Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Makan malam sedang berlangsung. Di rumah besar Mbah Sani, sekarang nenek tua itu tidak makan sendirian lagi, dia bersama cucunya Damai.
Seperti biasa, dua assistant Mbah Sani berdiri tak jauh dari meja makan. Di meja makan besar dengan delapan kursi yang mengelilinginya itu tersaji tiga menu makanan berat yang sudah dimasak oleh assistant dapur di rumah itu. Mbah Sani memerintahkannya untuk membagikannya pada tetangga sebelah-sebelah rumah mereka untuk menyambut kedatangan Damai di sana.
"Dimakan Le," kata Mbah Sani. Memanggil cucunya dengan panggilan khas orang jawa timuran. Thole.
Damai masih memegang sendoknya, nasi putih di piring juga belum diisi lauk. Matanya meneliti setiap menu masakan yang ada disana. Mereka hanya berdua, tapi sepertinya tiga menu itu terlalu banyak. Ada ayam rica, duet maut sate dan gule kambing, dan satu lagi sup iga. Tiga menu besar dari bahan yang berbeda-beda. Belum lagi aneka gorengan sebagai pelengkap disana. Ada gorengan yang biasa Mbah Sani sebut dengan mendol, bahannya terbuat dari tempe dicampur bumbu rempah khas lalu dibentuk lonjong kemudian digoreng. Ada juga mendoan, dan bakwan. Damai bingung dia harus makan dari mana dulu.
"Mbah, emang biasanya makan sebanyak ini?" Damai menatap Mbah Sani heran.
"Nggak Le, ini cuma buat syukuran aja. Mbah bagi-bagi ke tetangga kanan, kiri. Tapi masih banyak juga. Nggak apa nanti buat mbak-mbaknya di belakang juga," balas Mbah Sani santai.
"Emang disini kalau syukuran pake sup iga juga Mbah?" Damai mengarahkan sendoknya pada mangkuk besar berisi hampir penuh sup iga. Menatap sup yang masih mengepul itu dengan kening berkerut.
Mbah Sani menahan tawanya. "Nggak sayang. ini semua ide Mbah saja. Biar gak itu-itu aja menunya kalau syukuran. Lagian sup iga kan kesukaan kamu." Astaga. Pantas saja, Damai sempat berpikir apa mungkin semua orang disekitar sini selalu mengadakan syukuran menggunakan menu seperti yang ada di hadapannya sekarang. Sepertinya terlalu ekstrim bukan? Sungguh Mbahnya itu memang beda dari yang lain.
Akhirnya Damai menyendok sup iga kesukaannya ke dalam piring. Beberapa sendok kuah, dan satu potong daging iga yang besar, dipadukan dengan sambal dan mendol. Mbah Sani menyantap ayam rica-rica dan nasi hangat, dipadukan dengan bakwan goreng. Sungguh nikmat.
Makan malam berjalan dengan lancar selama beberapa saat. Damai dan Mbah Sani makan dengan tenang hingga suapan terakhir. Hidangan penutup ada buah semangka yang sudah dipotong kecil-kecil dan baru saja tersaji di atas meja.
"Kalau ada ayah kamu, pasti dia tadi makan gule kambing." Mbah Sani membuka suaranya ditengah menyantap semangka. Jadi di balik menu makanan hari ini bukan sembarangan diminta oleh Mbah Sani. Putranya tunggalnya, yaitu ayah Damai yang meninggal beberapa bulan yang lalu sangat menyukai gule dan sate kambing. Mbah Sani sengaja meminta tiga menu favorit dari anggota keluarganya. Dirinya sendiri, Damai, dan juga Almarhum Ayah Damai.
Damai menghentikan menggigit semangka. Mengingat ayahnya sejenak. Benar sekali, satu tahun yang lalu Damai pernah diajak oleh ayahnya jalan-jalan dan makan menu favoritnya itu. Masih teringat dengan jelas betapa lahapnya sang ayah memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya waktu itu. "Ayah sudah tenang disana Mbah," balas Damai. Pelan, tapi masih terdengar jelas di tengah suasana yang mendadak lenggang tersebut. Setiap kali membicarakan ayahnya, Damai selalu merindukannya, bahkan mungkin jika pembahasan itu terus berlanjut Damai akan berlinang air mata. Tapi sekarang dia bersama Mbah Sani, Damai harus terlihat kuat, dan tegar agar Mbah Sani juga tidak menangis karena merindukan putranya.
