webnovel

Rio Cinta Putus?

"Rio! Rio dengerin gue!"

Rio tidak memedulikan apa kataku.

"Riooo, lo tuh denger gak sih apa yang daritadi gue bilang?"

Rio tetap berjalan dan tidak memedulikan aku yang terus menarik perhatiannya.

Karena kesal, aku menghalangi jalan laki-laki itu. Aku menatapnya serius sebagai tanda apa yang aku katakan padanya itu bukan hal yang main-main.

"Nagita, mimpi itu cuma bunga tidur. Gak usah lebay gitu deh!" Rio menghentikan langkahnya, ia membenarkan seragam sekolah yang sedari tadi ku tarik-tarik sehingga berantakan. Tatapannya lurus ke depan, tanpa memperdulikanku yang berusaha meyakinkannya setengah mati. "persentasi mimpi yang jadi kenyataan itu cuma 0,00001% tahu gak?"

"Tapi, kalo nyata gimana?! Kita gak tau kan rencana tuhan gimana? Mungkin tuhan akan kasih kita rasa cinta sebagai ujian sekuat mana persahabatan kita, kecuali kalo kita emang di takdirkan untuk bersama. Jodoh gak ada yang tau, Yo," kataku semakin membuat Rio tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan ini.

Rio berdecak, "omongan lo lawak. Tapi sayang, gue gak ketawa."

"Riooo… lo jangan tinggalin gue begini gue kan—"

Baru saja Rio hendak mengambil langkah melewatiku, Cinta sudah ada di depannya. Aku melihatnya degan tatapan malas seraya melipat tangan di dada, pasti mesra-mesraan lagi didepan gue?! Lihat aja!

Kalau sudah ada Cinta di depan laki-laki itu, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Sedari tadi aku mengatakan pada Rio bahwa aku bermimpi kalau Rio

Plak!

Aku tercengang. Satu tamparan mendarat di pipi kiri Rio, laki-laki itu menatap kekasihnya heran sambil memegangi pipinya. Raut wajah Cinta tak seindah kemarin lalu, alisnya mengkerut, pipinya membulat menahan emosi.

 

"Aku emang anak kecil di mata kamu. Tapi, aku bukan anak kecil yang hanya ada permen di pikirannya. Aku gak bodoh!"

 

"Sayang, tapi...."

Plak!

 

Kali ini bukan telapak tangan Cinta yang menghantam kening Rio. Melainkan sebuah foto yang menempel di jidatnya hingga menutupi pandangan. "Aku harap, kamu gak muncul lagi dihadapan aku. Meskipun itu kebetulan.

 

"Kita putus."

 

Pandanganku mengikuti arah pergi Cinta, lalu menghampiri Rio dan mencari tahu apa yang terjadi. "Gak usah sedih, Yo. Perasaan itu emang gak selamanya. Tulus aja yang katanya nunggu '1000 tahun' akhirnya 'Pamit' juga." ucapku menenangkannya.

 

Yang di ajak ngomong diam seribu bahasa. Aku melihat raut wajahnya terkejut saat melihat foto pemberian Cinta. Aku berusaha meliriknya.

 

"Astaghfirullah!"

Aku dan Rio sama-sama terkejut melihat gambar yang ada di tangan laki-laki itu. "Rio ... i-ini kan foto kitaaa ...," kataku tidak bisa berkata apa-apa lagi. bagaimana tidak? yang ada di foto tersebut adalah aku dan Rio yang sedang foto tertidur beberapa hari yang lalu.

aku yakin ini pasti kerjaan seseorang yang menyebarkan bagaimana hubunganku dengan Rio yang sebenarnya dan dilihat dari keadaan, aku tahu siapa orang tersebut. tidak salah lagi, pasti daia orangnya.

*****

 

"Mamaaa," suaraku menggema di ruang tamu.

 

"Mamaaa."

 

"Ada apa sih, Nagita? Pulang-pulang bukannya bilang 'Assalamualaikum' malah teriak-teriak kaya di hutan!" bentak mama tepat di depanku. Lantas aku menarik telapak tangan mama.

 

"Maaf, Ma. Assalamualaikum."

 

"Waalaikum salam."

 

"Mah, Mama pasti tau ini." aku mengeluarkan selembar foto dari dalam tas.

