Matahari bergerak secara tak kasat mata, cahayanya yang terang telah tergulung oleh kegelapan.
Bulan bersinar sangat terang, malam ini bintang-bintang bertaburan memenuhi penjuru langit, menciptakan sebuah panorama yang sangat indah.
Ditemani bunyi serangga malam, Naara duduk di tengah padang rumput sambil melihat bulan, entah kenapa ia tiba-tiba melihat wajah Isura yang sedang tersenyum ada di bulan.
"Kakak?" Sepasang mata rubinya melebar saat melihat itu dan tanpa sadar ia mulai melamun.
"Naara." Bayangan seseorang tiba-tiba menghalangi pandangannya dari bulan. Ilusi wajah yang tadi ia lihat kini menjadi kenyataan.
"Ayo." Isura tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
"Kakak lama sekali." Naara meraih uluran tangan tersebut.
"Maaf yah, Naara." Isura memegang puncuk kepala adiknya, menatap beberapa detik wajah yang juga sedang menatapnya dan entahlah tapi Isura menatap wajah Naara seakan ia ingin mengingat wajah itu untuk selamanya.
"Ada apa, Kak?" tanya Naara merasa aneh dengan sikap Isura yang memandangnya tanpa berkedip. Isura tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lantas menggandeng tangan adiknya berjalan menyusuri padang rumput.
Di tengah langkahnya, Naara diam-diam memerhatikan Isura yang hanya diam saja, itu tidak seperti Isura yang biasaanya.
Menyadari dirinya sedang diperhatikan, Isura melirik Naara dan saat itu Naara dengan cepat mengalihkan perhatiannya ke arah bintang-bintang namun sedetik kemudian ia dikejutkan oleh Isura yang tiba-tiba berjongkok di depannya.
"Kakak?"
"Ayo naik, Naara," ucap Isura tersenyum sangat lebar sambil menepuk bahunya sendiri.
Dengan antusias Naara segera mengangguk dan melingkarkan kedua tangannya di leher Isura.
Sepanjang perjalanan, Isura sesekali menoleh ke Naara sambil melempar senyum yang akan segera dibalas oleh si rambut merah.
*
"Kakak." Kedua mata peraknya terbuka perlahan. Ia bangun dan meraba-raba sekitarnya. Lembut dan empuk, ia tahu kalau itu adalah kasur. "Di mana ini?" Ia teringat pertarungan terakhirnya melawan Levi juga bayangan kabur seseorang yang memberinya uluran tangan. Ia berpikir sosok itu adalah Isura tapi ia ragu namun di detik berikutnya ia ingat saat Niin memeluknya.
Ia bertanya-tanya apakah gadis itu yang juga memberinya uluran tangan. Apa dia?
=Guru, k-kau kenapa?
=Menjauhlah dariku.
=Guru ada apa?
Suara itu terngiang-ngiang bersama kilas balik yang terputar seperti cuplikan film.
=Aku tidak tahu apa yang sedang kau hadapi tapi jika kau menderita, kau kesakitan lalu kau mencari seseorang, aku di sini. Aku mungkin tidak sekuat dirimu tapi aku ingin membantu menghilangkan rasa sakitmu itu.
"Cih. Gadis sok tahu," gumamnya melipat lehernya bergantian. Ia merasa tubuhnya sangat kaku tapi di satu sisi ia juga merasa segar.
"Uwohoho, Tuan Naara kau sudah sadar!" Pintu terbuka dan Binggo berlari antusias.
"Kau?" Naara menautkan alisnya.
"Ini aku Tuan, Binggo. Aku senang sekali bisa bertemu Tuan lagi ...." Binggo berucap haru.
"Jadi kau masih hidup, yah."
"Tuan ...." Binggo hampir menangis.
"Guru!" Niin menyelonong masuk. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya kemudian.
"Di mana ini?" tanya Naara mengabaikan pertanyaan Niin tentang kondisinya.
"Salah satu persembunyian Garuda Merah," sahut Reen berjalan masuk diikuti Naena dan Nacima.
"Garuda Merah?" Naara terdiam sejenak, ia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya. "Mau apa kalian?" tanyanya kemudian.
"Mengajakmu bergabung, kami akan senang jika kau mau bergabung dengan kami," jawab Reen.
