Aku ingin menjadi cahayamu, sayang
Kamu pun harus menjadi cahayamu
Jadi kau tidak akan merasakan sakit lagi dan lebih banyak tersenyum
Aku akan mejadi malammu
Dan kau pun begitu
Aku akan jujur padamu malam ini - PJM
-----------------------------------------------------------------------
Sebuah mobil limousine berwarna putih cemerlang sudah menunggu untuk ditumpangi didepan mereka. Hye Jin berjalan disamping Jimin akhirnya merasakan kelegaan yang sempurna karena setelah ini mereka akan pergi dari keramaian.
Kedua pasangan baru itu kembali berbalik dan melambaikan tangan pada para keluarga dan juga tamu yang menghantarkan kepergi mereka berdua.
Jimin terlihat sedikit memaksakan senyumnya karena ia bukanlah tipe lelaki penuh senyuman kecuali dihadapan Hye Jin. Namun hari ini Jimin merasa bahwa senyumnya adalah hal yang murah karena ia tidak dapat menahan lagi bagaimana perasaan bahagianya. Namun sekarang mengapa saat ia akan membawa Hye Jin pergi, wajahnya mendadak kaku.
Berbeda dengan Hye Jin. Ia melambaikan tangan terutama kepada para sahabatnya yang benar-benar turut bahagia.
Matanya menangkap sosok Taehyung yang tersenyum samar. Hye Jin ingat bahwa akhirnya Taehyung menghampirinya dengan segelas ice cream saat Hye Jin sedang duduk untuk beristirahat karena terlalu lelah menyapa para tamu.
Taehyung memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih berkerah tinggi. Rambutnya sedikit keriting berantakan dan membuatnya terlihat jauh lebih menawan. Ia memasang wajah datar dan memberikan gelas kedua untuk Hye Jin
"Gomawo Oppa", Hye Jin merasa canggung saat ini. Ia menerima ice cream yang terlihat sangat segar dimatanya.
Ia tahu bahwa Jimin sengaja membiarkan Taehyung duduk disampingnya karena dari kejauhan Hye Jin melihat bahwa Jimin memberikan kode mengangkat alis.
"Aku tidak mengerti mengapa kau malah merubah haluan", Taehyung membuka pembicaraan yang Hye Jin sangka tidak mungkin dibahas pada saat ini.
"maaf tapi saat harusnya ini dibatalkan membuatku merasa bahwa itu yang seharusnya kau dapatkan namun kenapa kau begitu keras untuk melanjutkan semua ini", nada kekecewaan jelas tersirat dinada bicara Taehyung.
Hye Jin memasukkan suapan ice cream besar kedalam mulutnya. Membiarkan rasa dingin meledak untuk membuat dirinya lebih tenang mencari alasan yang tepat karena sejujurnya Hye Jin pun tidak mengerti ada apa dengan hatinya.
"Apa Oppa bisa membaca hatiku?".
Taehyung terkekeh, "seandainya begitu".
"Kalau tidak, aku pun juga sama. Namun yang ku yakini, Jimin adalah takdir yang datang memang untukku. menyelamatkanku, membuatku berfikir keras, aku tidak dapat menyangkal hal itu semua".
Hye Jin melihat sosok Jimin dari kejauhan. Lelaki itu adalah sosok yang selalu datang dimimpi Hye Jin. Hanya saja Hye Jin tidak pernah mengingat wajahnya.
"Apa kau jatuh cinta padanya?".
Hye Jin tersenyum, "Kau tahu aku akan menjawab apa bukan? kalau begitu, aku yang ingin bertanya. Mengapa kau sangat membenci Jimin dan diriku yang akan bersatu".
Taehyung melempar pandangannya, "Aku tidak perlu memberitahumu mengapa begitu. Yang jelas", Taehyung berdiri dan menunduk, "Selamat atas pernikahanmu dengan saudaraku. Aku turut bahagia... Kalian harus bahagia. Ketika saat itu datang, aku tidak ingin ada penyesalan difikiranmu sekecil apapun karena itu akan membuatku ingin menghancurkannya", Taehyung mengambil gelas kosong ditangan Hye Jin lalu ia pergi.
Tidak lama kemudian Jimin kembali dan menepuk pundak Hye Jin. Ia pasti tahu apa yang mereka bicarakan.
-
-
Selama perjalanan ternyata Hye Jin jatuh tertidur. Mobil mewah itu sangatlah nyaman. Walaupun ia belum melepas gaunnya namun karena bahan gaun itu sangatlah bagus. Hye Jin tidak dapat menahan kantuk yang menyerang akibat kelelahan.
