Hubungan Qafka dengan Putri malah semakin lengket saja, bahkan gosip yang kudengar bahwa mereka terpilih menjadi pasangan teromantis menurut warga-warga sekolah. Meskipun pemilihan semacam itu tak melalui pungutan suara seperti pemilihan ketua osis tapi berita tentang mereka tak ada habisnya. Setiap hari ada saja topik kehangatan hubungan mereka yang sampai ke telingaku. Andai saja telinga ini layaknya permainan bongkar pasang, pasti sudah kulepas sebelum masuk ke gerbang sekolah.
Aku kembali pada masa di mana bicara hanya untuk kepentinganku saja. Aku menjadi Nadir yang dingin bahkan lebih dingin dari Nadir berumur lima tahun. Bukan berarti Qafka benar-benar hilang dari hidupku, dia masih sering datang ke rumah malah kemarin bersama ibu ia membantu di dapur dan makan bersama. Interaksi yang terjadi antara dia dan Ibu tidak berbeda, berbanding terbalik padaku, dia sibuk dengan ponselnya lalu tersenyum kemudian kembali berbincang dengan ibu, seolah-olah aku tak ada di ruangan yang sama dengan mereka. Rasanya ingin sekali kubuang Qafka ke Segitiga Bermuda agar hilang dan tidak dapat ditemukan.
Aku jadi takut masuk ke dunia orang lain, takut akan mengalami cerita serupa. Aku tersesat Qafka, bahkan tanpa kauketahui aku sudah terlalu dalam mengikuti alur ceritamu. Bukankah sangat tidak menyenangkan persahabatan seperti ini? Apakah ini masih bisa disebut persahabatan jika saling menyakiti?
***
Sore kali ini terasa lembab dan bau tanah selepas hujan masuk ke indra penciumanku. Malas untuk langsung pulang ke rumah, aku memutuskan pergi ke taman belakang sekolah yang ukurannya lebih besar dari taman sekolah terdahulu. Kulirik sekitar memang jarang sekali ada orang ke sini apalagi pada jam-jam menjelang sore, murid lebih baik pulang atau pergi ke pusat perbelanjaan.
Aku sengaja melepas sepatu agar ujung rumput yang masih basah menyentuh telapak kakiku dengan lembut, begitu menyenangkan sekaligus menenangkan. Ada setetes air meluncur, jatuh di atas kakiku. Itu air mata, aku paham betul. Sumber air yang selalu siap meluncur ketika aku memikirkan Qafka.
"Kamu salah kalau ingin menangis di sini, ini tempat umum!"
Siapa laki-laki tinggi kurus ini? Seragamnya sama dengan seragamku, ah, apa aku terlalu sibuk dengan Qafka sampai tidak pernah peduli pada lingkungan sekolah? Kuhapus jejak air mata di pipi sekaligus menatapnya dengan bingung.
"Turunkan alis matamu itu," Ucapnya seraya mengambil tempat duduk tepat di sampingku.
"bukankah lebih menyedihkan kau? Muncul di depan perempuan yang tidak kaukenal, tanpa sopan santun menyapa seolah-olah kau mengetahui segalanya!"
"Selama belum ada undang-undang yang mengatur tata cara menyapa orang, aku rasa tak perlu cemas. Jatuh cinta pada siapa pun itu tidak pernah salah, jangan salahkan dirimu atau perasaanmu!"
"Manusia sepertimu masih ada di muka bumi ini? Bukankah harusnya kau pergi saja ke luar angkasa menemui teman-temanmu! Ikut campur urusan orang lain."
"Siapa? Bintang? Wajahku ini tidak bisa menipu ya, tampan tanpa ampun."
Aku semakin mengerutkan kening dan hanya tersenyum iblis. Pantas saja jika generasi abad dua puluh satu jarang mendapat sambutan yang baik karena pemikiran mereka memang digunakan untuk ikut campur urusan orang lain. Merusak citra manusia dan menambah beban sosial saja. Ungkapku dalam hati dan sekaligus membereskan sepatu untuk segera pulang. Niat untuk menikmati sore sudah kandas akibat laki-laki jangkung yang aneh ini.
