webnovel

Izin Mendekati Anaknya

Sudah mendapatkan izin dari bosnya meski bekerja di luar tidak harus mengikuti jam kantoran. Kalau dipikir-pikir Bintang menjemputnya di tempat kerja membuat Eleanor harus berputar-putar, maka dari itu ia memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Bintang secepatnya sambil membereskan laptop, tab dan bukunya ke dalam ransel.

Eleanor : Bintang, gue kan lagi nggak di kantor, lo jemput gue di rumah aja mending, ya? Sekalian gue mau mandi dulu kalau emang mau main ke rumah, hehehe

Setelah mengirim pesan tersebut, Eleanor langsung beranjak dari duduknya, lantas ia mengunci rumah yang akan menjadi cabang bisnis bakso serta coffee shop mini. Ia masuk ke dalam mobil, melajukan mobilnya meninggalkan tempat tersebut.

"Ilham pinter juga nyari tempatnya, strategis banget. Pasti lumayan mahal beli kiosnya," gumam Eleanor sambil melihat sekeliling karena tidak juga berada di kampung atau perumahan, justru di pinggir jalan. Dekat dengan sekolah anak SMA Negeri.

Berhubung jalanan tidak macet, Eleanor bisa mempercepat laju mobilnya. Ketika ponselnya berdering, Eleanor baru menurunkan sedikit kecepatan lajunya. Ia menggunakan wireless sebelum menjawab panggilan tersebut.

"Halo," sapa Eleanor sambil terus fokus mengemudi.

"Posisi di mana?" tanya Bintang yang sepertinya tidak sedang di rumah karena Eleanor juga mendengar laju kendaraan.

"Di jalan Bin, kenapa?" Eleanor bertanya balik, ia mendengarkan baik-baik apa yang akan dikatakan oleh pria itu.

"Share lock dong, gue jemput."

"Di rumah gue langsung. Masih ingat kan jalannya?" sahut Eleanor, ia tak mau terlalu membuang waktu jika harus menunggu Bintang datang di pinggir jalan. Lebih baik mereka bertemu di rumahnya.

"Ya udah kalau gitu. Gue udah di jalam juga."

"Iya, matiin ya biar lo fokus."

"Emang tahu kalau gue lagi nggak fokus?"

Eleanor tersenyum mendengar pertanyaan Bintang. "Sekarang lo lagi di pinggir jalan buat ngehubungin gue."

"Wah, wah, wah, sok tahu ini. Tapi gue fokus, udah pakai wireless. Jadi gue jalan ini, jangan dimatiin."

"Hei, bahaya! Ngapain nggak mau dimatiin aja sih?" tukas Eleanor seraya menghentikan laju mobilnya saat mendapati lampu merah. Ia melihat jalanan yang sudah cukup dekat dengan daerah rumahnya.

"Lo jadi petunjuk arah buat gue lah. Ntar kalau lo biarin gue jalan sendirian yang ada nyasar gue."

"Alasan aja lo," sahut Eleanor sambil tersenyum tipis sebelum ia kembali melajukan mobilnya karena lampu sudah berubah menjadi hijau. "Bilang deh kalau pengen lama-lamaan dengerin suara gue, kan?" kata Eleanor lagi sebelum Bintang bersuara.

"Bukan itu maksud gue, Elea. Tapi gue nggak mau lo hilang, nggak mau lo kenapa-napa. Dengar suara lo kayak gini, otomatis gue mikir lo baik-baik aja."

"Lebay, lo!" Eleanor tertawa, sebentar lagi ia akan sampai depan gapura rumahnya sebelum tiba-tiba ia dikejutkan lagi akan sosok Bintang yang telah berada sejajar dengan mobilnya. Keduanya memasuki gapura. Eleanor juga tak lupa menurunkan kaca mobilnya, mematikan sambungan telepon secara sepihak.

"Jadi dari tadi lo udah di belakang gue?" tanya Eleanor.

"Iya." Bintang sedikit berteriak, membuat Eleanor geleng-geleng kepala tak habis pikir.

Begitu tiba di depan rumah Eleanor, mobil serta motor Bintang terparkir sebelum keduanya masuk ke dalam.

"Sejak kapan?" tanya Eleanor saat ia sudah berdiri di hadapan Bintang.

"Lampu merah, hehe."

"Nakal, enggak bilang." Eleanor berdecak pelan, namun ia tidak benar-benar marah.

"Boleh masuk nggak?"