Jimin dengan mudah menggendong Hye Jin yang masih lengkap dengan gaun pengantinnya. Sang supir ingin menolong namun Jimin membiarkannya untuk pergi.
Hye Jin merasa tubuhnya menyentuh rasa dingin. Ia tahu bahwa sekarang ia dimana. Namun Hye Jin memilih tetap menutup matanya. Ia lupa bahwa Jimin tahu lewat fikirannya. Jimin tersenyum melihat kelakuan istrinya. Pipi Hye Jin pun memerah.
Jimin dengan cepat mengecup pipi Hye Jin. Ia merasa hangat pada bibirnya karena suhu badan Hye Jin meningkat karena rasa malunya sendiri.
Otomatis mata Hye Jin terbuka lebar dan ia langsung berusaha turun dari gendongan Jimin. Mereka berdua berdiri dengan canggung. Jimin meraba tengkuknya.
Hye Jin tidak dapat berkata apapun. Ia belum siap untuk hal itu. Matanya memutar melihat bahwa ia berada dirumah Jimin lagi.
"Aku tertidur ya", ucap Hye Jin berusaha menutupi rasa malunya.
Jimin mengangguk lalu ia mengeloyor masuk kedalam. Lorong rumah itu membawa mereka berdua kedalam ruang TV. Jimin duduk di sofa panjang. Ia mengulurkan kakinya. Merasakan kelelahan karena harus menyapa para tamu yang entah datang darimana.
Jimin menyerahkan semua urusan pesta kepada Nam Joon dan keluarganya namun Jimin tidak menyangka bahwa tamu yang datang benar-benar banyak. Tapi Jimin merasa sedikit senang karena ia semakin banyak mengenal vampire dari keluarga yang berbeda-beda yang rela datang untuk menyelamatinya.
Hye Jin mengangkat gaunnya dan duduk disofa yang berbeda.
"Jika kau ingin ganti baju. Pergilah ke kamar disebelah kamarku, disana sudah kusiapkan semua keperluanmu".
"Maksudmu?akukan belum membawa barang-barangku".
"Semua sudah ada yang baru. Tidak perlu kau bawa barang-barang lamamu".
Hye Jin mengerutkan alisnya, "mana mungkin. Tidak bisa. Aku harus memilih barang-barangku yang akan dibawa".
Jimin membuka matanya, "yasudah aku mengerti lalu kau tidak akan mengganti bajumu hingga barangmu sampai dirumah ini?begitu?".
Sejujurnya Hye Jin pun bingung. Bagaimana ia bisa membuka baju ini sendirian jika ia tidak dapat membuka resleting belakangnya.
Jimin menarik senyuman dibibirnya, "ayo".
Hye Jin mau tidak mau menuruti karena ia juga mulai merasa sangat lelah. Mereka berdua masuk kedalam kamar yang Jimin bilang.
Hye Jin terkejut saat kamar itu didekor dengan sangat nyaman. Hye Jin sangat suka terutama dengan meja rias yang tertata rapih. Semua make up lengkap disana. Hye Jin seperti merasa ada disurga. Terutama saat Jimin membuka sebuah pintu besar disudut ruangan.
Lemari besar yang juga termasuk ruang ganti. Hye Jin melihat banyak baju tergantung dengan rapih. Dan juga ada lemari kaca yang berisi sepatu, mulai dari sneakers hingga sendal jepit.
"Apa kau benar-benar chaebol?".
Jimin mendengus, "semua ini kuhasilkan sendiri. Nikmatilah karena aku tidak tahu apa yang kau suka. Jika ada yang kau benci, buang saja. Minta sekertarisku untuk menggantinya".
"siapa sekertarismu?", Hye Jin tidak tahu bahwa Jimin memiliki seorang sekretaris.
"Apa tadi kau tidak bertemu dengan Min Young?".
Hye Jin menggeleng.
"Sudahlah. Besok kau akan tahu siapa dia".
Jimin menarik lengan Hye Jin dengan lembut. Ia memutar tubuh Hye Jin dan jemarinya mencari dimana resletingnya berada.
Hye Jin merasakan tubuhnya meremang saat jemari tangan Jimin membuka dengan halus gaunnya. Memperlihatkan punggungnya.
Jimin mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahu bahwa sekuat ini godaan untuk tidak menyentuh Hye Jin. Jimin langsung pergi tanpa menoleh kembali.
Hye Jin menghembuskan nafasnya. Ia lemas saat Jimin sudah pergi. Hye Jin mencubit pipinya sendiri. Mengapa ia bisa berfikir yang iya iya tadi. Pasti Jimin tahu apa fikirannya makanya lelaki itu pergi.
