webnovel

Kenal Keluarga Nagita

"Papa juga terkejut saat Alvin meminta kartu nama Papa. Papa pikir dia akan meneror rumah kita, ternyata...." Papa terbahak untuk kesekian kali, bahunya naik turun. Menu hari ini adalah ikan bakar, makanan kesukaan Papa.

 

"Papa, nanti tersedak," sela Mama.

 

"Lalu, bagaimana kamu bisa kenal dengan Alvin?"

 

Aku berdecak, "insiden yang kurang enak. Tapi, dia baik kok Pah. Baik banget!"

 

"Kamu tepat memilih laki-laki. Dia anak konglomerat, berpendidikan dan ...."

 

"Papa! Jangan bilang Papa bicara seperti itu karena Papa mau menjodohkan Nagita dengan Alvin?! Nagita itu sudah punya Rio, Pah."

 

Ya, Ampun Mama.

 

"Ya, kalo anaknya cocok dengan Alvin bagaimana? Lagi pula, tidak baik menghancurkan persahabatan dengan cinta."

 

Aku meletakan sendok dan garpu di atas piring. Berdiri dan berjalan ke kamar tanpa mengatakan apa pun pada kedua orang tuaku. Panggilan Mama dan Papa pura-pura tak ku dengar Tenggorokanku seperti tersumbat, perutku tiba-tiba kenyang. Rasanya sangat malas membicarakan jodoh saat sedang makan. Nafsu makanku hilang begitu saja.

Baru saja aku menutup pintu, belum terlepas genggaman tanganku pada knop pintu. Seorang pria tengah dudu di ranjang sambil memainkan Game Player-nya.

 

Rio. Tak heran jika ia masuk memanjat balkon.

 

"Tumben makannya cepat?" tanyanya tetap fokus pada game.

"Gak nafsu."

 

"Oh."

 

Aku termenung, hari ini tengil Rio tidak keluar.

 

"Gue rasa, lo benar." aku menatapnya.

 

"Cinta itu gak selamanya. Setiap kata memiliki sinonim dan antonim, persamaan dan perbedaan. Ada kasih dan sayang, bertemu dan berpisah, juga cinta dan benci. Gue udah bertemu dengan antonim sifat Cinta dan tugas gue merelakan.

 

"Tapi, gue gak bisa." lirihnya.

 

Masih berdiri di depan pintu, aku mendengar curhatan Rio setengah hati. Setengahnya lagi Mati! Hati aku mati dan kamu yang matiin hati aku!!! Aseek. Jangan heran ada kata-kata ini, soalnya aku abis nonton 'London Love Story' di salah satu TV swasta.

 

"Ta, sini deh," perintah Rio dan aku menurut.

 

Aku duduk di ranjang, samping Rio tepatnya. Wajahnya mendekat ke telingaku, aku siap mendengarkan curhatan Rio kembali walau hatiku harus tersayat oleh cinta yang seharusnya perasaan yang mendukungku, namun Cinta yang di perbincangkan adalah seseorang yang menghancurkan hati Rio dan menusuk hatiku.

 

Kita di sakiti oleh orang yang sama. Rio yang hancur karena hubungannya berakhir dengan satu tamparan plus bentakan juga bonus foto yang tak terduga --ulah Mama-- dan aku, Cinta yang menarik hati Rio membuat aku merasa hatiku tertusuk kaktus.

 

Dengan seksama aku mendengarkan dan Rio berkata, "kita kayak lagi malam pertama yah."

Pluk!!! Sebuah bantal tepat menghantam kepalanya

 

"Riooo!!!"

 

*****

 

Hari ini ada pelajaran seni. Paling males kalo ada tugas nyanyi, puisi atau ngarang tentang liburan sekolah disuruh maju ke depan. Tugas ini udah seminggu yang lalu, namun aku belum juga bisa memilih lagu mana yang cocok untuk suara emasku ini. Iya emas, kayak bebek ngepek-ngepek. Aku bingung mau nyanyiin lagu hancur hatiku dari sang komedian legend atau separuh jiwaku pergi dari Mas Anang.

 

Pilihan yang sulit memang karena dua-duanya mewakili kehidupanku. Hancur hatiku karena suara ku ancur. Separuh jiwaku pergi sih, supaya gurunya bilang 'Yes' dan meloloskan aku ke tahap selanjutnya.

