webnovel

2. Kembalikan Kepala Suamiku

Sebuah mobil sedan keluaran terbaru, merah mengkilap berhenti di halaman sebuah rumah bergaya klasik. Semua orang mengetahui, kalau si pemilik rumah adalah seorang kolektor benda-benda antik.

Perempuan cantik, berkulit coklat, dengan balutan pakaian branded, juga perhiasan di badan, turun dari mobil. Lalu melangkah elegan menaiki undakan tangga menuju beranda rumah.

Seorang lelaki setengah umur, berpakaian sederhana, memakai kopiah, mengiringi langkah si wanita.

Di pintu masuk mereka disambut pemuda berpakaian safari hitam, terjadi percakapan diantara mereka sebelum akhirnya kedua tamu tersebut di persilahkan untuk menunggu.

Pemuda berpakaian safari masuk ke dalam rumah, beberapa saat kemudian ia kembali keluar bersama seorang pria empat puluhan tahun.

Si pria menyalami kedua tamu, "Saya Prima," ujarnya memperkenalkan diri.

Sesaat mereka terlibat pembicaraan basa-basi, sampai akhirnya tamu wanita mengutarakan niat kedatangannya.

Prima membawa kedua tamunya masuk, mereka menuju ruang perpustakaan untuk diperlihatkan pada benda yang dimaksud si tamu.

Sepotong kepala babi hitam utuh, terpenggal dari batas leher.

"Ini kepala suami saya, Sungguh! Ini kepala suami saya!" ucap tamu wanita dengan bibir bergetar dan air mata mengurai.

Prima heran kebingungan, yang mereka lihat jelas-jelas kepala seekor babi hutan berwarna hitam tapi mengapa si wanita mengatakan itu kepala suaminya?

Ada perasaan geli di hati Prima, kalau saja tidak sungkan kepada kedua orang yang baru ditemuinya, ingin sekali dia tertawa terpingkal-pingkal.

Lelaki berkopiah menuntun si wanita untuk duduk di kursi yang tersedia, Prima mengikuti duduk di sana juga. Sebatang rokok yang terselip di tangan, dihisapnya pelan sambil mendengarkan cerita tamunya.

Prima menghembuskan napas dari mulut dan hidung, lalu ruang perpustakaan itu penuh dengan asap yang mengepul.

"Mengembalikan?"

Prima—laki-laki tinggi berwajah empat persegi, perut sedikit buncit menggeleng.

"Maafkan saya, benda itu pemberian seorang teman. Pantang diberikan lagi kepada lain orang," ucapnya tegas.

Tamu wanita menangis dan menyeka air matanya, "Tetapi, Tuan ...," katanya tersedu, "itu adalah kepala suami saya."

Tuan rumah tertawa terbahak, "Alangkah lucu cerita Anda ini, Tidakkah ada cerita lain yang lebih masuk di akal?"

Lelaki berpakaian sederhana dan berkopiah, mencoba menengahi.

"Begini," katanya, "setidak-tidaknya kami mengharapkan, Tuan memberi ketenangan pada roh binatang itu."

"Binatang sudah mati, kenapa diributkan? Lagipula hanya seekor babi."

"Saya maklum," tamu wanita kembali bersuara, "saya tahu, Tuan sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk mengeringkan kepala binatang itu, sehingga tetap seperti semula dan saya pun tahu pajangan yang Tuan katakan, harganya sangat mahal ...," ia berhenti sebentar.

"Di luar ada mobil, dan perhiasan yang saya pakai, jika masih kurang ada satu unit rumah serta yang lain ...."

"Cukup!" tuan rumah mengangkat tangan, "saya tidak tertarik dengan segala yang Nyoya tawarkan tadi," ia ke mudian mematikan sisa rokok putih di tangan dengan cara menekannya sampai hancur di asbak.

"Di zaman modern ini, cerita tentang manusia berubah menjadi babi hanyalah mitos. Tidak ada penelitian ilmiah, yang dapat membuktikan kalau manusia bisa berubah menjadi babi, atau sebaliknya."

"Tapi, Tuan. Cerita saya benar...."

"Kalau begitu, semua harta dan perhiasan yang Nyoya miliki adalah hasil curian?"

Si wanita seketika terdiam, lelaki berpeci merasa iba melihat wanita yang datang bersamanya.

"Tuan, kalau memang tuan tidak membutuhkan sejumlah uang, apa salahnya tuan kembalikan saja potongan kepala babi itu?"

Primo menggeleng, "Sudah saya bilang, pantang melepas pemberian seorang teman."

Hening beberapa saat, selanjutnya merasa usahanya tidak membuahkan hasil kedua tamu itu mohon diri.

