webnovel

Secepat Suara Jentikan Jari

Kabar itu sedikit mengejutkan untukku. Bagaimana tidak? tiba-tiba saja Pram mengatakan jika ia akan singgah dengan keluarganya ke tempatku.

Aku mengindahkan apa yang menjadi keinginannya. Kukatakan jika saat itu aku sedang berada di kediaman nenekku. Dalam pikiranku ia akan datang bersama dengan kakak dan kakak iparnya yang sudah cukup kukenal. Tapi rupanya tidak demikian.

Tidak lama setelahnya, ia dan keluarganya pun datang. Maksudku keluarga di sini adalah keluarga seutuhnya. Ayah, ibu, kakak, dan adik-adiknya. Kedatangan mereka dengan jumlah yang cukup banyak benar-benar membuatku terkejut. Aku sama sekali tidak menyangka jika yang akan tiba adalah keluarga besarnya.

Sebagian besar dari keluarganya sudah pernah kujumpai, hanya satu dari kakaknya yang belum pernah sekalipun bersua denganku. Ini adalah kali pertama aku berjumpa dengannya.

Kehadiran mereka yang begitu mengejutkan lantas disambut hangat oleh nenek dan bibiku. Meskipun aku tahu ada sedikit keterkejutan di wajah mereka.

Ah tolong, jangan salahkan aku karena aku pun tidak tahu jika yang akan tiba dalam jumlah yang cukup besar. 

Kedatangan mereka ini benar-benar menyita perhatian cukup banyak orang yang tinggal di sekitar kediaman nenekku.

Sebagaimana nenekku, aku pun menyambut kedatangan mereka dengan senyuman yang benar-benar berusaha kusunggingkan untuk menutupi keterkejutanku. Begitu sampai pada Pram, ia segera meraih tanganku untuk ia genggam sesaat. Dari sorot matanya, kuyakin dia menyadari keterkejutanku. Ia tersenyum padaku dengan senyuman yang cukup menenangkan.

Nenek mempersilahkan mereka masuk. Di dalam mereka pun segera disambut oleh ayahku yang kebetulan sedang berada di sana. Cukup tegang aku menantikan bagaimana reaksi ayahku ketika bertemu dengan keluarga besar Pram yang begitu tiba-tiba. Aku menatapnya dengan penuh harapan, semoga ia tidak melakukan hal-hal aneh yang membuat keluarga Pram berpandangan buruk tentang keluargaku.

Ayah Pram berjalan semakin dekat untuk menghampiri ayahku, sedangkan ayahku tampak bingung bagaimana harus bersikap kepada ayah Pram.

Sepertinya ayah Pram mengerti apa yang menjadi kerisauan ayahku. Ia segera menyambut dan menggenggam tangan ayahku dengan erat. Ayah Pram berusaha menyesuaikan diri dengan ayahku. Mungkin saja ayah Pram mengerti jika ayahku tidak pernah menghadapi hal seperti ini, sehingga ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Sementara itu, ia sudah berulang kali menikahkan anak-anaknya, tentulah ia mengerti bagaimana cara bersikap.

Mendapat uluran tangan dan sambutan yang hangat, ayahku mulai sedikit merasa nyaman dan tenang berhadapan dengan ayah Pram. Selanjutnya ayahku pun menyambut uluran tangan dari anggota keluarga Pram yang lain.

Aku tidak yakin berapa jumlah keluarga Pram yang tiba saat itu. Yang pasti kursi tamu milik nenekku tidak mampu menampung keseluruhannya hingga membuat mereka terpaksa duduk lesehan di atas tikar yang sudah terbentang sebelumnya.

Jumlah orang yang cukup banyak membuat bibiku kewalahan untuk menjamu mereka seorang diri. Aku pun memilih untuk membantunya menjamu seluruh anggota keluarga Pram yang sudah duduk di tempatnya masing-masing. 

Kusuguhkan mereka minum dan beberapa camilan yang ada. Untunglah hari itu nenekku membuat beberapa makanan yang cukup banyak untuk dijual keesokan harinya. Makanan-makanan itulah yang kemudian disajikan kepada keluarga Pram.

Mereka terlihat cukup akrab dengan nenek. Terutama kakak ipar Pram yang sebelumnya sudah pernah bertemu dengan nenek, ia menjadi orang yang banyak berbicara dan memecah suasana canggung di antara kedua keluarga.

"Bil, udah kamu balik lagi aja ke sana, temenin yang lain" ujar bibiku

Mulainya aku ragu meninggalkan bibiku, karena aku berpikir jika tidak pantas rasanya membiarkan orang lain menyambut keluarga Pram yang tidak lain adalah kekasihku, dan menjamu mereka, sedangkan aku hanya berdiam diri.

