webnovel

Jatuh ke Sungai

Berlatar perbukitan hijau yang merupakan area pemakaman, seorang wanita berambut coklat sepinggang tengah berlari sambil membawa sebuket bunga mawar. Jubah putih yang ia kenakan membuat ia terlihat seperti seekor angsa. Cantik, tapi tidak secantik itu hingga mampu membuat bunga-bunga terkapar karena iri.

Bugh!

"Ah, maafkan aku." Ia tidak sengaja menabrak seseorang hingga buket mawar yang ia bawa terjatuh. Karena sangat terburu-buru, ia tidak memperhatikan siapa yang ia tabrak.

Hari ini adalah hari peringatan kematian ibunya. Awalnya ia berencana untuk berziarah tetapi ia diberi tahu kalau salah satu pasiennya kabur. Ia lalu menuruni bukit, memasuki mobil dan memacu kendaraannya itu dengan kecepatan setan.

Berkali-kali ia hampir menabrak pengendara lain maupun pejalan kaki. Perilaku tidak terpujinya dalam berkendara sungguh telah membuat malaikat maut dilema. Mau dicabut belum waktunya, tidak dicabut meresahkan.

Setelah beberapa kilo meter, mobil tersebut berbelok memasuki jalan sempit sebuah perkebunan dan berhenti tepat di depan sebuah jembatan kayu yang nampak rapuh.

"Mia!" Ia terkejut melihat gadis yang ia cari sedang berdiri di tengah jembatan.

Segera, ia membuka pintu dan turun dari mobil. Ia berdiri di sana dalam keheningan, memerhatikan Mia yang terdiam memandang sungai di bawah dengan air mata yang berderai, seakan-akan itu tidak akan pernah habis.

"Mia!" Ia memanggil tapi tidak mendapat respons, gadis itu tetap pada posisinya. Ia sedih melihat kondisi Mia. Cambuk ketidakadilan telah membuat gadis itu sangat menderita.

Ia ingin mendekati Mia, tetapi ia mengurunkan niat saat melihat kondisi jembatan. Ia tidak ada pilihan selain membujuk Miauntuk meninggalkan jembatan dari tempatnya berdiri sekarang.

"Mia, aku tahu–"

"Kau tidak tahu apa-apa, Dokter. Kau tidak pernah kehilangan anak," pungkas Mia tanpa mengalihkan pandangan dari sungai.

Mia adalah korban pernikahan dini. Ia menjadi yatim piatu saat usianya lima tahu. Setelah kematian kedua orang tuanya, ia diasuh oleh paman dan bibinya. Itulah saat takdir buruknya dimulai.

Mia tidak diperlakukan dengan baik oleh sang bibi. Ia putus sekolah dan disuruh untuk mengurus rumah. Jika ia melakukan kesalahan sedikit saja, ia akan dipukuli atau tidak diberi makan dan puncak dari kejahatan sang bibi adalah, ketika ia berusia 9 tahun, sang bibi menikahkannya. Ah bukan, tetapi menjualnya kepada seorang pria tua berusia lima puluh tahun.

Untuk kedua kalinya, Mia dihancurkan oleh cambuk ketidakadilan. Ia seperti berpindah dari satu neraka ke neraka yang lain. Di dalam rumah megah milik sang suami, ia pun diperlakukan sebagai pembantu oleh suami, istri pertama sang suami dan kedua mertuanya. Setiap hari pukulan, tamparan dan makian ia terima. Ia sampai lupa cara untuk tersenyum, ia lupa apa itu 'bahagia'

Lima tahun berlalu, usianya mencapai 14 tahun, sang suami pun menuntut anak darinya. Di rumah itu, tidak ada satu orang pun yang peduli pada nyawanya. Entah kehamilan itu akan membunuhnya atau tidak, tidak ada yang peduli.

Pada akhirnya Mia hamil dan menjadi seorang ibu tepat saat usianya 15 tahun. Ia sempat membenci putranya. Namun, mendengar bayi kecil itu menangis, hatinya luluh. Saat melihat bayinya tertawa, hatinya menghangat. Setelah bertahun-tahun, ia akhirya dapat tersenyum. Ia merasa memiliki teman hidup dan dunianya yang suram terasa sedikit lebih cerah.

Namun, seolah selama ini ia belum cukup hancur, takdir buruk kembali menghancurkannya hingga ke kepingan terakhir.

Setelah dua tahun ia menyapih putranya, Mia diceraikan dan dipisahkan dari anaknya. Ia dibuang begitu saja seperti sampah. Ia bahkan nyaris meregang nyawa saat berusaha membawa putranya pergi.

