webnovel

Membuat Kesepakatan

Mendengar nama Alika Diningrat, ekspresi Eleanor terlihat sangat aneh. Ilham menyadari itu, perasaannya mulai tidak enak, tetapi Ilham segera menyadarkan Eleanor dengan menggerakkan telapak tangannya di depan wajah gadis itu.

"Kenapa Mbak?" Ilham bertanya dengan penuh hati-hati.

Menelan salivanya susah payah, Eleanor merosotkan bahunya sejenak, lalu suaranya keluar dengan lemah sambil menatap Ilham lurus-lurus. "Dia anak magang yang gue ceritain tahu, kok bisa dia jadi pacar lo?"

Ilham meringis, ia mengembuskan napas pelan. "Namanya juga udah cinta, nggak ada yang tahu pasangan kita mau seburuk atau sebaik apa, kalau kita mau ya berarti harus mau nerima apa pun yang ada di dalam dirinya." Ilham tahu jelas bagaimana sifat dan karakter Alika karena mereka sudah cukup jauh mengenal satu sama lain, bahkan dalam waktu dekat Ilham berencana ingin melamar Alika. Walaupun orang tua Alika masih bersikeras agar gadis itu belajar sejenak untuk bertanggung jawab kepada dirinya terlebih dahulu sebelum menjadi milik orang lain. "Dia gimana menurut lo, Mbak?"

"Iya sih, dia beruntung banget dapat cowok kayak lo. Padahal ada yang bilang ke gue kalau jodoh itu cerminan dari diri kita. Kalau lo nyebelin, berarti lo bakalan dapat yang lebih nyebelin, biar salah satunya ada yang nyadar dan sabar ngadepin cerminan dari sikapnya. Tapi menurut gue enggak semua jodoh kita itu cerminan diri, ya?" tutur Eleanor. "Dia sih nggak gimana-gimana, cuma nyebelin aja dan herannya kok dunia ini sempit banget. Ada yang lebih ngagetin gue dari sebelumnya gue tahu sesuatu lagi tentang dia."

Seketika Ilham menunjukkan ekspresi penasaran dengan cara menaikkan setengah alisnya. "Maksud lo Mbak?"

"Apanya?" Eleanor masih tidak paham pada pertanyaan singkat Ilham tersebut.

"Yang ngagetin lo sesuatu tentang dia itu apaan?" celetuk Ilham seraya memandang wajah Eleanor dengan lekat.

Terkadang Eleanor merasa Ilham memiliki tatapan yang begitu dalam dan jika ia tak segera memutuskan kontak mata, ia tak akan bisa menyembunyikan kegugupannya setiap kali mendapatkan tatapan penuh perhatian itu. Jelas-jelas Eleanor masih ingin waras, dalam artian bahwa ia hanya berteman, tidak ada cinta yang tumbuh untuk seseorang yang bahkan sudah memiliki pasangan. Ia benci menjadi orang ketiga. Ia juga tidak suka dengan seseorang yang berselingkuh. Tapi ia mengagumi seseorang yang dapat menghargai pasangannya. Mau itu dilihat atau tidak dilihat oleh pasangannya, sehingga lawan jenis yang mendekatinya juga mampu menghargainya.

"Oh itu, jadi sebenarnya cowok yang lagi deket sama gue ini mantan si Alika. Gila kan?" tukas Eleanor seraya berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala heran.

Tidak ada keterkejutan di raut wajah Ilham, dia hanya ber'oh' saja, terlalu santai dan sulit membaca ekspresinya karena dia terlihat sangat tenang. "Biar aku tebak, pasti pria itu Bintang namanya?"

Jelas yang terkejut jadi Eleanor. "Kok lo tahu? Dia cerita, ya?"

"Gue kenal orangnya. Bintang cowok yang paling lama juga sama Alika."

"Sebelum lo sama Alika, kan?" tanya Eleanor lagi.

Ilham mengangguk. "Tapi gue kenal Alika lebih dulu sebelum Bintang. Gue sama Alika teman masa SD dan kami juga tetanggaan. Sifat posesifnya Alika ini gara-gara si Bintang. Dia enggak mau diselingkuhin lagi. Tapi di mata Bintang, Alika juga salah karena enggak pernah cerita soal gue. Padahal gue sama Alika emang nggak pernah dekat banget waktu mereka masih pacaran. Kebetulan aja waktu itu orang tua gue ngajak main ke rumah Alika, Bintang ngambil keputusan sendiri buat mengakhiri hubungannya sama Alika di depan orang tua Alika, lalu orang tua Alika malah jodohin gue sama Alika."

