webnovel

Mie Ayam Ganti Rugi

Retha melenguh pelan setelah mengecek aplikasi uang elektronik di ponselnya. Ini sudah ke-sekian kalinya dia bolak-balik masuk ke dalam aplikasi tersebut, berharap Jaka mengirimkan uangnya. Namun sampai saat ini, belum ada notifikasi yang menandakan pria itu telah mengirimkan uang ganti ruginya.

Padahal, dia sudah memborbardir ruang chat Jauzan dari sore, malam, hingga tadi sebelum berangkat ke kampus. Namun sampai sekarang chat darinya hanya berbuah centang satu.

[Apa gue diblock?] Retha bertanya-tanya di dalam hati. Namun sesaat kemudian gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menepis segala prasangka buruk yang menyambangi kepalanya.

[Ya kali dia langsung ngeblock gue cuma karena spam?]

[Iya, kan?]

Naretha kembali membuka ponselnya. Ia kembali mengecek aplikasi dompet elektronik di sana sambil berharap uang yang dikirim Jaka lewat aplikasi dompet elektronik ini sudah masuk ke akunnya. Namun kenyataannya tak seindah ekspektasi. Saldo di dalam akunnya masih sama seperti kemarin, kemarin lusa, bahkan beberapa minggu yang lalu.

[Nih cowok beneran gak ada ittikad baiknya, ya?]

Retha menyerah. Toh, gak ada untungnya juga menunggu uang yang belum tentu akan masuk ke dalam akunnya. Gadis itu kini memasukkan ponsel ke dalam saku celana jeans, lalu mengeluarkan buku tulis serta tempat pensil dari tas yang tergeletak di bawah kakinya. Setelah menata dua benda tersebut di atas meja, matanya berkeliling sejenak, iseng-iseng menghitung berapa banyak bangku yang kosong di barisan pertama dan kedua.

"Jaka, sini!"

Suara cukup lantang dari barisan kedua paling pojok berhasil mengalihkan perhatian Naretha. Pandangannya tertuju kepada Savier yang tadi tiba-tiba memanggil nama laki-laki itu. Kemudian beralih pada seorang yang baru saja masuk ke dalam kelas. Ekor mata Retha terus mengikuti sosok itu sampai dia mendaratkan bokongnya di atas kursi sebelah Savier.

Ah iya, Retha harus mengirim chat lagi pada Jaka sekarang. Apalagi laki-laki itu sedang memegangi ponselnya saat ini. Pasti pesannya akan beradadi notification bar setelah muncul sebuah pop-up.

[Bayar utang lo, Jak]

ceklis satu

[Jaka]

ceklis satu lagi

[Jauzan Arkala]

ceklis satu lagi

[woy Jaka!]

masih ceklis satu

Wah, kalau begini sih kayaknya nomor Retha beneran diblock oleh Jaka. Entah kenapa sekarang dia merasa sedikit menyesal karena sudah meminta laki-laki itu mengganti rugi, menunggu uang yang 'katanya' akan dikirimkan oleh orang itu, dan memberi spam pesan singkat bertubi-tubi ke nomor laki-laki itu.

[Ya udahlah. Gak ada gunanya juga nungguin duit dari dia.]

Retha mengintip sedikit jam di ponselnya. Sekarang waktu menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit. Itu artinya, dia masih punya sedikit waktu untuk memainkan ponselnya sejenak. Usai keluar dari aplikasi whatsapp, Retha masuk ke youtube yang terpasang di ponsel. Dia buru-buru mengambil earphone yang disimpan di kantung tas bagian depan. Setelah konektor audio tersambung dalam ponsel, gadis itu memasang dua buah earplug di kedua telinga.

Naretha perlahan tenggelam dalam dunia kecilnya.

****

Setelah mata kuliah Teknologi Sediaan Semi Solid dan Liquid (TSSL) di jam kedua berakhir, Retha keluar dari kelas beberapa saat setelah kerumunan di sana mulai berkurang. Ia sedikit mempercepat langkah saat menuruni tangga menuju lantai satu, kemudian setengah berlari menuju kantin fakultas.

