webnovel

Tanpa nama

Setelah keluar dari mobil Alvin, aku berjalan menuju kelas. Sialnya saat melewati depan kelas sebelas IPA, aku melihat Rio yang tengah asyik menyantap makanan di kotak makan berwarna biru muda yakni milik Cinta. Spontan aku menghentikan langkah hanya untuk melihat orang yang ku sayang. Bodoh. Terlalu bodoh untuk hatiku yang tercengat saat ini. Rasanya, sedih.

 

Sedih itu, saat kita melihat orang yang pernah dekat sama kita kini jadi dekat dengan orang lain. Dan gue cuma bisa berkata, 'dulu gue juga sedekat itu sama dia'.

 

Gue. Cemburu.

 

Tunggu. Aku menggeleng cepat. Gak, gak, gak! Seharusnya gue yang bikin dia cemburu, kenapa jadi gue yang cemburu?

 

Akhirnya, aku lebih memilih berjalan ke kelas daripada lama-lama melihat merek bermesraan.

 

"Pagi, Ta." sapa Acil.

 

"Pagi," jawabku.

 

"Kok lemes banget sih hari ini?"

 

"Gak apa-apa."

 

"Gue nanya ke muka lo bukan ke mulut lo. Mulut lo kalo di tanya kenapa pasti jawabnya gak apa-apa, tapi muka lo udah pasti gak bisa bohong."-Acil duduk menyamping-"gue tanya sekali lagi. Lo kenapa?"

 

Aku berdecak "Lo bisa diam gak sih?! Mau gue kenapa, mau gue kena apa, mau gue ken apa, itu urusan gue!" sengitku.

 

Buset. Galak, njir!"

 

"Apa lo bilang?!" aku menatap Acil tajam.

 

"Ng, nggak. Gue PR MTK udah loh, lo mau liat?"-Acil mengulurkan buku MTK miliknya-"tapi, jangan makan gue."

 

Emosiku mereda, ku tatap Acil dan bukunya bergantian. Pelan tapi pasti, ku raih buku tulis tersebut dan mengeluarkan buku PR-ku.

 

*****

 

"Kamu pahami ini, aku ke kamar mandi sebentar. Aku sampai sini harus kamu harus bisa." Alvin menaruh tumpukan kertas berisi rumus aljabar hingga statistika di depan mataku. Aku menatapnya tidak percaya.

 

"Lo gila? Ke kamar mandi aja gak ada lima menit," protesku.

 

"Daripada banyak bicara, lebih baik kamu manfaatkan waktu lima menit kamu untuk belajar," kata Alvin seraya keluar dari kamar.

 

"Gak ada negosiasi waktu?  tanyaku saat alvin membuka pintu kamar.

 

Alvin berbalik dan berkata, "nggak."

 

"Sepuluh menit?"

 

"Tidak."

 

"Lima menit?"

 

"No."

 

"Tiga menit?"

 

Alvin terkekeh, "oke, tiga menit lagi aku akan kemari.

 

"A-apa?" lantas alvin menutup pintu. "Hei! Ah, gila njiir. Stres gue lama-lama di rumah alvin!"

 

"Tapi...."

 

Aku tersenyum miring.

 

"Oke, akan gue manfaatkan waktu tiga menit untuk mencari hiburan."

 

Gak ada yang sempurna di dunia ini. Setiap orang memiliki kelemahan, sekecil apapun. Contohnya, Rio yang tampangnya kaya alien aja bisa dapat nilai seratus di pelajaran kesenian. Gue yang cantik, ada masalah sama rumus.

 

Alvin yang look-nya sempurna pasti juga punya kelemahan.

 

"Dimana yah?!" aku mengambil setiap buku dan selembaran kertas di lemari buku Alvin, lalu memeriksanya. Siapa tahu ada nilai nol di ulangan matematikan dan aku bisa menjadikan itu sebagai tameng.

 

Posisi rak bukunya yang berada di pintu lemari bagian bawah memudahkanku untuk mencari. Karena, tak perlu capek-capek berdiri.