Eleanor menoleh saat tidak diikuti oleh Bintang yang ternyata masih berdiri di dekat motornya. "Ngapain lo diem di situ? Ayo masuk aja enggak apa-apa," kata Eleanor seraya meyuruh pria itu mendekat.

"Nggak ada bokap sama nyokap?" tanya Bintang ketika ia sudah berjalan mendekat.

"Nyokap udah nggak tinggal di sini, bokap aja." Eleanor membuka lebar pintu rumahnya.

"Assalamualaikum, Pa."

"Walaikumsalam, kamu sama siapa?" Papa datang menghampiri anaknya, melihat ada Bintang yang langsung membungkuk sopan sambil meraih telapak tangan Papa Eleanor.

"Om, saya Bintang."

"Siapanya Ele?" tanyanya yang membuat Bintang tersenyum lembut.

"Pa... Jangan mulai deh. Aku mau mandi dulu, setelah itu ada perlu sama Bintang." Eleanor segera beranjak pergi menuju ke kamarnya, sehingga hanya tinggal Bintang bersama Papa Eleanor.

Senyum mengembang Bintang masih setia menempel di sana. "Boleh saya izin untuk mendekati Eleanor, Pak?" tanya Bintang yang mendapatkan kernyitan heran pada dahi Papa Eleanor.

"Bukannya kalian tadi sudah dekat?" tanyanya seraya menyuruh Bintang duduk di ruang tamu.

Bintang tersenyum lebih lebar. "Maksud saya, boleh nggak dekat seperti seorang pria menyukai anak wanitanya?" jelas Bintang yang berusaha membuat Papa Eleanor mengerti.

"Kalau saja Eleanor nyaman dan kamu mengenalnya dengan baik, saya izinkan untuk melamar anak saya." Usai berkata seperti itu, beliau segera pergi meninggalkan ruang tamu dengan Bintang yang tiba-tiba melongo sebelum ia mengutarakan kebahagiaannya karena secara tidak langsung ia sudah mendapatkan pintu masuk.

'YES, YES, BUNDA ANAKMU DAPAT IZIN!' Dapat dilihat dengan jelas kedua mata Bintang sampai berbinar-binar saking bahagianya.

Dalam waktu dua puluh menit, Eleanor sudah keluar dari kamarnya. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian yang lebih santai, ia segera menghampiri Bintang dengan senyuman lebar.

"Yuk, mau berangkat sekarang?" tanyanya yang mendapatkan anggukkan singkat dari Bintang.

"Kalau gitu gue mau pamitan dulu sama Papa, ya?" sungut Eleanor sebelum ia berjalan menuju ke kamar papanya.

"Sebenarnya kamu mau pergi ke mana?" Eleanor mendapatkan pertanyaan dari papanya setelah masuk ke dalam.

"Ke rumah Bintang, Pa." Eleanor menjawab jujur, ia menatap kedua bola mata papanya yang selalu mencari kejujuran dari sana.

"Baiklah, kamu kalau bahagia dan suka sama dia, Papa dukung semoga kamu nggak disakitin sama dia, ya," terang papanya sambil mengusap lembut puncak kepala Eleanor sebelum wanita itu mencium punggung tangannya.

"Nanti mau dibeliin oleh-oleh apa, Pa?" Eleanor menyempatkan untuk bertanya sebelum ia menutup pintu kamarnya.

"Apa pun, asal kamu pulang bahagia."

Hangat sekali, sudah lama rasanya Eleanor tidak membawa seorang pria ke rumah. Dulu pernah berharap pada Nuca, begitu juga dengan papanya. Bahkan sampai Nuca berhasil bercanda tawa dengan papanya, sungguh luar biasa, tetapi Tuhan tidak mengizinkan mereka bersama.

"Sudah izin Papa? Apa gue juga ikutan izin?" tanya Bintang.

"Bukannya tadi sudah? "

"Sudah sih, tapi masa gue nggak pamitan pulang gitu," celetuk Bintang lagi.

"Udah gue wakilin. Ayo ah, biar nggak kemalaman," tukas Eleanor seraya menarik tangan Bintang untuk keluar dari rumah ini.

"Naik motor gue aja, ya?" pinta Bintang dan mendapatkan persetujuan dari Eleanor. Karena ia juga sedang malas menyetir sendiri, maka dari itu Eleanor mengajak Bintang pulang ke sini agar ia dapat mengenakan kendaraan satu saja yang dipakai oleh Bintang.