"Na…Nair?" Dia mencoba membaca nama pada seragam sekolah yang masih kukenakan yang kemudian kubalas dengan ucakapan kekesalan.
"Nadir. Terlalu naif, kau ingin mengajak berkenalan tapi malah mencampuri kehidupan pribadi yang bahkan baru kautemui satu menit lalu!"
"Kata siapa aku menemuimu semenit yang lalu? Aku sudah berada di sekolah ini selama sebulan dan selama itulah aku memperhatikanmu,"
"Lantas hanya dalam waktu itu kau merasa sudah mengetahui banyak tentangku? Sepertinya ada yang salah dengan isi kepalamu!" aku memutuskan untuk bangkit dari tempat duduk itu dan meninggalkan laki-laki yang membuatku semakin meradang. Patah hati yang harusnya bisa kurayakan sendirian malah berujung kesal pada alien jangkung itu. Aku juga tak berniat menanya balik nama lelaki itu. Aneh.
"Nadir, aku sudah selesai les. Ayo pulang," Pesan singkat dari Wila membuat rasa kesal sedikit mengendur. Lelaki itu harus berterima kasih pada Wila karena telah diselamatkan dari amarahku yang sejak tadi ingin meletus. Kujumpai Wila di gerbang sekolah dan aku paham betul lelaki itu masih mengikutiku dengan lambat dan teratur.
"Wi, cepat, perasaanku juga sedang tidak baik. Kamu lihat laki-laki yang di belakang itu, kan? Dia berani sekali menceramahi tentang perasaanku ketika berada di taman belakang. Padahal aku tidak mengenalnya."
"Na, ya Tuhan… Benar dia bicara sama kamu?"
"Iiya. Memangnya kenapa?"
"Dia itu anak baru namanya Deka, anak XI-IPA2. Padahal baru sebulan dia sekolah di sini tapi sudah mencuri perhatian banyak orang. Kamu perempuan pertama yang diajak bicara sama dia! Ya selain guru-guru, dia mirip kamu, jarang bicara dan sekalinya bicara malah ketus."
"Ah, gak ada untungnya juga bicara sama dia dan dia lebih dulu mengajakku bicara, ah, bukan bicara. Ikut campur dalam tangisan orang lain lebih tepatnya."
***
"Matamu tidak bisa bohong. Aku mengetahui bahwa perasaanmu sedang sakit dan tidak tahu kapan bisa sembuh. Ketika perasaanmu bukan untukku maka aku tidak akan memaksa. Karena cinta tidak butuh paksaan dan tidak butuh apa-apa, cinta hanya bertugas menerima. Jangan lakukan hal bodoh untuk membuat aku pergi, karena aku tidak akan mampu melakukannya dan tidak akan pernah bisa menjauh darimu. Berbagilah denganku, semua rasa sakit yang menggerogoti tubuh mungilmu. Hatimu satu dan jika harus berdesakan untuk sampai ke sana atau harus kehilangan seluruh langkah panjangku, apapun itu aku rela. Demi senyummu yang damai. Aku masih dan akan terus mencintaimu sedalam ini, Nadir Sakinah."
Dari lelaki berkaki panjang,
Deka Isyah
***
Aku dan Wila menaiki angkutan umum yang sama. Sejak Qafka berpacaran dengan perempuan itu, setiap pergi dan pulang sekolah aku berangkat dengan Wila, rumah yang searah dan satu kelas pula, menjadikan kami begitu dekat, ya, di antara banyak rasa sakit akibat jatuh cinta pada sahabat sendiri dan tuhan tetap mengirim kebaikan lain— tentu saja Wila. Bahkan dalam suasana gerah aku masih saja memikirkan Qafka dan pacarnya, seolah-olah semua orang telah mati dan hanya Putri manusia yang hidup di muka bumi.
"Kamu jangan mikirin Qafka melulu, Na!" ucap Wila pelan dengan ekor matanya yang mengetahui kegelisahanku. Dia tahu aku menyukai Qafka tanpa harus kuceritakan panjang lebar, kemampuan intuisi Wila sama dengan Ibu, curang, mereka berdua terlalu memahamiku.