***
Seseorang membuka tirai jendela hingga sinar matahari menyeruak masuk. Mata Hye Jin yang melekat sempurna semakin lama tidak merasa nyaman karena sinar matahari seperti menggelitiknya.
Jimin masih berdiri membenarkan tirai saat Hye Jin sudah membuka matanya. Ia menggeliat dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu hanya kebiasaannya saja, jika terlalu lelah ia akan tidur seperti tersambar petir. Bangun dengan rambut berantakan dan juga menggaruk tubuh kesana kemari.
Jimin tersenyum saat melihat pemandangan berantakan Hye Jin. Perempuan itu sangat tidak memiliki rasa malu. Ia dengan biasa keluar dari selimut menuju kamar mandi miliknya.
Kamar mereka saat ini memang terpisah. Hye Jin sebenarnya tidak mengerti namun ia terlalu gengsi untuk bertanya mengapa bisa begitu.
Jimin menunggu sang istri mandi. Ia merebahkan dirinya diatas kasur Hye Jin. Memainkan handphonenya karena ia sedang bekerja dari jarak jauh.
Saat Hye Jin keluar, ia teriak karena Jimin berada diatas kasur miliknya. Sedangkan Hye Jin keluar hanya dengan handuk.
Jimin berdiri, "hmmm aku tunggu ditaman untuk sarapan".
Hye Jin merasa alisnya beradu, "kenapa tidak dari tadi", Hye Jin menutup pintu setelah tepat satu langkah Jimin keluar dari kamarnya.
Kedua tangannya menutup bagian dada Hye Jin. Ia masih tidak tahan menahan rasa malunya dihadapan Jimin. Ia juga tidak tahu bagaimana harus bersikap yang layak dengan lelaki itu. Mengapa kemarin ia begitu yakin untuk dinikahkan namun sekarang ia begitu kaku untuk bersikap dihadapan Jimin.
Jimin merasa bodoh karena duduk diatas kasur tadi. Menunggu seorang wanita mandi. Pemandangan itu sudah pasti akan ia dapatkan. Jimin tidak berfikir apapun. Ia hanya merasa lelah setelah masak sarapan untum Hye Jin.
Ini adalah hari pertama Hye Jin menginap sebagai istri sahnya. Jadi Jimin tidak ingin Hye Jin merasa kelaparan. Dimusim dingin seperti ini sangat jarang mendapatkan matahari muncul namun pagi ini sang matahari seakan menyelamatkan pernikahan mereka. Maka dari itu Jimin menyiapkan semuanya untuk Hye Jin.
Rumahnya memang sangat luas ditengah hutan ini. Jimin memiliki taman yang lengkap dengan kolam renang dan juga kebun. Kolam renang itu memang sengaja kosong, hanya berisi salju yang turun dan membeku. Jimin memang suka sekali merawat rumah pribadi miliknya ini sehingga terasa sangat nyaman untuknya.
Sebuah meja portable sudah penuh dengan beberapa makanan untuk sarapan Hye Jin lengkap dengan segelas teh panas.
Jimin merapihkan gelas yang miring saat Hye Jin muncul dengan sweater berwarna orange dan juga celana panjang. Ia terlihat kedinginan walaupun Jimin merasa hangat karena matahari yang muncul. Namun perbedaan suhu mereka sangatlah jauh.
Jimin menyampirkan selimut dan merapihkan rambut Hye Jin saat perempuan itu ikut duduk disampingnya.
"lebih baik kita pindah kedalam, dan menyalakan pemanas", ia membawa meja portable dengan hati-hati dan Hye Jin membuntutinya dari belakang.
Jimin memencet sebuah tombol. Hye Jin cukup kagum saat ia kira didepannya hanya dinding biasa namun berubah menjadi jendela transparan yang menghadap langsung ke taman.
"Aku tidak terlalu suka cahaya jadi aku harus membuat dinding disini dapat berubah sesukaku", jelasnya.
Hye Jin mengangguk mengerti. Ia ingat bahwa Jimin bisa memiliki reaksi berbeda dengan cahaya.
Jimin memberikan segelas teh panas untuk Hye Jin yang menerimanya dengan antusias. Pagi ini tetap terasa dingin bagi Hye Jin.
"Aku menyiapkan semuanya untukmu. Jadi makanlah dengan lahap".
Hye Jin berdecak kagum, "inilah gunanya jika kau hidup jauh lebih lama", ujar Hye Jin bercanda. Matanya berbinar saat ia meraih sumpit lalu memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya.
"Aku tidak tahu apa yang biasa kau makan saat sarapan jadi ku buat senetral mungkin".
Hye Jin mengangguk dan tersenyum. Ia bahkan sering melewatkan sarapan karena lupa akan pentingnya arti sarapan selain minum kopi agar tidak mengantuk.
