Sendu

Percakapan panjang pun terjadi untuk menghilangkan kebosanan. Sesekali mereka tertawa ditingkah suara kereta dan bunyi peluit. Tak terasa lebih empat puluh menit berlalu, dan mereka sudah sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Nina dan sang perempuan sendu saling berpamitan di depan stasiun. Nina melambaikan tangan pada perempuan sendu saat masuk ke dalam taksi dan membawanya pergi menghilang dari pandangan. Nina pun pulang naik taksi.

***

Raut wajah Nina terlihat syok. Dia duduk di sofa ruang keluarga bersama kedua orang tuanya. Bagaimana tidak syok, jika ulah kakaknya, si Ayu yang kabur dari rumah akhirnya berimbas pada dirinya. Ibunya baru saja menyampaikan pada dirinya agar menggantikan posisi Ayu sebagai mempelai keluarga Pramoedya. Begitu sampai rumah malam itu Nina diberitahu ibunya kalau kakak perempuannya itu kabur ke Jerman bersama seorang bule temannya. Padahal tiga hari lagi calon suaminya yang juga bekerja di Jerman akan pulang untuk melihat kakaknya. Mbak Ayu dan calonnya ini sejak kecil sudah dijodohkan. Nina bahkan tak tahu siapa dan bagaimana keluarga calon mertua mbak Ayu. Ayahnya bercerita perjodohan itu sesuai dengan wasiat kakek Nina agar menjodohkan anak pertama keluarga Mertodimejo dengan keluarga Pramoedya. Kakek mereka dengan kakek dari keuarga Pramoedya saling bersahabat sejak zaman revolusi. Mereka sama-sama mengangkat senjata sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Aah, nonsense dengan janji itu. Sebuah perjanjian yang tak masuk akal dan ngawur. Masa Nina harus menggantikan posisi Ayu sebagai calon mempelai. Hadeeuuh, pusing kepala Nina. Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke gawai ayahnya.

"Inggih Kang Mas, Wa'alaikumsalam," jawab ayahnya ketika panggilan itu diterima.

Ayahnya menerima telepon sambil berjalan ke arah dapur. Terdengar jelas mereka sedang membicarakan sesuatu tentang perjodohan. Wajah Nina menegang saat ayahnya berjalan kembali ke ruang keluarga dan mengatakan sesuatu yang seakan membuat kilat dan guntur datang menerpa dirinya bersamaan.

"Besok sore mereka datang mau melihat Nina. Si Lintang sudah datang tadi malam dari Jerman," terang ayahnya.

Oh namanya Lintang? Bagus, tapi apakah orangnya juga sebagus dan sebaik namanya? pikir Nina. Jujur saja Nina tak bisa menolak keinginan ayah dan ibunya. Sebagai anak yang berbakti, apakah pantas Nina menolak permintaan orang tuanya, walau harus mengorbankan dirinya sendiri dan segala idealismenya? Nina masih ingin kuliah di Solo melanjutkan sekolah keguruannya. Dia juga masih ingin kumpul bersama anak-anak binaannya di rumah literasi yang sudah dirintisnya bersama teman-teman satu offeringnya. Apakah dia akan kehilangan semuanya dan pindah ke Jerman? Belum lagi Nina akan kehilangan sosok Handika, anak jurusan Sejarah yang saat ini jadi idamannya, walau Nina tahu tak mungkin Nina pacaran. Nina tahu dosa. Tapi, Handikalah sosok yang dia inginkan sebagai imamnya kelak. Nina hanya bisa melamun di dalam kamarnya malam itu tanpa mampu sekejap pun memejamkan mata. Jam satu malam dia benar-benar baru bisa tidur.

***

Nina ada di dapur saat mendengar deru mobil masuk ke halaman rumah. Dia sudah bersiap-siap menyambut kedatangan keluarga Pramoedya. Ayah dan ibunya menyambut kedatangan tamu dengan ramah dan hangat. Setelah mempersilakan duduk dan ramah tamah, ibu menyuruh Nina keluar membawakan kue-kue dan minuman. Deg! Hati Nina langsung tak karuan. Nina berdiri dari tempat duduknya lalu berkaca dulu di cermin. Duh, gawat, bawah matanya terlihat hitam, sejak kapan si mata panda ini muncul? Pasti gegara Nina tak bisa tidur nyenyak tadi malam. Nina dalam balutan gamis hijau botol dan kerudung lebar berwarna hijau muda dengan hati-hati membawa makanan dalam nampan menuju ruang tamu. Nina menunduk memperhatikan langkah dan nampannya. Dia tidak berani melihat sosok-sosok yang ada di hadapannya. Sampai sebuah suara menegurnya.