Setelah tamu-tamunya pulang, Prima terdiam di tempat duduk. Kepada isterinya yang kemudian muncul untuk mencarinya kopi, dia berkata agar jangan mengusik ketenangannya.

"Pergilah temani anak-anak, aku masih ada pekerjaan."

Istrinya mengangguk lalu pergi, tidak lupa ia berpesan agar sang suami jangan terlalu lelah.

Cukup lama Prima termenung ditemni sebatang rokok di tangan, mengingat kembali detil demi detil cerita tamunya tadi. Namun tetap saja logikanya sulit untuk menganggap cerita itu sebagai kebanaran.

"Dasar kampungan, sudah tahun 2000 masih saja percaya dengan mitos dan tahayul. harta saja yang berlimpah, gaya saja yang parlente, sedangkan otak isinya Nol!"

Prima bersungut-sungut lalu bangkit, setelah mematikan puntung rokok di tangan di tekan saklar lampu ruangan. Ketika hendak keluar dia mendengar sesuatu, seperti ada yang menggedor-gedor kotak brankas miliknya.

Prima tertegun diam mendengarkan, "Pencuri?" pikirnya seraya menekan kembali saklar lampu yang tadi dimatikan.

"Hah ...! Aku terkena illusi cerita perempuan tadi," gumamnya pelan setelah meneliti tiap sudut ruangan dan tidak melihat keganjilan apapun.

Diperiksanya daun jendela, menguncinya rapat lalu melangkah lagi menuju pintu keluar. Ketika melewati kotak kaca berisi kepala babi, dia melongok sebentar untuk memperhatikan.

Jantungnya berdetak kencang, langkahnya surut kebelakang, karena tiba-tiba saja moncong babi itu menyeringai.

Setengah menit cukup bagi Prima, untuk menguasai keadaan. Sekali lagi matanya menatap cermat potongan kepala babi itu, semuanya terlihat normal kembali

"Kurang ajar, cerita mitos perempuan itu membuat pikiranku terganggu!" umpatnya.

Bergegas dia melangkah menuju pintu, keluar dari ruang perpustakaan menuju kamar tidur. Prima merasa perlu beristirahat, untuk menenangkan pikirannya yang telah terkontaminasi cerita horor tamu perempuannya tadi.

*****

"Prima ... Prima ... Prima, lepaskan aku!"

"Tidak!"

Laki-laki itu tersentak dari tidurnya, matanya terbuka dan dia diam sejenak. Bola mata liar menatap langit-langit kamar, lalu pandangan bergeser ke arah jam yang menempel pada dinding kamar.

Pukul tiga dini hari, Prima beringsut bangkit setelah berhasil menguasai keadaan. Dia sadar apa yang barusan dialaminya hanyalah mimpi, "aku melewatkan makan malam," gumamnya sambil berjalan menuju kamar kecil yang tersedia di dalam kamar.

Istrinya tidak ada di ranjang dan itu sudah biasa baginya, pastilah perempuan cantik yang dipinganya sepuluh tahun silam, terlelap di kamar anak mereka.

Selesai dari kamar kecil, Prima mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Mematikan lampu agar bisa terlelap kembali menjelang pagi.

"Prima ... Oh, Prima ...!"

Prima kembali membuka mata dalam kegelapan, menajamkan pendengaran.

"Lepaskan aku, lepaskanlah aku ...!"

Prima terduduk, bulu kuduknya merinding seketika.

"Setan! Illusi itu mempengaruhi telingaku pula. Cerita perempuan itu la telah membuat tidurku gelisah." umpatnya kesal, dia berpikir mungkin besok haru menemui psikiater.

"Primo!"

Suara itu terdengar lagi, Prima terduduk kembali di ranjangnya. Mengusap kedua lubang telinga, memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

"Kemarilah, Prima. Kembalikan aku kepada isteriku!"

Prima menjilat bibirnya dalam kegelapan kamar matanya tidak melihat apa-apa, dan juga tidak mendengar langkah kaki di luar sana. Namun, suara itu terus saja memanggil namanya.

Merasa penasaran, Prima melangkah ke arah pintu kamar, menempelkan telinga ke daun pintu dan tetap saja dia tidak mendengar adanya suara langkah kaki.

Perlahan ditekannya handle pintu, ditariknya daun pintu selebar badannya bisa lewat. Cahaya lampu lorong menyambutnya, kesunyian malam membuat dia bisa mendengar suara tarikan napasnya sendiri.

Prima melangkah menyusuri lorong pendek menuju tangga, pintu kamar anaknya tertutup rapat. Ditekannya handle pintu dan didorongnya sedikit daun pintu anak, tampak sang buah hati terlelap dalam dekapan ibunya. Pelan ditutupnya lagi pintu kamar itu, lalu melanjutkan langkah menuju tangga.

