webnovel

Naara: Blind Sword

Cinta, kedamaian, kebahagiaan, kehangatan. Apa semua itu? Dia sudah melupakan semua perasaan itu atau mungkin, sebenarnya dia tidak pernah merasakan hal itu. Entahlah ... dia merasa ragu tapi yang jelas, baginya hidup telah berhenti saat dia berusia delapan tahun. *** "Anak tidak berguna, seharusnya kau mati saja." "Aku sangat sial karena memiliki anak sepertimu. Akan lebih baik kalau kau tidak pernah lahir." Yah. Itu hanya sedikit dari makian yang selalu dilontarkan ayahnya. Andai saja sebelum dilahirkan, ia ditanya oleh pencipta apakah dia ingin lahir atau tidak maka dia tidak akan pernah ingin. Andai dia bisa memilih dari mana ia ingin lahir, ia tidak akan memilih orang tuanya. Tidak akan pernah. Bugh ... bugh ... bugh Pria itu terus memukul dan menendangnya bahkan saat tubuhnya telah berdarah-darah, pria itu tidak peduli. Sekalipun ia pingsan, sekarat atau mati, pria itu juga tidak akan peduli. Bahkan pria itu akan sangat bahagia karena anak yang selalu ia anggap sampah sudah tidak ada. Apa salahku? Setelah disiksa habis-habisan ia akan meringkuk sambil menangis di bawah tempat tidur. Tubuhnya sakit tapi hatinya lebih sakit. Kenapa? Kenapa? Kenapa?!!! Ia ingin menjerit dan berteriak sekerasnya. Jika saja ibunya datang dan memberinya pelukan mungkin rasa sakitnya akan berkurang tapi lupakan saja. Wanita itu bahkan tidak mau menyentuhnya. Meskipun tidak ikut menyiksa tapi wanita itu selalu dingin dan bersikap tak acuh. "Naara ...." Sebuah tangan terulur untuknya. "Kakak ...." Ia mengangkat kepalanya dan melihat seseorang tersenyum hangat dan menatapnya penuh kasih. Satu-satunya orang yang ia miliki adalah Isura, kakaknya. Isura menariknya keluar dari kegelapan dan memberikan sebuah pelukan. Baginya, pelukan Isura adalah surga. Dimana dia bisa merasa tenang, damai dan melupakan rasa sakitnya. Walaupun cara kedua orang tua mereka memperlakukan mereka berbanding terbalik, mereka tetap saling menyayangi. Baginya Isura adalah segalanya namun lagi-lagi takdir bersikap tidak adil. Suatu malam insiden itu terjadi, insiden di mana ia kehilangan segalanya. "Na-Naara ... berjanjilah untuk tetap hidup ...." Isura meregang nyawa sesaat setelah menerima serangan mematikan ayah mereka yang ditujukan kepadanya. "Ka-kak ... hiks ... hiks ...." Sejak malam itu, ia menjadi orang yang kosong dan sangat hampa. Tidak ada yang tersisa dalam hatinya selain ambisi kuat untuk balas dendam kepada ayahnya. Lalu ... apakah dia akan berhasil? Apakah dia akan tetap pada jalan balas dendamnya meskipun penulis sudah mengirim seorang gadis yang akan mengeluarkannya dari kegelapan juga membuat hatinya terisi oleh perasaan-perasaan yang pernah ia lupakan? Apakah dia tetap ingin membenamkan dirinya dalam kegelapan yang hampa meskipun sang penulis sudah mengirim orang-orang yang menganggapnya teman dan menghargai keberadaannya? Entahlah. Tidak ada yang tahu bahkan penulisnya sendiri juga tidak tahu. Karena itu mari kita serahkan semua pada semesta.

Ogi_457 · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
184 Chs

Ch.6:Akhir Animan (Penjahat Ecek-Ecek)

Naara menyarungkan pedangnya lalu berjalan menjauhi jasad Dang. Semua orang yang masih terdiam hanya bisa memerhatikannya dengan perasaan kagum bercampur takut juga penasaran.