"Aku tidak mau." Naara menyingkap selimutnya lalu turun dari tempat tidur. Cahaya biru tipis terpendar dari tubuhnya dan sedetik kemudian dua pedang yang sebelumnya bersandar di dinding telah ada dalam genggamannya. Itu seperti proses magnet menarik paku. "Ayo pergi, Niin," ucapnya berjalan menuju pintu keluar.
"T-Tuan Naara, aku ...." Mata Binggo berkaca-kaca.
Naara melangkahkan kakinya dengan mantap namun sesaat setelah ia melewati Reen ia berhenti saat tangan Reen memahan pundaknya.
"Kau tidak bisa pergi," ucap Reen.
Mendadak atmosfer di ruangan itu menjadi dingin dan benar saja tidak berselang lama Naara menepis tangan Reen, disusul dengan serangan yang memulai perkelahian.
"T-Tuan Naara tenanglah!" teriak Binggo panik namun Naara sama sekali tidak berniat mendengarkannya.
Naara melompat sambil melakukan tebasan horizontal. Itu menimbulkan lesatan sinar biru horizontal yang mengarah pada Reen beruntung Reen yang terlihat sudah terlatih menghindar dengan mudah namun Reen cukup kaget saat dinding seketika roboh setelah terhantam lesatan sinar biru tersebut.
Dinding itu terpotong sangat rapih menunjukkan kelas dari ahli pedang sejati. Reen memancing Naara keluar melalui tembok yang ambruk menuju tebing batu yang berjarak beberapa meter di depannya.
Sementara itu, Niin, Binggo, Naena dan Nacima segera berlari mengikuti mereka. Mereka berhenti saat jarak antara mereka dengan kedua pria yang kini berdiri berhadapan di kaki tebing tersisa lima meter.
"Kau berlebihan," ucap Reen pada pria yang berdiri tiga meter di depannya.
"Huh. Sekarang jelaskan kenapa aku harus bergabung dengan kalian."
"Itu akan diberitahu oleh pimpinan."
"Sekarang atau tidak pernah."
Reen mendengus lantas membuang napas lelah, dia tahu dia butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi Naara.
"Pertama-tama biarkan aku menjelaskan tentang Organisasi Garuda Merah," ucap Reen. Naena dan Nacima nampak menghampirinya sedangkan Niin menghampiri Naara. Binggo sendiri bingung harus menghampiri siapa karena ia pro dengan kedua pihak.
Reen mulai menjelaskan tentang GM kepada Naara. Ia menuturkan bahwa Garuda Merah adalah organisasi yang merekrut buronan tingkat S yang menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Misi utama GM adalah memulihkan sistem pemerintahan dunia dan mewujudkan perdamaian.
"Huh. Menggelikkan sekalil," sinis Naara sesaat setelah Reen selesai menjelaskan. Ia berkata bahwa Reen dan kelompoknya itu hanya ingin mencari pujian. Ia juga mengatakan bahwa Reen sama saja dengan orang-orang serakah yang pernah ia temui.
Orang-orang yang mengatasnamakan perdamaian untuk menguasai dunia. Mereka menjanjikan harapan-harapan palsu kepada orang-orang yang dianggap layak untuk membantu memenuhi ambisi mereka.
Perkataan Naara jelas akan menyulut emosi pendengar yang tidak memiliki kesabaran lebih di dalam dirinya. Untungnya Reen memiliki itu sehingga ia mampu menanggapi kata-kata sinis tersebut dengan tenang namun sayang sekali, Nacima tidak memiliki hal itu, ia terlihat sangat geram pada si rambut merah.
"Kau–" Perkataannya terpotong saat Reen mengangkat tangan, memberinya isyarat untuk tetap tenang.
Reen menatap Naara lekat-lekat. "Aku tidak tau berapa banyak orang seperti itu yang pernah kautemui. Tapi ... biar kutegaskan padamu bahwa kami bukan orang-orang seperti itu."
"Cih. Mana ada penjahat yang mau mengaku," sinis Naara lagi.
"Reen, orang ini memang tidak bisa diajak kerja sama, sebaiknya lupakan saja perintah pimpinan untuk mengajaknya bergabung," usul Nacima kesal.
"Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu percaya?" tanya Reen mengabaikan Nacima.