"Ah, engga kok, Wi. Aku cuma gerah aja."Aku memang bodoh sekali. Membuang-buang waktu untuk memikirkan hal paling sia-sia. Sudah tahu persahabatan antara perempuan dan laki-laki tak ada yang berjalan mulus dan kau masih terus percaya pada keajaiban yang entah di mana. Ayolah Na, tidakkah kau lelah memberi makan egomu sendiri?
"Eh, Na. kamu lihat ke belakang coba, Deka satu bus sama kita!" Kulihat wajah Wila yang kegirangan itu. Terlalu berlebihan ekspresi yang dia keluarkan, padahal laki-laki yang dia senangi itu tidak ada menariknya sama sekali. First impression dengannya saja sudah bisa dipastikan bahwa dia adalah manusia yang tidak akan berteman denganku. Kaku dan sok tahu!
"Na, lihat dong lihat!"
"Aduh Wila, aku sedang tidak bersemangat untuk membicarakan laki-laki! Lebih baik lihat ke luar jendela, meskipun setiap hari kita melewati jalan ini tetap saja ada hal yang terlewatkan. Sudahlah, lagi pula dia bukan tema yang menarik untuk kita bicarakan."
Wila memanyunkan bibirnya beberapa senti karena ucapanku yang terkesan memarahi sikapnya. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Wila dengan ponselnya dan aku dengan pikiran tentang laki-laki yang sedang latihan sepak bola, lalu ada perempuan yang memberinya air mineral, dan itu bukan aku. Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi itu muncul berduyun-duyun tanpa aba dan aku hanya menghela napas.
"Na, aku turun duluan ya, kamu hati-hati!"
"Ah, iya Wi. Kamu juga."
Jika diukur dari sekolah rumah Wila memang lebih dekat daripada rumahku. Sebenarnya hanya beda beberapa blok, sebentar lagi aku juga akan turun, tak berniat mengubah posisi duduk, dan ternyata…
"Kita bertemu lagi, kan?"
"Kau mengikutiku!"
"Terlalu percaya diri! Tapi benar juga, aku tertarik pada perempuan yang tersenyum ketika rumput membelai jari-jari kakinya." Kulihat ia sebentar, Tuhan, manusia aneh seperti dia kenapa harus muncul, sudah banyak derita yang harus kutanggung apalagi setelah Qafka menghilang dari pandangan.
"Kenapa kau harus duduk di sini?"
"Jangan terlalu berisik, aku mau tidur."
Aku hanya mendengus melihat kelakuan anak Adam yang satu ini. Bisa tolong lenyapkan dia? Setidaknya jangan ganggu aku untuk hari ini saja. Ini terlalu melelahkan!
Aku turun tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sudah kubilang bahwa aku bukanlah orang yang ramah apalagi saat suasana hatiku seperti ini. Aku harus berjalan melewati beberapa rumah lagi untuk sampai ke rumah karena bus yang kunaiki tadi memang hanya sampai persimpangan blok. Tapi kenapa manusia aneh itu juga ikut turun? Apa rumahnya juga di sini?
Aku membalikkan badan "lagi-lagi kau mengikutiku, kenapa?"
"Hm? Untuk apa? Yang benar saja. Rumahku juga di sini!" katanya sambil berjalan mendahuluiku. Ah, setahuku tidak ada pemilik baru di lingkungan ini bahkan ibu hafal masing-masing pemilik rumah di sini. Apa manusia ini berhalusinasi? Ah, apa pentingnya dia. Aku memasuki halaman rumah dan kulihat dia melambatkan jalannya kemudian berbalik melihatku, sebelum masuk dan menutup gerbang "Kenapa kau berbalik? Pulang sana!"
"Ah iya. Untuk memastikan saja bahwa ini rumahmu. Jadi kalau aku tak menemuimu di sekolah, aku bisa langsung ke rumah ini, daah." Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran manusia itu. Jadi dia hanya mencari alasan untuk mengantarku pulang? Tidak jelas.