"Ayo pergi," ucapnya pada Niin yang dibalas dengan suara anggukan kecil namun mereka berhenti saat Alma tiba-tiba berlari dan menghadang jalan mereka.

"Alma?" Niin menatap bingung dan terkejut saat gadis itu tiba-tiba membungkuk di depan mereka lalu berkata, "Aku mohon, tolong kami."

"Alma ...."

"Dulu Desa Alnafera adalah desa yang sangat damai, meskipun bukan desa maju tapi penduduknya hidup dengan kebahagiaan." Kedua Mata Alma berkaca-kaca saat mengingat tentang desanya di masa lalu. Semua orang tertawa, anak-anak berlarian dengan ceria, semuanya bahagia hingga ... Air matanya mulai terjatuh, ia terbayang dengan segala penindasan yang dilakukan Animan terhadap warga desa.

Melihat Alma seperti itu, Niin merasa iba tapi dia juga tidak bisa melakukan apapun.

Kedua tangan Alma mengepal kuat dan matanya terpejam menahan dorongan amarah yang membuncah di hatinya. "Aku tahu permintaanku ini egois tapi kumohon tetaplah di sini dan bebaskan desaku ... hiks ... kembalikan senyuman desa ini, aku mohon, hiks ...."

"..." Niin bergeming.

Semua warga yang sejak tadi juga bergeming tiba-tiba berjalan dan bergabung dengan Alma. Mereka bersama-sama membungkuk memohon pertolongan pada Naara.

Angin berhembus menerbangkan debu dan daun-daun hijau. Semua orang masih menunggu jawaban Naara.

"Ayo pergi, Niin!" Tanpa memedulikan orang-orang yang membungkuk di hadapannya, Naara melangkah menjauh. Niin yang tidak bisa melakukan apa-apa hanya bisa berekspresi menyesal pada Alma dan selutuh warga yang kini memasang wajah sedih bercampur kecewa namun sebelum pergi ia menyarankan Alma untuk meminta bantuan pada anoa tapi Alma mengatakan bahwa anoa tidak bisa karena Animan dilindungi oleh Aceblue.

Mendengar kata 'Aceblue' wajah Niin seketika menjadi pucat pasi. "A-Aceblue katamu?"

"Tiga tahun lalu organisasi khusus bentukan Jendral Thougha itu datang kemari dan membuat perjanjian dengan Animan," jelas Alma dengan raut sedih.

Tanpa diketahui siapapun, Naara yang berhenti mendengarkan percakapan Niin dan Alma segera mengepalkan kedua tangannya ketika Alma menyebut nama Thougha.

"Maaf, Alma," ucap Niin dengan mata tertunduk lalu berjalan menghampiri Naara. "Ayo, Guru."

Entah kenapa Naara tidak bergerak dari tempatnya.

"Ada apa, Guru?"

"Aku berubah pikiran."

"Apa? Ta-tapi ...."

"Ada apa? Bukannya sejak tadi kau sangat ingin menolong mereka," ucap Naara bernada sindiran. Dengan nada yang sama pula ia mengatakan kalau Niin tidak memiliki hati, berhati batu, tidak berperasaan dan berperikemanusiaan karena ingin meninggalkan desa dan tidak mau menolong.

Niin tahu persis kalau Naara sedang mengembalikan kata-katanya. Dengan kesal ia hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan memaalingkan muka dari Naara. Sementara itu, Alma dan semua orang merasa senang dengan keputusan Naara.

*

Suara jangkrik mengisi keheningan malam di desa yang dikelilingi oleh Pohon Kakao.

"Silahkan masuk." Pintu berderik ketika ibu Alma membuka pintu kayu dari sebuah rumah sederhana beratap rumbia dan berdinding kayu.

Naara, Niin juga beberapa lelaki dari warga desa berjalan mengikuti Alma dan ibunya.

Ekspresi terkejut yang tipis tergambar di wajah Niin saat melihat bocah laki-laki yang ia temui di perapian. Ia duduk bersimpuh di dekat seorang kakek yang terbaring di atas sebuah tikar anyaman. Kakek itu sangat kurus sehingga bentuk kerangka wajahnya dapat terlihat jelas, mata kirinya di tutupi selaput putih, dapat dipastikan kalau mata tersebut sudah tidak melihat.