Penjelasan Ilham berusaha dicerna oleh Eleanor, walaupun terdengar rumit hingga membutuhkan waktu dua menit dalam keterdiaman keduanya sebelum Eleanor berdeham pelan sambil mengatakan sesuatu. "Rumit ya, satu kata itu justru bikin gue paham masalah orang lain dari sudut pandang lain."

"Ya, makanya lo jangan terlalu percaya apa kata laki-laki tapi bukan berarti lo berhenti mencoba."

"Termasuk lo nggak? Kan lo laki-laki," celetuk Eleanor sambil terkekeh pelan untuk mencairkan suasana.

Ilham jadi ikut tertawa dan menjawab santai. "Emang gue ngasih janji apa sama lo?"

Tidak menjawab pertanyaan Ilham yang bernada candaan itu, Eleanor memiliki pertanyaan lain sebelum ia benar-benar pergi dari sini. "Berarti lo kenal Bintang pertama kali waktu si Bintang mutusin si Alika ini, ya?"

"Iya."

"Trus lo langsung hibur Alika dong, kayak kata orang tuanya yang langsung jodohin kalian berdua. Lo benar-benar langsung mau gitu jalan bareng Alika?"

"Awalnya gue enggak anggap serius lah Mbak kata-kata orang tuanya. Gue malah mau ngajak ketemuan Bintang, tapi dia enggak mau dan malah ngehindar dari gue. Padahal gue enggak tahu apa-apa masalah awalnya, dan waktu itu Alika juga belum cerita ke gue. Tapi niat gue baik, mau bantu jelasin ke Bintang kalau ini salah paham. Gue baru aja dateng ke rumah teman masa kecil gue udah dapat sambutan kayak gitu. Menurut gue, Bintang ini yang egois."

Eleanor jadi pusing sendiri, ia pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sambil melirik jam di ponselnya, Eleanor merasa bahwa dirinya harus segera pulang. "Ya udah deh, kita lanjut ngobrolnya kapan-kapan, ya? Gue masih penasaran, tapi hari ini gue lelah banget. Pusing banget, rasanya banyak yang gue pikirin dan bercabang di kepala gue."

Ilham tertawa mendengarkan keluhan Eleanor. Ia beranjak dari duduknya untuk mengantarkan Eleanor sampai ke depan parkiran. "Gue tunggu kepastian lo, Mbak."

"Tapi tetep pada kesepakatan kalau gue yang kerja sendiri, kan?"

"Iya lah, kalau bisa secepatnya. Kalau nunggu Nuca kelamaan."

"Bukan itu, maksud gue nggak perlu libatin si Alika, kan? Soalnya sekarang lo udah tahu Alika ini yang jadi rekan gue buat gantiin Nuca. Tapi gue enggak sreg kalau ngerjain bareng dia. Mungkin dia gue suruh handle di kantor kalau gue lagi tugas di luar," tutur Eleanor sambil menatap Ilham sebelum ia masuk ke dalam mobilnya.

"Enggak lah Mbak, gue profesional kalau urusan kerjaan. Lo juga jangan bilang kalau lagi ngerjain proyek bareng gue. Lo tahu sendiri kan dia gimana? Pura-pura aja kita enggak tahu pribadi masing-masing satu sama lain. Lagian Alika juga nggak cerita soal magangnya, gue malah tahunya dia magang bukan kerja dari lo, karena gue pikir dia emang udah kerja," jelas Ilham yang menerbitkan sebuah senyuman hangat di sudut bibir Eleanor.

"Oke kalau gitu deal, kerjasama kita di mulai besok kalau gue enggak ada acara, ya."

Sontak saja Ilham berseru senang sambil membuat gerakan meninju udara. Sementara Eleanor sudah masuk ke dalam mobil, ia membuka kaca mobilnya sebelum benar-benar pergi. "Siap Mbak, kabarin jadwalmu ya, yang penting gue udah booking jadwal lo."

"Yeay, gue balik dulu. Lo masih ada utang cerita ke gue," kata Eleanor sambil mengedipkan sebelah matanya sebelum ia melajukan mobil meninggalkan Ilham yang berpikir bahwa Eleanor mungkin lebih penasaran konflik yang terjadi antara Alika dengan Bintang di masa lalu.