Mendapati diriku yang tidak memberikan respon apapun, bibiku sekali lagi memintaku untuk kembali menemui mereka. Lantas aku pun mengindahkan perkataannya. Aku kembali menemui mereka dengan sepiring makanan yang sudah siap disajikan.

Ketika aku tiba, rupanya ibuku dan dua adik laki-lakiku sudah turut bergabung bersama dengan mereka. Dari raut wajah ibuku, ada sedikit kecanggungan. Aku memaklumi hal itu, seperti yang terjadi pada ayahku. Untunglah ibu Pram mengerti situasinya dan berusaha untuk mengurangi ketegangan yang dirasakan oleh ibuku.

Selepas meletakkan makanan yang semula kubawa, segera aku duduk tepat di samping Pram. Bersama keponakan dan adiknya yang sama-sama masih balita. Segera kuraih adik perempuannya, kubawa ia ke dalam pangkuanku.

Sudah amat terbiasa aku berbaur dengan keluarganya termasuk membawa adik bungsunya ini pergi bersama. Selepas disapih, adik bungsunya ini selalu kubawa pergi bersama dengan Pram atau terkadang kami membawa keponakan Pram yang paling kecil.

"Kenapa gak bilang kalau semua keluarga ikut? kan aku bisa siapin makanan yang banyak," bisikku pada Pram.

"Gak pa-pa, gak perlu repot, ini juga udah banyak. Bapa gak mau nyusahin" jawab Pram

Aku tahu maksudnya, memang ayah Pram adalah orang yang tidak pernah ingin merepotkan orang lain dalam hal apapun. Tapi tetap saja, kedatangan mereka yang tiba-tiba dan ketidaktersediaan makanan yang layak membuatku merasa sedikit malu.

Kedua keluargaku dan Pram banyak membicarakan banyak hal. Hanya sesekali kali ikut serta dalam pembicaraan mereka. Bukan karena tidak ingin terlibat, tapi perbincangan mereka hanya dipahami oleh orang-orang yang sudah menikah saja.

Sampai pada suatu waktu, tiba-tiba saja ayahku mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut, "Bagaimana kalau Pram dan Bila menikah secepatnya."

Pandanganku segera terangkat menjurus kepada ayahku. Aku sama sekali tidak membayangkan jika hal-hal seperti ini benar-benar akan terjadi di dalam hidupku.

"Bagaimana Pram? kamu siap?" tanya ayah Pram.

Sontak aku pun melirik ke arah Pram yang berada di sampingku. Saat itu kudapati Pram hanya diam, wajahnya tertunduk. Entah apa yang dia pikirkan saat ini.

"Bapa setuju saja kalau memang kamu siap?"

"Bila, gimana menurutmu?" tanya ayah padaku.

Jantungku yang sudah berdegup cukup kencang seketika menjadi semakin tidak terkendali. Rasanya seperti akan melompat keluar dan lari tunggang langgang meninggalkan tubuhku. 

"Bila…?" panggil ibuku yang berada di seberang sana.

"Bila tergantung Pram saja. Kalau Pram sanggup untuk itu, maka Bila setuju untuk menikah." jawabku seraya tertunduk.

Sama sekali aku tidak memiliki kemampuan untuk mengangkat pandanganku menatap orang-orang yang kini duduk dan memandangku.

"Bagaimana Pram?" tanya ayah Pram sekali lagi.

"Saya memang sudah ada niatan untuk menikahi Bila, Pak" jawab Pram.

Aku dapati semua orang tersenyum menjawab jawaban yang baru saja Pram lontarkan. Mereka merasa amat bahagia dengan jawaban itu. 

"Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini saja kalian menikah. Seluruh keluarga sudah ada, kita hanya perlu memanggil penghulu saja." ujar ayah Pram.

Pernyataan ini lebih mengejutkan dari pada sebelumnya. Aku dan Pram benar-benar tidak lagi mampu berekspresi dengan benar. Baik bibirku maupun Pram, sama-sama kelu. Kami tidak bisa segera menjawab pernyataan yang dilontarkan ayah Pram.

Selagi menunggu jawaban terlontar dari mulut kami, seluruh anggota keluarga bergumam setuju. Meminta Pram untuk melakukan akad di hari itu pula.

Aku tahu apa yang ada di dalam pikiran Pram saat ini. Bukan ia tidak ingin menikahiku, tapi ia belum memiliki kemampuan untuk hal itu, ditambah situasi yang begitu tiba-tiba seperti saat ini.