Sesampainya di kantin, dia membungkuk sejenak demi mengatur napasnya yang tidak teratur. Kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari dua orang gadis yang katanya sudah menunggu sejak beberapa saat yang lalu. Senyuman Retha melebar ketika menemukan Zia dan Seanna sedang melambaikan tangan mereka. Ia pun menghampiri keduanya dengan langkah riang sambil tentu saja tersenyum lebar.

"Tumben lama banget, Re. Biasanya lo duluan yang nyampe kantin," sambut Zia ketika Retha sudah berada di hadapan mereka.

"Biasa, Pak Tono. Kalian tau sendiri kan gimana lamanya beliau kalau ngajar?" Retha mendaratkan bokongnya di bangku panjang sebelah Seanna, berhadapan dengan Zia.

"Yah, mie ayam Pak De rame banget ..." Retha mengeluh pelan saat melihat banyaknya barisan memanjang yang mengantre di depan kios mie ayam kesukaannya. "Gue masih ngidam mie ayam padahal ..." lanjutnya lagi.

"Loh, bukannya lo beli mie ayam kemarin? Gak jadi kah?" tanya Seanna.

"Jadi ..." Retha mengambil napas berat, kembali mengingat kejadian naas yang menimpa mie ayam kesayangannya karena ulah Jaka yang tiba-tiba menabrak bahunya kemarin. "Tapi gak sempet gue makan karena tiba-tiba mie ayamnya jatoh gara-gara gue tabrakan sama orang."

"Ya udah sekarang pesen lagi aja."

Retha menggeleng, menolak saran dari Zia. "Males, Zi. Rame banget. Kemaren gak serame biasanya, makanya gue semangat."

Satu per satu makanan dan minuman yang dipesan sudah datang, yaitu nasi goreng dan es teh manis untuk Kezia dan paket ayam penyet dan es kopi untuk Seanna. Sebenarnya perut Retha mulai keroncongan setelah melihat makanan-makanan yang tersaji di atas meja. Tapi kan ia tidak mungkin sekonyong-konyong minta ke mereka, kan?

"Laper juga ya lama-lama hahaha," gumam Retha sambil sesekali menekan perutnya yang dari tadi berbunyi keras. "Bunyi perut gue gak kedengeran, kan?

"Enggak kok. Lagian lo mah aneh, ditawarin malah gak mau," jawab Seanna seraya mengeluarkan hand sanitizer dari saku kardigannya. Kemudian ia meletakkan botol cairan sanitasi tersebut di tengah meja setelah menggunakannya. "Kalau mau minta ambil aja, ya?"

Ketika teman-temannya mulai sibuk dengan makanan masing-masing, Retha masih duduk bergeming memandangi deretan kios dengan tatapan kosong. Sampai saat ini, dia masih bergelut dengan pikirannya sendiri tentang apa yang harus ia makan siang ini.

Huh, sebenarnya Retha masih mendambakan mie ayam favoritnya itu, namun melihat banyaknya antrean di sana membuatnya enggan datang ke kios tersebut.

Retha mengerutkan kening ketika Pak De berjalan ke arahnya sambil membawa satu mangkuk mie ayam serta es teh manis yang ditaruh di atas nampan plastik berwarna putih. Tadinya dia sempat menduga kalau pria paruh baya ini sedang membawakan pesanan dari orang di sekitarnya. Namun ternyata dugaan itu salah.

Pak De memang sedang mengantarkan makanan tersebut kepadanya.

"Loh Pak De, saya kan belum pesan ini?" Retha memandangi Pak De dengan sorot bertanya-tanya.

"Mas Jaka yang memesan ini untuk Neng Retha. Sebentar, dia juga ngasih saya surat buat Neng," pria itu menyodorkan secarik kertas pada Retha yang masih menunjukkan wajah bingungnya.