"Bibi Marin, kau sudah pulang?" ucap si bocah berdiri menyambut dan sama halnya dengan Niin, ia juga membuat ekspresi terkejut saat melihat gadis bersurai kuning yang ia temui kemarin.

"Kakak?"

"Em, kita bertemu lagi, yah." Niin tersenyum simpul.

Melihat mereka, Alma menanyakan apakah mereka saling mengenal dan bocah laki-laki yang Alma panggil Ari itu mengatakan tidak, mereka hanya tidak sengaja bertemu kemarin.

Setelah pembicaraan singkat tersebut, mereka duduk bersimpuh di sekitar sang kakek terkecuali Alma, gadis itu berjalan masuk ke dapur.

Bibi Marin  menjelaskan bahwa si kakek adalah petuah desa mereka sekaligus mantah prajurit anoa di Pulau Akar. Mendengar itu, Niin menyembunyikan rasa kagetnya dan mencoba tetap tenang.

Mata tua si kakek nampak mengarah pada Naara yang masih memakai tudung. Mata kanannya menatap redup, mengamati tampilan Naara dari bawah sampai atas.

"Tuan Lino, dia adalah orang yang sudah membunuh Dangcaw, dia bersedia membebaskan kita dari Animan," jelas seorang pria beralis tebal yang duduk bersama mereka, namanya adalah Tuan Kana.

Tuan Lino  menyimak serius saat diceritakan aksi yang dilakukan Naara dalam melawan Dangcaw. Di tengah cerita, Alma keluaar dengan beberapa cangkir teh panas.

Tidak lama cerita pun berakhir, Tuan Lino tampak tidak berekspresi. Ia hanya memandang Naara semakin lekat sampai beberapa detik kemudian ia mulai berbicara. "Apa yang kau inginkan sebagai imbalan?"

Semua orang yang mendengar pertanyaan tersebut merasa sedikit kaget namun berbeda dengan Naara yang tersenyum kecil di bawah tudungnya. "Hum. Informasi," ucapnya.

"Tentang?"

"Aceblue."

Ekspresi bingung dan kaget secara bergantian terlukis di wajah orang-orang yang mendengarkan mereka. Namun dari semua yang merasa kaget di sana, Niin terlihat yang paling tegang.

Dalam hati Niin berpikir kenapa Naara ingin tahu tentang Aceblue.

"Hm." Tuan Lino mengalihkan perhatiannya dari Naara dan menatap langit-langit.  "Aceblue, yah. Mereka adalah salah satu kelompok dari organisasi Ace bentukan Jenderal Thougha. Mereka ...." Tuan Lino mulai menceritakan apa yang dia ketahui tentang organisasi Ace. Beliau mengatakan bahwa para Ace ditugaskan untuk melakukan kudeta pada negara-negara yang tidak mau mengikuti ideologi Jenderal Thougha serta mengumpulkan orang-orang kuat dan jenius yang ada di seluruh dunia untuk membantu pembuatan senjata-senjata mematikan.

" ... aku tidak tahu persis kebenarannya, tapi ada  juga kabar bahwa orang-orang yang dibawa oleh Ace itu dijadikan objek percobaan Jenderal Thougha," jelas Tuan Lino.

Tanpa diketahui satu sama lain, Naara dan Niin sama-sama mengepalkan kedua tangan mereka. Tapi karena Niin lebih tidak bisa menahan ketidaktenangannya ia berdiri. Bibi Marin bertanya ada apa, dia menjawab bahwa dia ingin keluar sebentar menghirup udara segar lalu berjalan pergi meninggalkan orang-orang yang masih berbicara tentang Aceblue.

Setelah Niin keluar, Ari terlihat menyusulnya.

"Lalu apa kaitannya Animan dan Aceblue, kenapa Aceblue melindungi Animan?" tanya Naara.