 

"Gimana yah, kalo Alvin ketauan dapat nilai Nol?" gumamku. Aku tertawa renyah, "pasti sangat lucu!"-Aku bertepuk-" Pokoknya harus gue poto! Hihihi,"

 

"Semangat!"

 

 

 

Aku melanjutkan mencari harta karun kembali, namun tak satupun ku menemukan nilai di bawah tujuh pada buku tulis matematika, fisika juga kimia miliknya. Di tengah pencarian aku menemukan selembar kertas terlipat yang terselip di sebuah buku bahasa.

 

"Apa ini?" gumamku penasaran, lantas tanganku membuka kertas yang terlipat itu.

 

"Jangan!!!"

 

Teriakan itu membuatku terhentak dan segera menoleh kearah suara, Alvin yang panik dengan cepat terjatuh dan hampir menindihku. Tangannya menyangga pada dinding hingga aku terkurung di tangannya. Aku mengerjapkan mata.

 

Hal ini terjadi dengan cepat.

 

"Hmmpt" aku merasakan sesuatu menyentuh bibirku.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"Nagita," Rio bangkit dari duduknya. Ia menghampiriku yang sesegukan di ambang pintu.

 

"Lo kenapa?" tanya Rio memegang pipiku.

 

Aku menatap rio tanpa ekspresi, tatapanku kosong padanya. Di dalam pikiranku hanya ada satu kesalahan seumur hidupku yang aku sendiri tak akan memaafkannya. Dan hatiku, ada kebencian pada laki-laki ini. Mengetahui ada badai dalam hatiku, Rio menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Namun, ku cekal dengan kedua tanganku.

 

Rio menatapku aneh.

 

"Lo kenapa?" tanyanya sekali lagi.

 

Mataku menatapnya tajam, "elo...."

 

"Elo...."-aku mulai mewek-"lo kenapa ada di sini?!" pekikku bersamaan dengan keluarnya air mataku.

 

Deras.

 

Tanganku memukul dada bidang Rio yang sama sekali tidak melawan, kali ini keras. Meluapkan segala apa yang ada di pikiran dan hatiku, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku keluar kendali.

 

Rio merjalan mundur sementara aku tetap mengincar dadanya. Ku pukul, ku pukul, terus ku pukul hingga akhirnya Rio menjatuhkan diri pada kasurku. Dia terduduk. Bahuku naik turun mengatur napas, sementara mataku tak henti menatapnya tajam.

 

Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menunggu aku yang memulai. Wajahku ku tutupi dengan kedua tangan. Aku berteriak, "Aaaa!!!"

 

Tangisanku pecah saat itu juga, ini adalah tangisan terhebatku. Setelah apa yang aku pendam selama ini. Meskipun aku tak tahu apa yang ku pendam, sedih, kecewa, sakit hati, di tambah lagi kejadian satu jam lalu yang membuatku takut setakut takutnya.

 

Rio memegang pundakku yang berjongkok sambil menutupi wajah.

 

"Ta," panggilnya.

 

Aku mencekal tangannya, "apa???"

 

"Jangan nangis, gue gak suka lihat ibu gue nangis," ucapnya lembut.

 

Mataku kembali menatapnya tajam, aku berdiri kembali sedangkan Rio menatapku makin aneh. Aku terkekeh geli.

 

"Ibu? Ibu maksud lo? Ibu yang mana???" pekikku tepat di hadapannya.

 

"Every day, every time, every where, you say 'I'm your lovely'! But, I know you loving some one and she isn't me?! Gue baper, lo tau gue baper!!! Setiap perhatian yang lo kasih, omongan yang lo ucapkan, segala macem apa itu. Lo gak tau kalo gue baper sama lo!"-Aku mengtur nafas-"sampai sampai gue bikin rencana sama Alvin. Gue pura-pura pacarin dia, ngelakuin segala macam buat bikin lo cemburu, supaya gue tau lo sayang sama gue atau enggak!

 

"Dan jawabannya 'Lo Sayang Sama Gue!'" lanjutku  menekan kata yang di petik. "Lo sayang sama gue karena lo pikir gue ibu lo? Lo perhatian sama gue karena lo anggap gue adalah ibu lo?! Padahal lo sendiri tau ibu lo gak ada, ibu lo udah ma—"