"Tidak ada. Tapi ... kita buat ini lebih mudah. Kita bertarung. Jika aku menang, kau dan rekanmu jadi anak buahku, tapi jika kau menang aku akan bergabung dengan kalian."
"Aku tidak ingin bertarung," ucap Reen pada Naara.
"Huh. Apa kau takut?"
"Kau akan kalah."
"Kau terlalu meremehkanku."
"Apa kita benar-benar sudah tidak bisa membicarakan ini?"
"Bicara saja tidak akan menyelesaikan masalah."
Mendengar itu, Reen mempertajam tatapannya pada Naara. "Jika itu maumu. Ayo lakukan," Reen berucap dingin. "Naena, Nacima, menjauhlah," tambahnya menginstruksi.
Hal serupapun dilakukan Naara pada Niin. Ketiga wanita tersebut kembali ke tempat Binggo berdiri.
"Dia memakai dua pedang, jadi aku harus pakai dua juga," batin Reen menarik dua dari tiga pedang yang sejak awal ia bawa di punggungnya.
"Aku ingin minta satu syarat darimu!" serunya pada Naara.
"..."
"Aku ingin kita bertarung tanpa menggunakan qiwer."
"Kenapa? Apa kau merasa akan kalah?"
"Haeh. Bukan begitu ... tempat ini dekat dengan permukiman, kekuatan kita bisa menghancurkan tempat itu, " jelas Reen.
"Cih. Naif sekali."
"Ada apa? Jangan-jangan kau merasa tidak bisa menang jika tidak menggunakan qiwer."
"Banyak bicara. Ayo bertarung!"
Naara melesat dan sosoknya tiba-tiba menghilang dari pandangan Reen. Sesaat kemudian ia sudah berada di jarak yang sangat dekat dengan Reen sembari melakukan tebasan ke leher Reen.
Beruntung Reen segera sadar dan langsung bereaksi. Pedangnya menahan pedang Naara.
Klang!
Pedang berbenturan. Naara terdorong mundur beberapa langkah. Dengan cepat Reen menendang perut Naara untuk membuat jarak, lalu ia juga melompat mundur untuk memperlebar jarak.
Ia menatap lawannya lekat.
"Dia tidak tanggung-tanggung, salah sedikit, nyawa bisa melayang," batinnya
"Oi Naara! Ja–" Kalimatnya terpotong saat Naara kembali melesat, Naara benar-benar bukan tipe pendengar yang baik.
Naara melakukan tebasan vertikal dan Reen berhasil menahannya, tapi karna mendapat tekanan, Reen malah terdorong ke bawah.
Menyadari ia mulai terpojok, Reen mengumpulkan kekuatan dan membuat Naara sedikit terdorong mundur.
Tanpa ia duga, Naara dengan cepat tiba-tiba berputar sedikit ke belakang dan menebas punggungnya dengan satu pedang yang lain.
Slash!
Pedang menyayat kulitnya dan memberikan luka yang cukup dalam.
Darah mengalir deras, membasahi jubah merah muda yang dikenakannya.
"Bagus. Inilah akibatnya kalau merawat singa yang terluka setelah sembuh dia akan membunuhmu, harusnya kita tidak menuruti Reen untuk menyuntik Naara dengan larutan pil care," gerutu Nacima. Ia kesal pada Naara tapi lebih kesal dengan Reen yang bersikeras meminta Naena menyuntik Naara dengan larutan pil care yang bisa menyembuhkan dan memulihkan kondisi dengan cepat.
"Sudahlah Nacima, percayalah pada Reen," ucap Naena dengan nada lembutnya.
Mereka tidak sadar kalau Niin diam-diam menyimak pembicaraan mereka. Naena terlihat begitu percaya dengan Reen.
Niin mengamati Reen dan merasakan aura qiwer yang sangat kuat yang dimiliki pria itu. Mungkin setara dengan Naara bahkan mungkin melebihi.
Apa yang akan terjadi? Apa Naara bisa mengalahkannya? Ia mulai merasa tidak tenang.
Reen dan Naara saling melesat, bertukar serangan dan bergerak dalam kecepatan hebat. Suara pedang dan pukulan bersahut-sahutan di antara keduanya.
Slash!