 

Kini giliran Rio maju.

 

Ia membawa gitar yang sering di bawa ke rumah gue di tangan kiri dan menyeret kursi kelas ke depan dengan tangan kanan. Sudah ku bilang, Rio jago main gitar. Sedikit bocoran dari dia, lagu yang mau di bawakan Rio adalah Anji yang berjudul 'Dia'

 

Jreng...

Oh, tuhaan. Ku cinta dia.

Sayang dia. Rindu dia.

Dianya enggak...

 

Ngok. Seketika kelas hening.

 

 

Semakin kesini semakin aku tau kalo Rio beneran gagal move on. Dia semakin menunjukan kegalauannya dengan tingkah laku. Mulai dari PM di BBM, sering melongok saat lewat kelas sebelas IPA, juga tertawa terlalu kencang saat bercanda padaku. Biasanya, orang yang tertawa paling keras adalah dia yang menyimpan banyak masalah di hatinya.

 

Ini yang aku takuti. Perhatiannya kepada ku mungkin untuk pelampiasan.

 

Nagita Alana : Yo.

 

Rio Gingsul : kenapa?

 

Nagita Alana : Maen yuk.

 

Rio Gingsul : kemana?

 

Nagita Alana : lampu merah! Ya, jalan-jalan lah.

 

Rio Gingsul : gue kira ngajep-ngajep.

 

Nagita Alana : lagak lo ke club, nonton dangdut aja kaki lo ke injek.

 

Rio Gingsul : Garing, Ta. Oh iya, cowok yang kemarin ke rumah lo siapa? Gue liat pas mau pergi futsal.

 

Nagita Alana : Bukan siapa-siapa. Dia anak dari teman bokap gue doang.

 

Rio Gingsul : Oh, yaudah nanti malam gue ke rumah lo yah.

 

 

Pintu kamar terbuka. Aku lantas merapikan alat make up ke dalam laci meja riasku -takut di ledek Rio- aku pikir itu Rio, maklum rumahku sudah kayak rumahnya sendiri. Ternyata Mama, aku segera beralih dari cermin menghadap Mama. "Ta, ada teman kamu di bawah."

"Suruh ke atas aja mah. Biasanya juga nyelonong," ucapku

 

"Bukan Rio. Tapi, Alvin."

 

What the...

 

Aku mempercepat langkah menuruni tangga. Aku menyuruh Rio kesini dan tanpa di duga Alvin kemari. Tak bisa di bayangin gimana perang dunia ke tiga terjadi di rumahku. Aku tidak mau buku paket sejarah sekolah tambah tebal. Aku benci pelajaran sejarah!

 

"... Dia. Nagita jalan sama gue! Gue udah janjian sama dia tadi sore!" teriakan itu membuatku semakin khawatir.

 

"Dia ada kencan denganku."

 

"Kencan? Nagita itu jomblo."

 

"Rio! Alvin!" kedua laki-laki bertolak belaka itu menoleh ke arahku. Alvin mengenakan kemeja kotak-kotak di balut jas hitam dengan dasi berloreng. Sedangkan Rio hanya mengenakan kaos di padu sweater yang dia di gunakan kemana pun ia pergi.

 

Gue ngerasa dunia ini terbalik. Alvin yang tampangnya badboy berpenampilan rapi banget. Sedangkan, Rio yang wajahnya kalem malah acak kadut.

 

"Kalian ngapain sih, di sini?" tanyaku.

 

"Kita kan mau jalan."

 

"Kita kan ada kencan."

 

Rio menarik kerah baju Avin, "gue tagasin sekali lagi sama lo. Nagita gak punya pacar!"

            "Udah-udah. Rumah gue bukan ring tinju, lantai runah gue bukan lingkaran sumo apalagi matras taekwondo. Kalo kalian berantem, gue juga yang repot!" ucapku berusaha merelai.

 

"Eh, ada Rio." mendengar suara Mama, Rio melepaskan cengkraman pada kerah baju Alvin.

 

"Kalian mau pergi bertiga?"—Mama turun dari lantai dua—"Tante gak larang kok. Yang penting kalian bisa jaga Nagita."

 

*****