"Loh kowe toh cah ayu," (Loh kamu toh anak cantik) ujar sebuah suara perempuan.

Nina mendongakkan kepala dan melihat si Perempuan Sendu duduk dihadapannya. Aaah, berarti perempuan sendu itu Bu Pramoedya, ibu Lintang. Anak mata Nina melirik ke arah laki-laki yang ada di sebelah ibu Pramoedya. Sosok Lintang juga memperhatikannya. Tatapan mereka saling bertaut. Semburat kemerahan memulas pipi Nina yang merasa malu. Lintang memakai hem biru terlihat rapi. Jenggot tipis menghiasi wajahnya. Kulitnya putih dengan wajah yang lebih mirip ibunya daripada bapaknya. Lintang nampaknya laki-laki baik. Tapi mengingat dia tinggal di luar negeri, imej yang ada bisa jadi hanya di luarnya saja yang baik, entah bagaimana perilaku dan isi otaknya. Apakah dia sosok yang bebas tanpa batas seperti halnya orang bule dan Ayu kakaknya? Jujur saja Nina langsung under estimate pada Lintang, mengingat tak sedikit orang Indonesia yang sudah lama tinggal di luar negeri akhirnya sikap dan pola pikirnya berubah. Seperti Ayu yang kuliah di Berlin dan sekarang minggat dengan bule kekasihnya.

"Inggih bu. Senang bisa ketemu ibu lagi," ucap Nina sambil tersenyum lalu mengambil tempat duduk di sebelah ibunya.

"Loh sudah kenal sama ibu Pram?" tanya ayah Nina

"Inggih Di Mas, kemarin malam pas pulang dari Solo kebetulan kami satu kereta," jawab ibu Pramoedya.

"Wah kebetulan itu. Jodoh...benar-benar berjodoh keluarga kita Di Mas," ucap pak Pramoedya.

Ayah dan ibu berdiskusi tentang rencana pernikahan tanpa menanyakan pendapat Nina. Lintang hanya mengikuti apa yang diputuskan oleh orang tuanya. Nina ingin berontak, tapi dia tak sanggup menyakiti hati kedua orang tuanya, yang sudah terluka oleh tingkah kakaknya. Fix, seminggu lagi pernikahan mereka akan dilakukan secara sederhana dengan mengundang pihak keluarga terlebih dahulu. Untuk walimahan bisa dilakukan sebulan kemudian sepulang kami bulan madu. Oh No! pekik hati Nina dalam hati.

***

Masa bergulir dengan cepat. Semingguan Nina dan keluarganya disibukkan dengan persiapan pernikahan. Mulai dari baju, mahar, catering, dan segala perlengkapan pesta. Nina tidak semangat sama sekali. Malah ibu dan ayahnya yang terlihat semangat melakukan ini itu demi Nina. Baju pernikahan Nina di pajang di kamar. Nina hanya diam memandangi baju putih dan kerudungnya yang bertabur kristal putih. Wow! Dia akan menikah. Dengan laki-laki yang sama sekali tidak dia kenal. Hebat kau Nina. Hidupmu jungkir balik hanya dalam sekejap gegara kakakmu! ucap Nina dalam hati. Dia merebahkan diri di tempat tidur. Dia tutup matanya, dan menghela nafas. Di luar kamarnya terdengar masih ramai orang masak-masak mempersiapkan besok pagi. Hari bersejarah buat Nina.

Pagi memancarkan sinar kuasan putih mentari di ufuk timur. Setelah subuh sang perias pengantin sudah mendandaninya. Nina duduk di meja rias kamarnya. Dia merasa tak percaya kalau itu adalah dirinya. Sebuah sentuhan keajaiban oleh sebuah polesan riasan, membuat Nina berubah menjadi sosok yang cantik dalam balutan baju pengantin berwarna putih, dengan kerudung warna senada. Setelah waktu dhuha prosesi ijab kabul dilaksanakan. Pernikahan Nina dan Lintang berjalan lancar. Nina duduk di ruang tengah mendengar prosesi ijab kabul yang dilakukan di ruang tamu. Dalam sekejap saja statusnya sudah berubah menjadi istri orang, padahal seminggu sebelumnya dia hanya seorang gadis lajang, mahasiswa sebuah universitas keguruan yang belum lulus. Acara berlangsung sampai waktu dhuhur.