Di puncak tangga menuju ke bawah, di mana terdapat ruang tamu, ruang perpustakaan, ruang istirahat dan ruang makan, Prima memperhatikan situasi.

Lampu besar di ruang tamu dalam keadaan mati, ruangan lebar dan penuh dengan perabotan yang mewah serba antik itu hanya diterangi sebuah lampu hias yang menempel pada langi-langit.

"Sepertinya tidak ada siapa-siapa," Prima bergumam.

Sewaktu dia ingin melangkah kembali ke kamar tidur, telinganya mendengar suara ribut-ribut kecil dari arah ruang perpustakaan. Dia tertegun sesaat, ingatannya tertuju pada lemari besi tempat penyimpanan uang dan surat-surat penting di ruang perpustakaan.

Meskipun brankas besi itu pakai kunci khusus dan baru bisa dibuka dengan memakai nomor kode tertentu, tetap saja hatinya tidak tenang. Dia putuskan untuk turun, dan mengecek ke ruang perpustakaan.

Pelan Prima menuruni anak tangga, sangking pelannya dia membuat langkah nyaris tidak bersuara. Sampai di anak tangga terakhir, dia kumpulkan kekuatan. Menghela napas panjang, mengatur peredaran darah dan jantungnya yang berdetak kencang.

Lantas dengan satu lompatan, dia tiba didepan pintu perpustakaan. Ditekannya handle pintu dan didorongnya ke arah dalam, sunyi dan gelap menyambutnya.

Ditekannya saklar lampu, dan ruang perpustakaan menjadi terang benreang. Di telitinya tiap sudut ruangan, tidak ada apapun hal mencurigakan.

Prima melangkah masuk tanpa menutup pintu, dia mendekati brankas besi miliknya. Benda itu masih dalam keadaan tertutup rapat, dia berjongkok untuk mengecek lebih teliti.

Berak!

Pintu terbanting keras, bersamaan dengan itu lampu ruang perpustakaan juga mati. Suasana gelap mencekam, membuat jantung Prima terasa mau lepas akibat terkejut oleh suara hempasan pintu tadi.

Dari dalam kotak kaca tempat potongan kepala babi berada, dia melihat dua sorot mata kemerahan memancar dalam kegelapan. Mata itu besar dan menyala seperti api, Prima mencoba meyakinkan dirinya.

Memastikan kalau apa yang dilihatnya bukan illusi, sorot menyala itu kian jelas. Sapasang mata merah bagaikan bara api itu, bukan berasal dari potongan kepala babi.

Prima justru melihat sebentuk kepala manusia, tepat di antara kedua kepala bermata itu tampak sebuah lubang bekas peluru. Bagian kening orang itu retak, dan darah mengucur dari bekas lubang peluru.

"Si siapa?" tanya Prima tergagap.

Mulut orang itu menyeringai lebar, tampak giginya yang putih Bagaikan bertaring di kedua sisi, panjang dan runcing.

"Aku Tarjo, Primo," suara serak seperti orang ngorok, menjawab pertanyaan Prima.

"Si siapa kau, kau kau bukan manusia?"

"Aku memang tidak sesempuma engkau, Prima."

Kembali potongan kepala di dalam kotak kaca menjawab tanya Prima, dengan langkah gemetar Prima hendak menekan saklar lampu.

"Jangan hidupkan lampu itu, Prima! Tanganmu akan aku gigit, kalau kau lakukan itu!"

"Man mana tub tubuhmu?" tanya Prima lagi, dia takut sekaligus juga penasaran.

"Memang tidak ada, Prima. Kau lihat pangkal leherku? Kau lihat?""

Prima melihatnya, memang pangkal leher orang itu tampak putih dan tepi bawahnya yang bulat, merupakan lingkaran merah terus mengucurkan darah.

Prima menggeleng ketakutan, dia melompat ke arah pintu, menarik daun pintu dengan keras lalu lari tunggang langgang menaiki tangga.

"Prima ... kenapa kau lari?"

Suara itu terus mengikuti, Prima berlari secepat yang dia bisa. Sampai di lantai atas dia segera masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan naik ke atas ranjang. Matanya jalang mengawasi setiap sudut kamar, berharap sosok itu tidak mengikutinya.

"Prima, aku di sini!"

Bagaikan disentak, kepala Prima menoleh ke samping. Samar-samar dia melihat potongan kepala manusia berlumuran darah, tergolek pada bantal di sebelah bantalnya sendiri.

"Kembalikan aku kepada istriku, Prima!" ucap potongan kepala seraya menyeringai memamerkan taring runcingnya.