Odette menatap sedih, prihatin dengan keadaan Mia. Hembusan angin menggerakkan rambut cokelatnya secara halus. Dengan tatapan sedih yang sama, ia beralih melihat arus sungai di bawah, atau tepatnya pada sebuah daun yang gugur terbawa arus lalu menghilang.

"Aku ... aku memang tidak tahu rasanya kehilangan anak tapi aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang dicintai. Ayahku meninggal saat aku masih di dalam kandungan. Di dunia ini aku hanya punya ibu tapi dua tahun lalu dia meninggalkanku."

Mia akhirnya mengalihkan pandangan dari sungai dan melihat psikolog berumur 27 tahun yang ternyata kini sudah menatapnya juga.

"Aku tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan anak, tetapi aku tahu rasanya merindukan ibu. Mungkin saja anakmu saat ini sedang merindukanmu. Dia menunggumu menjemputnya. Ibuku bilang alasan Tuhan memilih wanita menjadi seorang ibu adalah karena wanita sangat tangguh. Kau adalah wanita yang sangat tangguh. Aku mohon jangan menyerah. Kau sudah bebas dari neraka itu. Sekarang kau harus mengeluarkan anakmu dari sana."

Mia menunduk sedih. Apakah Tuhan akan membantunya mendapatkan anaknya kembali. Bagaimana? Selain cinta untuk anaknya, ia tidak punya apa pun dan tidak punya siapa pun.

Seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Mia, Odette meyakinkan wanita muda itu bahwa ia bersama Mia. Bukan Odette saja, tetapi ada banyak pihak yang mendukung Mia sehingga Mia tidak perlu khawatir.

Odette pun menjelaskan bagaimana peluang terbuka untuk Mia karena hukum berpihak kepadanya.

Suami Mia dan seluruh keluarganya telah dilaporkan ke polisi. Mereka semua akan dijerat hukum perlindungan anak dan perempuan, penganiayaan, serta percobaan pembunuhan.

"Jangan berpikir kalau kau sendirian. Hidup dan berbahagialah bersama anakmu. Didik anakmu menjadi manusia yang baik. Bayangkan kau bermain dengannya, melihat dia tumbuh, kau menyiapkan sarapan dan bekal untuknya sebelum ke sekolah. Aku yakin saat dewasa, dia akan menjadi laki-laki yang sukses dan sangat membahagiakan ibunya sampai ibunya lupa cara untuk menangis. Apa kau ingin melewatkan semua moment itu?"

Mia menatap Dokter Odette dengan bola mata yang bergetar. Di sana terdapat binar harapan. Air matanya kembali mengalir. Namun, kali ini itu bukan air mata kesedihan melainkan air mata haru.

Yah, yah, dia dapat membayangkan semua moment indah yang dikatakan oleh Dokter Odette.

Dia ...

Dia ingin hidup.

Odette tersenyum sambil memberi uluran tangan untuk digapai oleh Mia. Wanita muda itu menghapus air matanya lalu membalas senyuman sang dokter. Ia telah mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.

Akan tetapi, saat ia mengangkat kakinya, tiba-tiba balok jembatan patah.

"Ahh..!"

"MIA!"

Melihat Mia jatuh, Odette tanpa berpikir sama sekali langsung berlari, berharap bisa menggapai Mia.

Namun, seketika jembatan ambruk.

Byurr!

Odette terjatuh dari ketinggian lima meter. Ia tenggelam secara perlahan dan merasakan arus menghantam tubuhnya. Namun, anehnya, ia tidak terseret. Ia terus tenggelam lebih dalam dan semakin dalam.

Glug glug glug.

Gelembung-gelembung naik ke permukaan. Ia mulai kehabisan napas.

Odette mati-matian berusaha menyelamatkan hidupnya tetapi sia-sia.

Ia merasa tubuhnya ditarik. Ia berpikir dirinya mungkin sedang ditarik oleh buaya, sang predator penghuni sungai.

'Ibu ....'

Di ambang kesadarannya, entah ilusi atau kenyataan tetapi Odette melihat area di sekitarnya berwarna merah.

Apakah itu darahnya? Apakah ini benar-benar akhir dari kehidupannya?

Warna merah di sekitarnya semakin pekat. Sekilas, ia melihat sinar menyilaukan sebelum semua berubah gelap dan ia kehilangan respons terhadap lingkungan.

Bagaimanakah kisah Odette selanjutnya?

Ogi_Sagacreators' thoughts