"A-ah iya, makasih Pak De ..."

Setelah Pak De kembali ke kios, Retha segera mengedarkan pandangan ke sekitarnya, mencari sosok Jauzan yang 'siapa tahu' masih ada di kantin. Ya, dia menemukan Jaka yang sedang berbincang-bincang dengan ketiga teman dekatnya, Raje, Savier dan Lingga. Ketika tatapan mereka bertemu, Jaka memberi isyarat agar Retha membaca secarik kertas yang ada dalam genggamannya.

'Gua udah ngasih mie ayam sebagai ganti rugi masalah kemaren. Jadi tolong jangan bilang gua orang yang gak bertanggung jawab.'

Oh oke, makasih Jauzan. Setidaknya hari ini Retha bisa kembali menikmati makanan kesayangannya ini.

****

"Akhem. Jadi gimana bisa lo dikasih mie ayam sama Jaka tadi?"

Zia yang sudah menyelesaikan makan siangnya memandangi Naretha dengan sorot yang penuh rasa ingin tahu. Bukan bermaksud meremehkan sahabatnya ini, tapi selama berteman dengan seorang Naretha, dia belum pernah menyaksikan interaksi lucu antara sahabatnya bersama lawan jenis. Jadi melihat Jaka memberikan semangkuk mie ayam untuk Retha adalah hal yang cukup ... langka?

"Lo ada apa-apa sama Jaka, ya? Parah banget gak bilang apa-apa sama gue dan Zia," timpal Seanna yang juga tampak ingin tahu dengan apa yang terjadi pada Retha tadi.

"Kemarin dia ngejatohin mie ayam gue sampe isinya berceceran ke mana-mana. Lo tau gak sih gimana galaunya gue gara-gara itu seharian? Dan ya ... Gue sama Jaka gak ada hubungan apa-apa!" jelas Retha panjang lebar.

"Bukan gak ada mungkin. Tapi belum. Gue ramal sih bentar lagi kalau nggak lo yang suka sama dia atau dia yang suka sama lo," kata Seanna dengan suara sok misterius yang dibuat-buat.

"Atau bisa juga dua-duanya!" timpal Zia yang mendapat anggukan penuh semangat oleh gadis di sebelah Rheta.

Rheta memutar bola mata kemudian menatap dua sahabatnya dengan sorot yang sinis. "Ck. Udah kayak dukun aja lo berdua sok-sokan ngeramal." Kemudian ia meneguk habis es teh dalam gelas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Lagipula, dia bukan tipe gue, jadi mustahil kalau gue bakalan suka sama dia. Cih."

"Tapi ganteng, kan? Kalau lo bilang nggak, keterlaluan sih," kata Seanna.

Rheta kembali mengamati Jauzan yang sesekali tersenyum saat mengobrol dengan tiga laki-laki di deretan meja yang tak begitu jauh dari tempatnya berada.

Kalau dilihat-lihat, orang itu memang lumayan ganteng. Lumayan loh, LUMAYAN. Bukan ganteng yang ganteng banget kayak Jaehyun, pacarnya. Kalau boleh menilai wajah Jaka, laki-laki itu berada di urutan nomer 7 dari sepuluh besar. Nomer satunya siapa? Jung Jaehyun, lah!

"Ganteng, tapi masih gantengan pacar gue."

"Siapa?" tanya Zia basa-basi. Meski sebenarnya ia sudah paham betul arah pembicaraan Naretha selanjutnya.

"Jung Jaehyun lah. Liat nih, gantengnya paripurna!" Retha menunjukkan wallpaper yang terpasang di ponselnya pada Zia dengan menggebu-gebu. "Udah cocok banget kalo disandingin sama gue!"

See? Naretha always bragging about Jung Jaehyun. Duh, gimana mau dapet pacar kalau setiap hari kerjaannya hanya nge-haluin cowok Korea terus?

To Be Continued