Mbah Sani mengangguk-angguk. "Kamu benar Le. Ayah kamu orang baik, pasti dia sudah tenang di atas sana," timpal Mbah Sani.
Ya, bagi Damai ayahnya adalah orang paling baik di dunia ini. Bagaimana tidak, dia membesarkan Damai sejak usia 5 tahun sendirian, tanpa seorang istri. Bekerja keras tanpa peduli latar belakang keluarganya yang kaya, dan melindunginya setiap saat. Ayahnya membawa Damai pindah dari Malang ke Jakarta saat usianya beranjak 6 tahun, dengan alasan yang tidak diketahui Damai. Mereka berdua hidup bersama dengan baik hingga bisnis ayahnya berkembang pesat di ibukota. Sampai beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi manusia paling dicintainya di dunia.
Selama beberapa saat Damai tidak berkomentar, Mbah Sani juga melanjutkan mengunyah semangka, meskipun tidak semangat seperti di awal tadi. Entahlah suasana mendadak lesu.
"Damai," panggil Mbah Sani.
"Ya Mbah?"
"Bagaimana jika wanita itu meminta maaf dan mencarimu?" Tatapan Mbah Sani kosong. Saat menanyakan hal itu, tak bisa dipungkiri wajah tuanya memancarkan kesedihan. Kesedihan yang tidak ingin dilihat oleh Damai. Kesedihan yang bila ayahnya tahu, mungkin dia juga tidak akan menyukainya.
Damai menggelengkan kepalanya. "Wanita itu tidak akan kembali Mbah," balasnya. Mencoba untuk tetap tenang. Tatapan Damai juga berubah. Tatapan penuh kekecewaan.
"Tapi dia ibumu Le, dia pasti merindukanmu suatu hari nanti."
Damai menunduk, memijat pelipisnya perlahan. Kalimat yang baru saja diucapkan Mbah Sani membuat telinganya berdengung, dan kepalanya mendadak berat. Seolah sedang ditumpuk oleh batu besar di atasnya.Wanita yang baru saja disebut sebagai ibunya, sudah meninggalkannya di usia lima tahun. Usia dimana seorang anak masih membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. Usia dimana semua ibu di luar sana saling membanggakan perihal kemajuan putranya dalam bertingkah. Sedangkan wanita itu meninggalkan Damai, meninggalkan ayahnya yang terpuruk selama berbulan-bulan setelah kepergiannya. Dan tidak pernah kembali selama bertahun-tahun.
Hingga tiga tahun yang lalu, Damai bertemu dengannya. Bukan pertemuan indah yang di dapat. Waktu itu, terjadi sebuah hal yang masih membekas di hati Damai hingga sekarang, atau mungkin tak akan dilupakan selama-lamanya.
"Kenapa kita harus membicarakan yang tidak ada disini Mbah?" timpal Damai. Cukup! Damai tidak ingin membahas hal itu. Dadanya mulai sesak jika mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Damai tidak sanggup membicarakannya lagi.
"Mbah, lebih baik kita istirahat. Makan malam sudah selesai. Aku mau ngerjain tugas." Damai berdiri dari tempat duduknya, terpaksa memotong kalimat Mbah Sani untuk menghentikan pembahasan ini. Kemudian melesat naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Mengunci pintu dari dalam dan mematikan lampu kamar. Duduk di atas ranjang di tengah kegelapan.
Mbah Sani melihat punggung Damai menjauh, hingga hilang di anak tangga terakhir pada lantai dua. Matanya mulai mengembun, membayangkan bagaimana rasa sakit anak muda tak bersalah yang menjadi korban keegoisan orang tuanya itu. "Mbah minta maaf ya Le," gumamnya. Sebelum akhirnya meneteskan air matanya.
Di dalam kamar Damai juga tak kalah hancur. Tubuhnya bergetar, dadanya semakin sesak karena bayangan kejadian tiga tahun yang lalu menjalar semakin kuat di dalam ingatannya. Damai duduk tertunduk di atas ranjang, lalu meringkuk memeluk lututnya. Anak laki-laki itu terisak di tengah kegelapan. Semakin lama tangisannya semakin keras. Damai hanya berharap Mbah Sani tidak mendengar tangisannya ini. Dia harus tetap terlihat tegar. Damai harus ingat pesan ayahnya bahwa anak laki-laki harus kuat, dan tidak cengeng. Kali ini Damai hanya bisa meminta maaf pada ayahnya di dalam tangis. Karena tak bisa lagi menahan air matanya mengalir.