Sayatan demi sayatan di terima. Darah mengucur bagai air yang dituang dalam gelas namun tiba-tiba ada perasaan aneh yang mereka rasakan.
Tak!
"Apa ini?" batin Reen ketika tinjunya bertemu dengan tinju Naara.
Klang!
"Apa ini?" batin Naara ketika pedangnya dan pedang Reen berbenturan dan membentuk X.
Perasaan itu mengalir di sepanjang pertarungan. Sambil bergerak mereka bertanya-tanya dalam hati tentang hal yang mereka rasakan. Entah kenapa mereka merasa tidak asing dan lagi cara mereka bertarung saat ini terlihat seperti mereka sedang bertarung melawan bayangan sendiri. Tapi tetap saja, di antara mereka harus ada yang menang.
Reen mengabaikan perasaan tersebut untuk sementara waktu dan menambah durasi serangannya namun Naara bisa mengimbangi itu membuat pertarungan yang ada bertambah sengit.
Luka demi luka terbuka, darah demi darah tertumpah. Kau mungkin tidak percaya tapi mereka terlihat menikmatinya.
Kecemasan dan ketegangan terlihat di wajah mereka yang menyaksikan pertarungan tersebut.
"Hey kalian!! Lakukan sesuatu!! Mereka bisa mati karena kehabisan darah!!!" ucap Binggo bertingkah panik.
"Percuma. Mereka hanya akan berhenti jika salah satu dari mereka kalah," ujar Nacima bersedekap. Dia terlihat yang paling tenang dari yang lain.
"Tapi–" Binggo menghentikan kalimatnya saat Naena menepuk pelan bahunya.
"Jangan khawatir, percayalah pada Reen," ucap gadis itu sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang bisa membuatmu tidak bisa berkata-kata saat melihatnya.
"Na-Naena ...." Sekilas wajah Binggo memerah. Setelah itu mereka kembali melihat ke arah pertarungan.
Host... Host... Host
Naara dan Reen saling membuat jarak setelah bertukar serangan tanpa henti selama tujuh menit.
Keringat terlihat membanjiri wajah mereka. Luka yang diterima keduanya sudah tidak bisa dihitung dengan jari. Pakaian mereka telah compang-camping dengan warna yang menggelap karena menyerap darah.
Naara membuat ekspresi pahit, saat sensasi perih dari seluruh sayatan menjalar di tubuhnya dan hal yang sama juga ditunjukkan oleh Reen.
Di tengah sensasi yang tidak mengenakkan di tubuhnya, Naara pun memiliki kekesalan pada Reen. Bukan karena ia tidak bisa mengalahkan Reen tapi ada beberapa alasan lain.
Pertama ia kesal karena Reen memiliki tehknik bertarung yang sama dengannya dan kedua Reen membuatnya teringat dengan seseorang di masa lalu.
"Sebenarnya siapa dia? Kenapa rasanya seperti kakak ...? Kenapa?" batinnya, mempererat genggamannya pada pedang.
Di sisi lain Reen ternyata juga bertanya-tanya tentang perasaan aneh yang ia rasakan saat bertarung dengan Naara. "Perasaan apa ini? Rasanya tidak asing, apa sebelumnya aku mengenalnya." Tanpa sadar ia melamun.
"Reen! Kau tidak apa-apa?!" teriak Naena membuat Reen tersadar tapi tidak dengan Naara, ia masih tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
Melihat lawan lengah, peluang tersebut langsung dimanfaatkan Reen. Ia mengangkat pedangnya dan ....
"Hah?" Naara terkejut tapi terlambat.
Slash!
Slash!
Dua pedang menancap di dinding tebing di belakangnya dan mengunci pergerakannya.
Pedang-pedang tersebut mengapit lehernya. Tersisa seinci jarak antara mata pedang dengan kulitnya. Saat itu ia sadar bahwa ia sudah kalah.
"Bagaimana?" Reen berjalan menghampiri Naara. "Mau bergabung?" tambahnya setelah berdiri di depan Naara.
Naara tidak menjawab, ia hanya berdecih kesal.
"Guru!"
"Tuan Naara!"
Reen mengalihkan perhatiannya ke arah Niin yang berlari bersama Binggo diikuti Naena dan Nacima.
"Baiklah, kita kedatangan dua anggota baru." Reen mencabut pedangnya lalu tersenyum manis.