 

Foto diriku dan Raka yang tertidur di lantai dengan beberapa buku yang terbuka. Aku tahu, Mama mengambil gambar itu ketika aku dan Rio mengerjakan PR kemarin.

 

Pantas saja Cinta marah.

 

Mama melongos, "oh, udah kesebar toh. Bagus atuh kalo gitu mah."

 

Mataku membulat. "Ba-bagus? Maksud Mama apa?"

 

"Mama cuma mau teman-teman kamu dan Rio tau kalau kalian itu pasangan yang serasi." –Mama mengelus pundakku—"Kalian temenan sejak kelas sepuluh, duduk satu meja, rumah tetanggaan. Apalagi yang bisa membuat kamu yakin kalau Rio adalah jodoh kamu?

 

"Satu-satunya jalan supaya kamu percaya adalah meyakinkan banyak orang, lalu si target akan ikut-ikutan yakin."

 

Aku menghentakkan kaki, hal yang selalu ku lakukan ketika panik. "Tapi, Ma. Rio udah punya pacar. Dan tadi pagi pacarnya Rio putusin Rio di depan mata Nagita." Rengekku

 

"Lah, bagus dong. Emang apa masalahnya kalau udah punya pacar? Kalo orang pacaran itu bisa di rebut, kalo udah nikah baru kamu mundur."

 

"Mamaaa... Mama gak ngerti."

 

"Gak ngerti gimana? Mama ngerti, dulu juga mama pernah pacar-pacaran kaya kamu. Kalau suka ya bilang suka jangan di umpet-umpetin. Kalo gak suka, gak mungkin kamu welcome sama dia sampai sejauh ini. Jangan pernah kamu sembunyiin perasaan kamu kamu yang sebenarnya, kalau telat gerbangnya gak akan bisa di buka lagi!"

 

Aku memutar bola mataku. Please, deh! Ini terlalu drama.

 

"Yaudah, cepat sana ganti baju. Mama udah siapin makan siang."

 

"Tapi, potonya gimana?"

 

"Udah ah, biarin. Jangan takut punya musuh, lawannya musuh itu namanya jagoan."

 

"Ma..."

 

"Ke atas!"

 

 

Menu makan siang hari ini adalah tumis kangkung ala mama. Karena sehebat-hebatnya Chef di luar negri, lebih enak dan special masakan Mama. Wah, jadi nambah laper kalo cium aroma masakan mama.

 

"Nagita, karena ayah Rio minggu ini pergi ke Ausie untuk mengerjakan bisnis, jadi, latihan tunangannya di undur jadi bulan depan." ucap Mama menaruh sepiring kangkung yang sudah ku tunggu di meja makan.

 

"Nagita!"

 

"I-iya, Mah. Aku dengar," ucapku tak acuh. Nyam, nyam, ugh... Enak banget! Makanan mama emang paling top dah sedunia.

 

"Terus gimana?"

 

Aku berhenti mengunyah sejenak, alisku mengkerut, "gimana?"

 

"Di tanya malah nanya lagi."

 

"Gimana apanya, Ma?"

 

"Ya, terus gimana? Rio udah kamu kasih tau belum?"

 

"Emang Rio belum tau?"

 

"Ck, kami sepakat untuk kamu yang memberitahu Rio soal rencana ini. Kalau tahu dari orangnya langsung kan enak."

 

 

 

Mendengar itu aku lebih memilih melanjutkan makanku kembali. Lima menit kami saling diam, tiba-tiba telpon rumah berbunyi. Mama lekas bangkit dan berjalan menuju ruang tamu untuk menjawab telpon. Aku melihat kepergiannya, lalu fokus kembali pada hidanganku yang tinggal setengah piring.

 

"Nagita, telpon untuk kamu!" seru Mama.

 

Ck, pasti itu Rio! "Suruh kerumah aja, Ma."

 

"Dia gak tau rumah kamu, Sayang."

 

Aku mendelik, Siapa lagi coba yang nelpon gue ke rumah selain Rio?! Perasaan aku memberi nomor ponselku pada semua teman sekolah.

 

Rasa penasaranku membuatku meninggalkan setengah piring kangkung yang tak sempat ku habiskan. Aku segera beranjak ke ruang tamu, mengambil telpon rumah yang di ulurkan Mama padaku.

 

"Halo?" sapaku.

 

"Hai, Nagita."

*****