"Itu karena ...." Kali ini Bibi Marin yang membuka suara. Dengan pandangan yang dibuang ke bawah, ia bercerita bahwa Aceblue melindungi Animan sebagai imbalan karena Animan telah membantu mereka menemukan keberadaan kakak dan kakak iparnya yang merupakan orang tua dari Ari.

"Tuan Aron dan Nona Lin adalah dua arkeolog yang berhasil membaca Prasasti Dasar," timpal Tuan Kana.

"Prasasti Dasar?"

"Sayangnya  informasi tentang Prasasti Dasar sangat terbatas. Tentang apa dan di mana prasasti itu kami tidak tahu," jelas Tuan Kana.

"Kak Aron dan Kakak ipar Lin juga tidak pernah memberitahu," Bibi Marin menambahkan.

*

Di luar, Niin menghela napas panjang, ia merasa ada awan berat yang memenuhi dadanya. "Aku hanya ingin hidup damai, apa itu sulit?" Matanya memandang sedih pada bulan yang terlihat ditutupi beberapa awan tipis tapi kemudian ia beralih saat mendengar langkah seseorang mendekatinya.

"Kau?"

"Apa yang Kakak lakukan di sini?" tanya Ari.

"Ah, tidak ada. Hanya menghirup udara segar," jawab Niin tersenyum simpul. Ari hanya menatap sedetik lalu berjalan ke sebuah bangku di sisi rumah, Niin tampak mengikutinya.

Ari duduk dan menatap bulan. Niin bisa melihat kesedihan di mata coklat anak itu.

"Ada apa, Ari?" tanya Niin ikut duduk.

"Tidak apa-apa." Ari tidak mengalihkan perhatiannya.

"Baiklah. Kalau kau tidak ingin membicarakannya." Niin ikut menatap bulan. Selama beberapa detik mereka0 membiarkan keheningan mengalir.

"Ngomong-ngomong, nama Kakak siapa?" tanya Ari memecah keheningan.

"Hm." Niin melihat Ari yang tidak mengalihkan perhatian dari bulan. "Niin," jawabnya.

"Niin saja?"

"Y-ya. Begitulah." Niin tersenyum kikuk.

Sedetik Ari melirik Niin lalu kembali melihat bulan. "Lalu dia?" tanyanya.

"Dia?" Niin menatap Ari lalu menyadari bahwa Ari menanyakan soal Naara. "Ah, dia Na—" Dia memotong kalimatnya saat mengingat statut buronan Naara yang membuat nama pria itu harus dirahasiakan.

"Na?" Ari menautkan alisnya. Memandang Niin dengan mata bertanya dan itu membuat Niin agak gugup.

"Na-namanya Guru. Yah, Guru," jawabnya tersenyum kaku sambil melirik kiri kanan, menghindari tatapan Ari.

"Guru?"

"Y-ya."

Tiga detik Ari terdiam dan menatap lekat Niin, membuat Niin menahan napas karena tegang.

"Pembohong!" ucap Ari segera menajamkan pandangan yang membuat Niin menghilangkan senyumnya dan terkejut.

Ari berdiri lalu melirik sinis. "Jujur saja, kalian itu buronan 'kan?"

"Mha." Napas Niin tersentak.

"Kau pasti berpikir kenapa aku bisa tahu, iyakan?"

Niin bergeming menatap anak berumur enam tahun tersebut yang tiba-tiba berubah sikap menjadi dingin.

Ari memberitahu Nin jika sejak awal ia sudah curiga saat melihat orang yang telah membunuh Dangcaw itu tidak pernah membuka tudungnya ditambah Niin yang tidak memberitahu nama belakangnya. Juga soal boneka kemarin, Ari mengatakan  bahwa boneka tersebut sangat mencurigakan, Ari yakin itu bukan boneka biasa, terlihat dari bentuknya yang aneh, Ari menduga bahwa Niin mungkin seorang buronan yang berkemampuan mengendalikan boneka namun Niin menyangkal dan berusaha meyakinkan Ari bahwa semua itu tidak benar tetapi Ari tidak percaya, dia lebih pintar dari anak seusianya.