"Kita tidak tahu lagi kapan akan berkumpul seperti ini dengan lengkap. Belum tentu pula ketika kalian sudah merencanakan menikah, Bapa ada untuk menyaksikan." ucap ayah Pram.

"Benar, setidaknya Papa juga bisa menikahkan anak perempuan Papa. Kita tidak tahu dimana dan kapan umur akan berakhir." sambung ayahku.

"Saya siap. Tapi, mengenai mahar… Rasanya saya tidak mempunyai sesuatu yang cukup untuk dijadikan mahar." jawab Pram.

Astaga yang terjadi hari ini benar-benar membuatku kehilangan akal. Kenapa semua orang tiba-tiba mendesak kami untuk menikah. Ditambah lagi Pram yang menyetujui pernikahan ini dilakukan di hari ini pula.

"Bila, bagaimana? pernikahan ini akan sangat sederhana. Tidaka ada perayaan besar untuk saat ini karena memang begitu tiba-tiba. Tapi jika kalian mau, kalian bisa melangsungkan resepsi setelah ini. Kami hanya ingin jika kalian menikah dan sah menjadi suami istri." jelas ibu Pram.

"Bila sama sekali tidak masalah untuk menikah dengan cara yang sederhana. Tidak begitu banyak orang itu lebih baik untuk Bila. Mengenai mahar…" segera kulirik Pram yang masih tertunduk sembari memainkan jari semarinya.

"Selama itu bukanlah hasil dari berhutang, berapapun akan Bila terima." lanjutku.

"Pram, berapa yang kamu punya?" tanya kakak ipar perempuan Pram.

Segera Pram merogoh dompet dari dalam sakunya. Ia mengeluarkan uang senilai tiga ratus ribu yang ada di dalamnya. 

"Hanya ada ini…" ujar Pram

Tidak lama, kakak laki-laki Pram satu persatu memberikan sejumlah uang untuk dijadikan sebagai mahar dalam pernikahan Pram. Hal yang tidak terduga dilakukan oleh nenekku. Entah kapan ia beranjak dari tempatnya dan kembali sembari menyodorkan sebuah kalung dengan liontin serupa anggur yang terakhir kulihat beberapa tahun yang lalu. Rupanya nenek masih menyimpan liontin yang sebelumnya kukira sudah berpindah tangan.

"Pakai ini, jadikan sebagai mahar pernikahanmu." ucap nenek.

Pram termangu mendengar apa yang baru saja dikatakan nenek. Ia sama sekali tidak menyangka jika semua hal ini terjadi dengan begitu singkat.

Pram menerima apa yang sedari tadi disodorkan nenek padanya. Ia mengumpulkannya menjadi satu dengan uang mahar yang sudah dimilikinya.

"Semua sudah ada, tinggal memanggil penghulu saja."

Semua benar-benar terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Benar-benar singkat. Segala hal yang dibutuhkan disiapkan dalam waktu yang benar-benar singkat.

Hari itu benar-benar ramai. Ada begitu banyak orang yang berkumpul di kediaman nenekku. Semua sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Termasuk ibuku dan kakak ipar perempuan Pram yang sibuk mendandaniku.

 Beberapa kali ibuku lari tunggang langgang mencari pakaian yang dirasa bagus untuk kukenakan. Sementara kakak ipar perempuan Pram sibuk dengan riasan yang harus kupakai.

Berulang kali aku katakan untuk membiarkanku menggunakan pakaian yang sederhana, begitu pula dengan riasan yang harus kugunakan. Aku tidak ingin terlihat berlebihan dalam acara ini. Tapi tetap saja mereka bersikukuh jika aku harus tampil dengan tampilan yang menarik walaupun acara yang dilangsungkan begitu sederhana.

Suara di kediaman nenekku begitu riuh. Suara anak-anak begitu riuh berteriak dan memanggil nama satu sama lain. Mereka berlari-lari berkeliling tiada henti.

Sementara itu, baik aku maupun Pram, kita sama-sama diselimuti perasaan tegang. Tapi setelah diskusi itu, kami sama sekali tidak diperkenankan untuk bertemu. Pram bersama dengan kakak laki-lakinya, sedangkan aku bersama dengan perempuan-perempuan yang ada, berada di dalam kamar. Menanti hingga tiba waktu Isya.

Tepat setelah adzan Isya berkumandang, Pram melaksanakan ijab kabul di depan penghulu bersama dengan ayah dan para lelaki di keluarga kami. Sementara aku tidak turut serta dalam hal ini. Aku tetap menanti Pram di dalam kamar hingga ia tiba sebagai suamiku barulah aku keluar menemuinya.