Nina masuk ke dalam kamarnya yang berbau harum bunga sedap malam yang di letakkan di pojok-pojok kamar. Tak pernah dia mendapati kamarnya seharum itu kecuali hari ini. Kamar itu sudah dirapikan oleh ibu dan penghias kamar. Dia sudah jengah dengan segala macam riasan. Dia membuka perhiasan yang menempel ditubuhnya dan membuka kerudungnya. Dia bersihkan wajahnya. Acara sudah selesai. Di luar kamarnya masih sibuk orang-orang membersihkan bekas acara. Masih ada tamu yang bertahan untuk sekedar ngobrol dengan keluarganya dan juga Lintang. Dia ganti baju pengantinnya dengan gamis hariannya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Oh No! Lintang masuk begitu saja ke dalam kamar Nina yang membuatnya reflek langsung memakai kerudungnya. Lintang yang masih memakai baju pengantin putih sama terkejutnya dengan Nina.

"Ngapain kamu masuk ke sini. Izin dulu kek, ketuk pintu kek," omel Nina pada Lintang

Laki-laki tampan itu agak terkejut dengan reaksi Nina yang mengomel di hari pertama mereka.

"Loh, bukannya aku suamimu? Aku harus ganti baju. Terlalu panas pakai ini," terang Lintang sambil membuka bajunya.

"Stop stop jangan di teruskan, aku keluar dulu," pinta Nina yang wajahnya semu merah karena malu dan berjalan keluar kamar. Lintang yang melihat Nina keluar kamar pun hanya tersenyum.

Malam itu pun Nina tak mau masuk ke dalam kamar. Setelah sholat isya, dia lebih memilih berebah di depan televisi sambil menunggu Lintang tidur duluan. Dia pun belum terbiasa membuka kerudungnya dalam rumah, dia masih merasa Lintang orang asing. Orang tuanya sampai heran, dan menasehati agar Nina tidak berlebihan. Tapi Nina belum siap dengan semuanya. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dia ingin tidur di kamarnya, tapi dia takut Lintang. Rumah sudah sepi, ayah dan ibunya juga sudah tidur, hanya suara televisi yang menemani. Akhirnya Nina menyerah. Dia berjalan mengendap-endap masuk kamarnya. Perlahan dia membuka pintu dan melihat Lintang masih membaca buku di tempat tidur. Nina menghela nafas. Lintang pun menoleh melihat Nina membuka pintu perlahan.

"Kenapa kamu mengendap-endap seperti itu?" tanya Lintang melihat tingkah Nina yang aneh. "Sini, sebelah sini," pinta Lintang pada Nina agar duduk di sebelahnya. Nina hanya nyengir.

"Aku tidur di bawah ya. Kamu saja yang di atas," ucap Nina sambil mengambil bantal dan selimutnya. Dia pun merebahkan diri di karpet di bawah tempat tidur. Lintang yang melihat sikap Nina pun menggelengkan kepala. Nina tidur dengan baju lengkap, gamis, kerudung dan berkaos kaki. Nina meringkuk dalam selimutnya membelakangi tempat tidur. Dia merasa deg-degan tak berani menoleh ke belakang sama sekali. Tiba-tiba ada tangan-tangan kekar yang membungkus dirinya dengan selimut lalu diangkat begitu saja. Nina berteriak protes. Badan Nina di letakkan di atas kasur. Bruugh! Nina pun membuka selimutnya dan menghirup udara bebas. Dia melihat Lintang di sampingnya menatap dia dengan intens. Nina tak bisa berkata apa-apa. Nina sudah mau protes lagi, tapi Lintang langsung mengambil bantalnya lalu tidur di karpet. "Tidurlah, besok kita akan terbang jam 10 pagi ke Jerman. Perjalanannya membutuhkan waktu lama, selamat tidur. Jangan lupa berdoa," ucap Lintang pada Nina. Nina terbengong. Dia akhirnya tidur di kasur sendiri, dan Lintang tidur karpet bawah. Tak ada obrolan hangat ataupun kata-kata mesra.