Kini anak itu membuang pandangannya ke bawah dan menatap kakinya sendiri. "Aku berterima kasih karena kalian sudah menolong Kak Alma dan Bibi Marin dan karena sudah membunuh Dangcaw tapi jika kalian melakukannya karena memiliki maksud lain, aku mohon pergilah, desa ini sudah sangat menderita," ucapnya bernada sedih.

Niin menyipitkan matanya melihat Ari. Ia bisa melihat bahwa Ari adalah anak yang sangat mencintai desanya. Niin sendiri tidak tahu apa motif Naara yang tiba-tiba berubah pikiran untuk membantu Desa Alnafera, apa cuma untuk mencari informasi tentang Aceblue atau ada yang lain, ia tidak tahu. Sulit untuk menebak jalan pikiran pria itu. Ditambah, sekarang ia masih bingung mengapa Naara sangat ingin tahu tentang Aceblue.

Karena tidak kunjung mendapat respon, Ari mengangkat pandangannya dan menemukan mata biru Niin mengarah padanya tapi mata itu terlihat kosong. "Ada apa?" tanyanya membuat Niin tersadar dari lamunan.

Niin mengalihkan perhatiannya ke bulan yang mengintip di balik tirai awan lalu berkata, "Kau mendengarnya jugakan, guru hanya ingin informasi tentang Aceblue." Meski tidak tahu pikiran Naara, hatinya merasa yakin kalau pria itu tidak akan melakukan hal yang merugikan desa ini.

Ari memerhatikan Niin dengan seksama lalu sedikit terkejut saat Niin tiba-tiba melihatnya dan tersenyum hangat. "Desa ini beruntung memilikimu," ucapnya.

"..."

*

"...  Jenderal Thougha membatasi semua informasi," jelas Tuan Lino

"Jadi begitu." Naara berdiri.

"Kau mau ke mana?" tanya Tuan Lino.

"Menyelesaikan pekerjaanku, aku titip dia sebentar," ucap Naara tiba-tiba mengubah dirinya menjadi putaran angin, membuat semua orang sangat terkejut.

"Ingatlah kalau kau membunuh pimpinan Animan kau akan berurusan dengan Aceblue," ucap Tuan Lino mengingatkan sesaat sebelum Naara menghilang

"D-dia hilang?" Semua orang berekspresi tak percaya kecuali Tuan Lino yang terlihat biasa saja, seakan dia sudah menduganya.

*

Di dalam sebuah bangunan berbentuk pesegi, tepatnya di sebuah koridor yang diterangi cahaya remang-remang, nampak seorang pria kekar berambut ekor kuda sedang berjalan dengan mata menatap tajam ke depan. Alisnya tertaut seperti sedang berpikir keras. "Sial." Ia menghentikan langkahnya saat mendengar percakapan beberapa bawahannya di balik tembok. Pembicaraan tersebut bertopik pada orang yang telah membunuh Dangcaw.

Kedua tangannya mengepal kuat. "Awas kau," batinnya, geram pada orang yang sudah membunuh rekannya.

Putaran angin terbentuk di sisi gelap bangunan dan segera berubah menjadi Naara. "Di mana pimpinan kalian," ucapnya berjalan keluar dari kegelapan dan mengagetka  seluruh penjaga bangunan.

"S-siapa kau?" Para penjaga membuat posisi waspada.

"Aku." Naara menyingkap tudungnya sehingga wajahnya terlihat jelas di bawah sinar bulan.

Sesaat suasana diliputi keheningan yang mencekam. Tidak sedikit dari para penjaga kekar itu menelan paksa air liurnya.

*

"Tuan Dzi! Tuan Dzi! Ini gawat!!"

Pria berambut ekor kuda itu sedikit terkejut melihat seorang bawahannya lari terbirit-birit  menghampirinya.

"Ada apa?" tanyanya saat bawahan itu tiba di depannya.

Dengan napas terengah-engah bawahan itu mengatakan bahwa mereka telah diserang oleh si Pedang Buta.

"Apa katamu?" Mata Dzi melebar dan bergegas untuk keluar melihat situasi namun ia berhenti karena terkejut dengan suara retakan yang sedetik kemudian menjadi ledakan dan menghancurkan dinding  di depannya.