Setelah fokus dengan makanannya dan meras perutnya telah penuh, Hye Jin mengakhirkan makanannya walaupun masih tersisa banyak.
"mianhae, aku tidak bisa menghabiskan semuanya".
Jimin terkekeh, "kau fikir aku gila membuatmu melahap semua ini. Mungkin hanya Jung Kook yang dapat sarapan sebanyak ini".
Setelah Hye Jin meneguk minumannya habis. Ia memberanikan diri untuk membahas hal yang benar-benar ingin ia ketahui.
"Berjanjilah padaku bahwa kau akan mematuhiku. Kau berkata saat aku dapat menyelesaikan gaun itu, kau akan menuruti keinginanku bukan?", Jimin terlebih dahulu menyelak karena ia tahu apa yang ingin Hye Jin tanyakan.
Hye Jin mengangguk, "lalu bagaimana aku harus berubah?apa yang harus ku lakukan?".
Jimin menggeleng, "aku belum siap Jin-ah. Itu bukanlah sulap yang kau fikir sangat cepat. Tanpa rasa putus asa, kau akan jauh lebih tersiksa".
"tapi kau telah memasukkan racunmu pada tubuhku bukan?".
"itu berbeda. Racun yang ku punya memiliki dua. Ada yang dapat mematikanmu atau menularkanmu dan ada juga yang dapat bersarang pada tubuhmu demi mendapatkan cintamu", Jimin memindahkan meja portable dan ia membuat dirinya senyaman mungkin.
"Aku begitu egois memang karena ingin membuatmu menjadi milikku dengan cara bodoh dan aku menyesal".
Hye Jin tidak menyangka bahwa Jimin akan berbicara seperti ini. Wajahnya benar-benar meunjukkan penyesalannya.
"Kau menjadi milikku karena dua ancaman. Pertama kau bisa kehilangan rasa cintamu jika kau tidak bersamaku, atau kau akan mati dengan volturi karena mengetahui rahasiaku dengan status manusiamu".
Hye Jin mengiyakan dan seketika rasanya ia ingin marah namun saat ia melihat kembali Jimin. Tidak ada yang keluar dari mulutnya.
"Kemarin... Aku memutuskan untuk mengiyakan apa yang Nam Joon Hyeong katakan saat aku melihatmu duduk dengan gaun indah itu. Aku tidak ingin menghancurkanmu", Jimin memainkan jarinya dengan gugup.
Hye Jin menyenderkan kepalanya pada bahu Jimin, "Kau tahu? setiap malam selama aku hidup setelah kejadian mengenaskan itu. Aku selalu didatangi oleh seorang lelaki yang rela membawaku hingga aku selamat. Seorang lelaki yang melempar orang lain dan menyelamatkanku. Ia begitu kuat, larinya begitu cepat. Aku berusaha untuk tidak mau tahu. Aku tidak ingin dianggap semakin gila. Jadi ku fikir dia hanyalah fana".
Jimin tidak tahu bahwa ada hal itu difikiran Hye Jin.
"mungkin kau tidak tahu. Karena aku tidak menyimpannya dalam fikiranku tapi", Hye Jin menaruh tangannya didadanya, "aku selalu bertanya pada hatiku. Mengapa aku tidak bisa melupakan penyelamatku itu dan berharap bisa bertemu".
Hye Jin kembali duduk dan menghadap Jimin, "sekarang aku tahu bahwa itu nyata semenjak kau memberitahuku semuanya. Aku memang belum mencintaimu tapi aku tidak bisa menyerah padamu Park Ji Min".
"berjanjilah padaku, Ubahlah aku saat aku memintamu", kata Hye Jin melanjutkan.
Jimin mengangguk, "berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan memaksa dirimu. Aku akan melindungimu apapun yang terjadi".
Hye Jin mengangguk lagi, Jimin langsung mendekapnya dengan erat.
"untuk saat ini kita harus tidur tetap dengan kamar terpisah. Karena kita begitu berbeda", Jimin menatap wajah Hye Jin, "jika aku memaksa tidur bersamamu, aku tidak dapat menahan diri. Aku tidak ingin hal yang buruk terjadi".
Hye Jin tidak tahu apa maksud Jimin tapi ia setuju dengan Jimin. Berhubungan sebagai vampire dan manusia memang bukanlah ide yang baik.
Mereka pun kembali memandang ke arah taman. Begitu banyak perjanjian yang ada didalam otak mereka berdua. Tapi itulah mereka. Jimin dan Hye Jin merasa harus saling menguatkan untuk saat ini.
*
*
*
> To Be Continue <