Ia menatap fokus ke depan, tepatnya pada bayangan seseorang yang berjalan keluar dari lubang di dinding.

"Ketemu," ucap Naara mengintimidasi.

Mata Dzi melebar melihat sosok yang berdiri di antara puing-puing.

"Kau?" Dzi membuat posisi waspada sementara bawahannya sudah melarikan diri. "Ada perlu apa kau kemari?" Dzi menatap tajam. Asap-asap tipis seperti milik Dang mulai keluar dari tubuhnya dan tak lama ia berubah wujud menjadi manusia kuda, ia tahu persis siapa pria yang berdiri tiga meter di depannya saat ini.

Merasakan aura yang dikeluarkan lawannya, Naara tersenyum sinis.

**

Di kediaman Tuan Lino, Niin bertanya ke mana Naara, Alma pun memberitahu bagaimana Naara menghilang setelah berkata akan menyelesaikan pekerjaannya. Saat itu Niin tahu pekerjaan apa yang Naara maksud.

"Begitu yah." Ia membuang pandangannya jauh keluar jendela.

"Maaf," ucap Alma sedih membuat Niin beralih melihatnya.

Dengan nada menyesal Alma meminta maaf karena sudah melibatkan Niin dan Naara ke dalam masalah. Ia tahu kalau dia dan warga desa sudah sangat egois. Karena terlalu ingin bebas mereka membuat keselamatan Niin dan Naara dalam bahaya.

" ... jika terjadi sesuatu dengan tuan itu aku tidak akan bisa memaafkan diriku," ucap Alma tertunduk. Bibi Marin dan semua orang di ruangan itu pun ikut tertunduk.

Sambil tersenyum Niin mengatakan kepada Alma tidak perlu merasa bersalah dan jangan khawatir tentang Naara karena Naara bukan orang yang mudah dikalahkan.

*

Di markas Animan, Dzi baru saja dibuat terpental oleh Naara. Noda darah nampak berceceran di lantai koridor. Dengan tubuh yang  bergetar hebat, Dzi berusaha berdiri. "Se-seharusnya kau tidak ikut campur dengan urusan desa ini," ucap Dzi memegangi lengan kirinya yang besar kemungkinan telah patah.

"Sebenarnya aku juga tidak peduli. Aku hanya menginginkan informasi tentang Thougha."

"..."

"Jika kau memberiku informasi tentang orang itu aku tidak akan membunuhmu."

Dzi bergeming. Pikirannya melayang ke masa lalu. Dulu dia dan ibunya adalah penduduk desa Alnafera juga. Ibunya adalah seorang janda cantik yang disukai oleh banyak lelaki dan karena itu pula semua wanita di desa tidak menyukainya dan menyebut Ibu Dzi sebagai wanita penggoda.

Suatu hari kepala desa ingin menikahinya tapi sayang Ibu Dzi menolak. Ibu Dzi beralasan bahwa kepala desa sudah sangat tua juga sudah beristri dan memiliki keluarga sendiri akan tetapi penolakan tersebut tidak bisa diterima oleh kepala desa. Kepala desa membayar beberapa orang untuk memerkosa ibu Dzi dan membunuhnya.

Dzi yang menyaksikan kejadian tersebut mengenali dengan jelas para pelaku itu adalah orang-orang desa sendiri dan karena alasan itulah para pelaku juga berusaha membunuhnya.

Berbulan-bulan berlalu sejak ia lari dari desa, ia menjalani hidup sebagai tunawisma, hingga ketika ia putus asa dalam hidupnya, seseorang datang dan memberinya uluran tangan. Orang itu telah memberinya kesempatan hidup untuk balas dendam.

Kilas balik berakhir. Dzi memejamkan matanya lalu tersenyum. "Kau tidak akan mendapatkan informasi apapun dariku," ucapnya.

"Hm. Kalau begitu selamat tinggal." Naara melesat dan seperti biasa, dengan cepat ia sudah berada di depan lawan bersama dengan pedangnya.

*

Niin meletakkan sendoknya di mangkuk. Ia baru saja menghabiskan misup sederhana yang dihidangkan Alma untuknya. "Hmm, kenyangnya."

"Syukurlah kalau begitu. Maaf kalau kami hanya bisa memberikan mi," ucap Bibi Marin  berdiri di dekat meja makan, Ari dan Alma juga ada di sana.

"Jangan bicara begitu. Bagiku ini sudah lebih dari cukup." Niin tersenyum sebelum akhirnya ia kembali membuang pandangan keluar jendela. Daun-daun saling bergemerisik saat angin bertiup, beberapa helai nampak melepaskan diri dari rantingnya.

"Apa dia benar-benar bisa menghadapi Animan sendirian? Jangan-jangan saat ini dia sudah mati," ucap Ari yang langsung mendapat teguran dari Alma dan Bibi Marin.

Menanggapi itu, Niin terkikih dan  berkata, "Itu tidak akan terjadi, dia itu sangat kuat, tidak mudah mengalahkannya."

"Oh yah, lalu kenapa Kakak sangat khawatir?"

"Mha? Itu ...." Sebenarnya Niin tidak mengkhawatirkan Naara yang melawan Animan karena dia tahu Naara pasti akan menang. Ia hanya khawatir soal Aceblue.

"Apa dia lebih hebat dari Naara Si Pedang Buta?"

"Apa? " Jelas pertanyaan itu membuat kaget seisi ruang makan.

Ari merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kertas coklat yang terlipat-lipat. Dengan cepat ia membuka lipatannya. Itu adalah sebuah poster buronan.

Di sana wajah Naara terpampang begitu jelas. Di atas gambar itu ada tulisan 'WANTED DEAD OR ALIVE' dan di bawah gambar bertuliskan 'NAARA ARUDE (Pedang Buta) lalu di bawah tulisan itu tertera angka '700.050.000 Bowl' dan di sudut kanan bawah bertulis 'ANOA'.

"Aku yakin dia tidak sehebat Pedang Buta,"  ucap Ari membanggakan si pedang buta.

"Itu ... ke-kenapa kau memilikinya?"

"Aku adalah fans berat Naara. Suatu hari, aku pasti akan jadi pria hebat seperti dia!" ucap Ari penuh keyakinan lantas berlari keluar.

"A-apa?" Rasanya Niin hampir tidak bisa bernapas. Menjadika  penjahat kelas S sebagai idola tentu saja bukan hal biasa.

Tapi .. sebenarnya itu tidak terlalu mengherankan sih, mengingat kacaunya pemerintah saat ini. Banyak penjahat dianggap pahlawan oleh rakyat dan anoa dianggap penjahat. Kekuasaan sering membuat anoa menjadi arogan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka yang tidak terima diperlakukan seperti budak akan mulai melakukan perlawanan untuk memperjuangkan haknya akan tetapi mereka yang melawan anoa akan disebut penjahat.

Sambil tertawa kecil, Alma mengatakan Ari sudah mengidolakan Pedang Buta sejak satu tahun lalu.

Sesaat Niin hanya bisa terdiam namun dia teralih saat merasakan aura qiwer Naara terbawa oleh hembusan angin dan menyusup ke sela-sela dinding kayu.

"Dia datang!" ucapnya berdiri dan lari keluar. Alma serta ibunya yang kebingungan segera mengikutinya.

"Hey, ada apa?"

"..."

Semua pria di ruang tamu pun ikut keluar mengikuti Niin.

Sesampai di luar, Alma dan yang lainnya terlihat kaget saat putaran angin muncul dan menjelma menjadi Naara yang menutup wajahnya di bawah tudung. Tanpa berkata apapun Naara menjatuhkan jasad Dzi di hadapan semua orang.

"D-diakan ...."

"Dzi, pimpinan terakhir Animan."

Semua orang menatap tak percaya.

**

hi terima kasih buat yang sudah baca :"v

jika berkenan silahkan vote, review dan comment untuk keberlangsungan hidup cerita ini ^^

Ogi_457creators' thoughts